Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MADILOG : MATERIALISME, DIALEKTIKA DAN LOGIKA (PART_2)

MADILOG



MATERIALISME, DIALEKTIKA DAN LOGIKA
TAN MALAKA

BAB I 
LOGIKA MISTIKA

Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah :
Ptah : maka timbullah bumi dan langit.
Ptah : maka timbullah bintang dan udara.
Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun.

Jika saya silap mencatat (di luar kepala) Firmannya Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup, memberi gambarannya LOGIKA MISTIKA atau logika yang berdasarkan rohani.

Negara-kuno, yang kita kenal paling tua dan paling unggul, ialah Negara Egypte, yang sekarang juga dinamai Mesir.

6000-8000 tahun dahulu penduduk Mesir sudah tersusun di bawah perintahnya Pharao, yang juga menguasai hidup dan mati rakyatnya. Maha Dewa Rah yakni Dewa Matahari, ialah Dewa yang terkuasa di antara beberapa dewa.

Para pemirkir Egypte, yang di antaranya banyak sekali menurunkan ilmu dalam hal obat-obatan, hitung-menghitung

dll, kepada beberapa negara lain di luar Egypte, seperti Punisa, Yunani dll, tentu juga memikirkan asalnya bumi dan bintang, memikirkan asalnya dunia yang terkembang.

Rah adalah Dewa Matahari, ialah Rohani, yang lebih dahulu adanya dari pada dunia, bumi, dan bintang dan langit. Maha Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Maha Terkuasa, asal dari pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan Firman yang berbunyi Ptah saja Bumi, Langit, Bintang, beribu juta, sungai nil dan gurun Pasir bisa timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah perkataan Ptah tadi difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal dari Rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat

Rah tak perlu menunggu-nunggu, seperti pak tani menunggu-nunggu padinya sesudah benihnya ditanam. Kalau dia mesti menunggu, maka ini berarti, bahwa dia pasti takluk pada Sang Waktu. Jika begitu maka Maha Dewa Rah

bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa Rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu. Jika begitu, maka

Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu

Firman RAH itulah yang menggambarkan jawab yang paling jitu dan konsekwen, jujur-dasar, atas pertanyaan yang maha penting dalam Filsafat: manakah yang pertama, dan mana yang kedua, mana yang asal dan mana yang akibat, di

antara Zat dan Rohani? Tetapi ilmu Pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia), ilmu matematika dll, yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua yang kita kenal ini, ialah berdasarkan Filsafat yang

sebaliknya. Disini Rohani berupa Kodrat, Kracht, Force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan Zat, dalam waktu yang lebih cepat dari sekejap mata. Disini Force, Kodrat itu, terkandung oleh Matter, oleh benda. Dimana ada benda disana baru ada Kodrat.

Benda yang oleh bangsa Yunani dahulu kala dinamai electron mengandung kodrat yang dinamai listrik. Besi-berani yang kita semuanya kenal, menarik besi biasa dsb. Benda mesti dahulu kita saksikan, barulah dibelakangnya bisa kita saksikan kodratnya. Kodrat listrik, tiadalah bisa kita lihat rupanya, tetapi kita saksikan kekuatannya. Kekuatannya ini bisa kita ukur dengan tepat. Kodrat listrik itu bisa menggerakkan mesin, bisa memberi panas dan cahaya. Tetapi kodrat listrik itu tak bisa membikin zat baru, seperti orang, hewan, malah sebutir beraspun listrik itu tak bisa bikin. Jadi buat ilmu Pasti Kodrat itu tak bisa terpisah dari benda. Lagi pula mesti ada benda dahulu, baru dibelakangannya timbul kodrat. Electron atau dynamo dahulu, baru dibelakangnya ada kodrat listriknya. Tidak ada bendanya, tak ada pula kodratnya. Energy, kodrat semata-mata tak bisa menimbulkan benda.

Cepatnya Maha Dawa RAH menimbulkan bumi dan langit; betul cepat sekali menggambarkan Maha-Kuasanya Dewa RAH! Tetapi hal ini bertentangan benar dengan Law Evolution inilah yang dipakai oleh Charles Darwin buat membentangkan timbul, tumbuh dan tumbangnya hewan serta tumbuhan. Kalau Law of Evolution Undang Pertumbuhan itu tumbang, maka tumbanglah pula ilmu biology, ilmu hidup tentang hewan dan tumbuhan. Tumbanglah pula gedung ilmu, yang sudah menimbulkan puluhan raksasa berpikir dari ilmu, yang sudah nyata sekali manfaatnya buat seluruhnya umat manusia. Gedung ilmu biology adalah amat permai sekali dan senantiasa ditambah permainya oleh para ahli pertumbuhan di dunia ini. Emanuel Kant, ahli Filsafat Jerman yang kesohor itu memakai undang pertumbuhan buat membentangkan timbul tumbuh dan tumbangnya bumi, matahari serta juta-juta bintang di langit. Sistem yang dibangunkan oleh Darwin dan Kant, boleh diperiksa dan dikritik, karena memangnya pula sifatnya ilmu pasti, ialah tahan uji. Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu. Tetapi walupun sesuatu sistem dari sesuatu ilmu itu bisa mati, Undang Pertumbuhan, The Law of Evolution akan tetap tinggal.

Syahdan menurut Darwin, maka tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan yang

lama, beratus, beribu, malah berjuta-juta tahun, dari dua-tiga biji-asli (cells) sampai ke manusia. Menurut Kant dan para ahli bintang lainnya di zaman sekarang, maka ribuan juta-jutaan bintang dan bumi di langit itu, adalah pertumbuhan yang lama, juta-jutaan tahun pula dari permulaan molten Mass, benda lebur sampai ke bentuk dunia yang sekarang.

Semua perubahan dalam juta-jutaan tahun itu, dari leburan benda sampai bumi dan bintang di langit, dan beberapa biji- asal tadi sampai ke manusia ada mempunyai keadaan dan sebab. Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok dll). Amphibi lama kelamaan menjadi reptil (bintang menjalar seperti

ular). Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai timbul hewan berupa manusia. Semua penjelmaan itu berlaku menurut undang yang nyata dan sebab serta akibat yang nyata dan tetap, dalam waktu jutaan tahun. Maha Dewa Rah menjelmakan Bumi dan Bintang, sungai nil dan daratan dsb dalam sekejab mata saja, ialah selama membunyikan Firman PTAH saja. Tetapi menurut Undang Pertumbuhan maka penjelmaan tadi terjadi dalam dalam juta-jutaan tahun. Dalam penjelmaan itu bukan kodrat yang dahulu, melainkan benda, matter. Disinilah LOGIKA MISTIKA mendapat tantangan hebat dari ILMU PASTI dalam hal pelaksanaan UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam hal pelaksaan lainpun, dalam undang lain dari ilmu pasti, logika MISTIKA tadi mendapat tantangan pula.

Tiangnya ilmu kodrat (Mechanika), ialah satu cabang dari ilmu pasti, ialah "The Law of Conservation of Force’’, yakni Undang Tentang Ketetapan Jumlah Kodrat di dunia ini. Kawannya ialah Undang ketetapan Jumlah Benda di dunia ini. Syahdan menurut Undang Ketetapan Kodrat itu, maka kodrat yang hilang pada satu bentuk bisa didapat pada bentuk yang lain. Jadi jumlahnya kodrat tadi tinggal tetap saja. Undang ini dilaksanakan oleh Joule, seorang Ahli Ilmu Kodrat Inggris (1818-1889), seperti berikut :

Dengan empat cara, Joule membuktikan persamaan panas dan Kodrat (mechanica) energy. Dia dapatkan, bahwa buat menaikkan panasnya 1 pond air dengan 1 derajat, perlu dipakai 772 feet-pounds, kaki-pond. Artinya, ialah banyaknya kodrat yang perlu dipakai buat menaikkan 772 pond satu kaki ke atas.

Jadi Joule mendapat panas. Tetapi dia kehilangan kodrat. Jumlah kodrat di dunia tinggal tetap seperti dahulu. Cuma sekarang kodrat yang hilang itu berupa panas, yaitu satu bentuk dari kodrat juga. Banyak persamaannya dengan seorang hartawan yang umpamanya mempunyai uang yang nilainya R. 1.000.000., tetapi yang R. 500.000. dia belikan rumah, kapal dan sebagainya. Sebagian dari hartanya sudah bertukar rupa, ialah menjelma menjadi rumah, kapal dsb. Tetapi jumlah nilainya tetap R. 1.000.000. juga. Hartanya itu betul bertukar bentuk, uang mas bertukar menjadi rumah, kapal dan sebagainya, tetapi rumah dan kapal itupun harta juga. Begitu juga Joule mengadakan undangan tentang perhubungan panas listrik. Undang ini dipakai pada persoalan lampu.

Seperti jumlahnya kodrat itu tetap di alam ini, begitu juga jumlah benda (mass). Satu benda yang berupa Zat-Asli (element) bisa hilang. Tetapi yang timbul umpamanya kayu atau daging. Garam yang terkandung oleh bangkai hewan atau mayat manusia yang hilang, bisa dicari pada tumbuhan yang mengisap garam tadi. Yang hilang ialah garamnya atau airnya kucing atau manusia, yang timbul ialah bambu atau pohon kelapa. Jumlah zat atau benda di alam tetap, seperti dahulu juga. Kalau beratnya manusia yang hilang itu 50 kg, maka berat kayu yang berganti itu 50 kg pula.

Zat-Asli (element) yang dikenal di dunia sekarang ini adalah 92 buah. (Di zaman dulu Cuma 4 buah saja, ialah tanah, air, udara, dan api. Tak heran kalau besok atau lusa angka 92 sekarang akan ditambah lagi). Bagaimana Zat-Asli yang

92 buah yang sekarang itu berpadu dan berpisah sudah banyak pula dikenal.

Seorang guru sekolah, di Inggris, bernama Dalton, mendapatkan satu Undang yang amat penting buat Ilmu Pisah. Undang itu dinamai "Law of Constant Composition’’, yakni Undang perpaduan dari Zat-Asli bernama Oxygen (Zuurstof) dan Hydrogen (Waterstof). Bagaimanapun air itu diperoleh, dalam kamar ilmu pisah (labolatorium) ataupun di udara, sebagai air hujan, air itu tetap satu perpaduan Oxygen dan Hydrogen, atas perbandingan yang tetap pula. Dalam kamar ahli pisah mesti dipakai 88,9 % Oxygen dan 11,1 % Hydrogen. Di udarapun perbandingan itu tetap begitu. Begitu juga perpaduan semua benda yang lain-lain, berlaku menurut undangnya Dalton tadi. Demikianlah garam dapur yang dibikin di kamar Ahli Pisah, ditambang ataupun di air laut takluk kepada undangnya Dalton.

Kalau keperluan satu benda atas 92 macam zat-asli tadi sudah diketahui, maka tambah atau susutnya benda itu sesudah beberapa lama dapatlah pula dihitung. Seorang bayi yang beratnya baru 3 kg, tetapi sesudah umpamanya 20 tahun menjadi 53 kg, maka tambahan yang 50 kg dalam 20 tahun itu bukanlah tambahan oleh kodratnya malaikat ataupun setan. Tambahannya itu ialah zat minyak (vet), putih telur (eiwet, protein), tepung (zetmeel, carbohydr) air dll, zat yang diterima oleh bayi tadi dalam waktu 20 tahun tadi.

Kalau satu mayat yang beratnya 50 kg sesudah beberapa tahun cuma tinggal 20 kg tulang belaka, maka daging yang hilang, yang terdiri dari beberapa zat-asli yang sudah diketahui itu, tiadalah melayang ke matahari, bulan ataupun lain tempat, melainkan tinggal dalam daerah bumi kita, dalam bumi dan udara dikelilingnya. Barangkali sebagian

dikandung oleh tumbuhan disekitarnya tumbuhan tadi, di dalam tanah atau air yang disana sini atau di udara. Hilangnya zat-asli di alam ini bisa didapat kembali di tumbuh-tumbuhan atau hewan dalam alam kita juga. Tambahnya zat-asli itu

boleh dihitung dari zat-asli yang bebas dari kandungannya hewan atau tumbuhan di tempat yang mendapat tambahan

tadi. Jumlah di alam tetap saja seperti dahulu. Tak ada tambahnya dan tak ada pula kurangnya. Seandainya bumi kita sekarang ini mempunyai jumlah zat X kg, tetapi besok Cuma X-y kg, maka yang Y kg itu boleh kita cari pada tumbuhan, hewan ataupun manusia yang menerimanya. Jumlahnya di dunia tetap X kg juga.

92 elemen zat-asli yang dikenal sekarang, yang ada di bumi dan udara kita pulang pergi, tumbuh atau mati, menjelma menjadi tumbuhan, hewan dan manusia dan kembali pula ke tanah atau udara. Jumlahnya tetap, berpadunya atau berpisahnya berlaku menurut undang yang tetap. Hilang pada satu tempat, terdapat pada tempat yang lain. Tak ada tambah jumlahnya. Tak pula ada kurangnya. Benda itu tetap jumlahnya. Kodrat (energy) itu tetap pula jumlahnya,

di dunia ini, di bumi dan sekalian bintang di langit, serta di udara yang terdapat di alam ini. Tadi LOGIKA MISTIKA mendapat bantahan dari UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam uraian kita di atas ini, kita lihatlah perbantahan yang lain. Logika MISTIKA pertama berbantah dengan Undang Tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat Di dunia ini (Joule). Bertentangan pula dengan kawannya ialah Undang Ketetapan Jumlah Benda. Sama sekali tiada bisa dicocokan dnegan Undang Perpaduan yang tetap (Dalton). Diperingatkan lagi, bahwa Maha Dewa RAH dalam kurang dari sekejap mata, dengan kata PTAH saja, menimbulkan berjuta-juta bintang, bumi dan langit.

Pertama disini kita lihat kejadian yang berlawanan dnegan common sense, pikiran sehat. Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun diluarnya tak pernah kita menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda. Dalam dongeng atau cerita memang kita cukup menjumpai kegaiban itu. Tetapi dalam 40 tahun belakangan ini saja, di antara 2.000.000.000 manusia itu belum pernah saya dengar satu makhluk yang bisa dengan kata saja menimbulkan seekor macan, jangankan lagi Bumi atau Bintang. Rohani, kata kosong, menurut pikiran sehat tak bisa menimbulkan benda. Tak ada itu tak bisa menimbulkan ada. Dalam dialektika Idealisme kita bisa menjumpakan kosong mengandung arti ada, atau tak ada mengandung arti ada. Tetapi dalam logika ataupun Dialektika yang berdasarkan kebendaan, hal itu adalah mustahil, satu omong kosong. Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulang 1001 kali.

Kedua, sudah kita lihat, bahwa menurut Undang tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat, satu rupa kodrat bisa menjelma mengambil rupa yang lain. Cuma jumlahnya di dunia tetap adanya. Jadi kalau Rohani atau kodrat panas, kodrat uap, kodrat listrik atau besi berani yang ada di dunia ini, mestinya kodratnya RAH kehilangan jumlah kodrat yang ada di seluruhnya dunia. Pendek kata, RAH itu sendiri tak mempunyai kodrat lagi, RAH sendiri sudah bertukar menjadi kodrat Alam, Natural Force, yang berupa panas, cahaya, listrik dll. Yang semuanya terkandung dalam benda di seluruh alam kita.

Ketika semua benda di alam ini : bumi, matahari, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia – mestinya menurut Undang Ketetapan Jumlahnya Benda, datangnya dari benda juga. Cuma rupanya benda-asal itu berlainan dari benda-jadi ini. Bagaimana satu bentuk benda menjelma menjadi bentuk yang lain, berlaku menurut Undang Perpaduan seperti sudah ditetapkan oleh Dalton. Tegasnya benda-asal mesti ada lebih dahulu, baru benda yang ada di dunia sekarang bisa pula ada. Benda asal itu menurut Kant adalah benda-lebur (molten-mass). Dari benda-lebur itu berjalan sepanjang Undang Perpaduan dan Perpisahan (Dalton dll). Sesudah juta-jutaan tahun kita sampai kepada beberapa cenkiemige cellen, yakni beberapa biji-asli yang bertunas satu. Beberapa biji-asli yang bertunas satu ini sesudah jutaan tahun pula, berhubung dengan perubahan iklim dsb. sepanjang Undang Pertumbuhan (Darwin) kita akhirnya sampai ke alam kita sekarang.

Sebagai kebulatan pemeriksaan kita sampai sekarang kita bisa tetapkan, bahwa penimbulan dunia benda dan kodratnya itu oleh Rohani atau Firman dalam sekejap mata saja adalah berlawanan sekali dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu pasti.

Marilah sebentar mengendalikan, bahwa Rohani itu terdiri dari Zat. Inipun ada mengandung perbantahan diri sendiri. Bukankah Rohani itu dianggap suci, tidak kotor seperti zat. Terkuasa, artinya tidak takluk kepada undang dan sifat yang mengenai zat, Rohani tak bisa berubah, tumbuh atau susut, sakit atau senang, hidup atau mati, bersih ataupun kotor. MAHA DEWA RAH, ialah terkuasa, tersempurna, tersuci, tak bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat. Kalau DIA masih bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat, bukanlah ia RAH lagi, bukanlah ia tekuasa lagi, bukanlah pula DIA maha sempurna dan maha suci lagi !

Belumlah lagi habis saya tuliskan yang diatas ini, maka menjelmalah di depan saya rohnya para pemikir Egypte. Mereka dengan kawannya para ahli kegaiban yang ada di sekitar kita sekarang membantah dengan keras. Dewa RAH menimbulkan zat dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu PASTI sekarang supaya sesudah ditimbulkan itu, alam bisa bekerja sendiri menurut undangnya sendiri. Buat menyelidiki yang di belakang ini saya tiada perlu memakai cara membantah dengan mengandaikan seperti di atas tadi, yang dalam Ilmu Logika dinamai cara reductio ad absurdum. Menurut cara itu tadi rohani itu sebentar diandaikan zat. Sekarang boleh saya pakai cara yang lazim dipakai oleh orang desa ialah menghitung dengan memakai jari.

Kini persoalan bukanlah lagi mana yang bermula Zat ataukah Roh, melainkan siapa yang terkuasa Dewa RAH ataukah ALAM? Tiga jawab yang mungkin, dan tiga jari pula yang perlu dipakai.

1. Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya.
2. Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang Alam.
3. Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undang Alam.

Balik kita kejari ke 1, yakni pada telunjuk yang mengatakan bahwa Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya! Menurut Ilmu Bintang zaman sekarang, maka jutaan Bintang dan Bumi beredar menurut Undang yang pasti, ialah undangnya Newton. Undang itu diakui syah, dipelajari di sekolah, dan dipakai oleh Ahli Bintang buat menghitung hal yang berkenaan dengan bumi dan bintang. Undang Newton tetap diakui syahnya, walaupun Einstein dalam beberapa perhitungan bisa mendapatkan hasil yang lebih jitu. Kalau undang alam yang dilukiskan oleh Newton itu jatuh, ataupun satu menit saja berhenti, maka kacau balaulah jutaan bumi dan bintang tadi. Tetapi selama Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan. Belum pernah Maha Dewa RAH – yang mestinya masih ada menahan matahari naik, atau mencegah matahari turun Pasti Rah tak akan bisa.

Peralaman (Experimenten) yang dijalankan dalam Laboratorium pada 5 benua di muka bumi ini belum pernah memungkiri Undang yang dikenal, dalam Ilmu Kodrat (Mekanika) Ilmu Alam, Ilmu Pisah dll. Undang alam itu terus jalan dengan tetap pasti, tak perduli, di waktu mana ataupun tempat mana juga. Dimana saja, bila saja undang itu dilaksanakan, dia berjalan tetap terang. Seperti pepatah Indonesia: Terang, bersuluh bulan dan matahari, bergelanggang di mata orang banyak. Pasti pula Maha Dewa Rah tak akan bisa merubah jalannya undang itu, pasti tak bisa.

Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini mengalahkan yang lemah. Undang Alam ini sudah termasuk ke dalam common sense. "Ini semut’’,katanya pula, "ini jari saya, lebih kuat dari semut itu’’, katanya terus. "Kalau ada Kodrat, yang bisa mencegah Alam menjalankan Undangnya, tolonglah semut ini’’, katanya yang penghabisan. Pada saat itu juga ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut tadi pasti mati. Quot erat demonstandum. Demikianlah dibuktikan kebatalannya andaian ke 1 tadi.

2. pada jari tengah Dewa Rah sama kuasa dengan alam dan undang alam.

Kalau begitu apa gunanya menyembah Dewa Rah? Dewa Rah tidak diketahui jalannya. DIA adalah satu kegaiban yang maha besar. Sedangkan alam bukanlah semuanya gaib, sudah banyak diketahui undangnya, jalannya. Boleh dilihat akibatnya dan disimpulkan segala buktinya. Ditunjukkan kebenarannya dengan tak pernah mungkir. Boleh dipakai undangnya itu buah keselamatan dan kesenangan didup. Jadi lebih baik sembah junjung dan puja alam saja, barang yang nyata itu. Seandainya Maha Dewa RAH tak menyetujui hal ini, maka dia boleh parani alam dan kalau perlu berjuang, mengukur kekuatan dengan alam. Karena kekuatan RAH dan Alam itu seperti sudah kita andaikan tadi sama, maka kita makhluk yang hina ini boleh menjadi penonton saja. Kita tak perlu takut. Dewa Rah tak akan bisa berhenti memarani kita penonton. Karena DIA tak bisa lepas dari gelutan, sepak-terjang, terlak serta kuntauannya alam yang sama-kuat dengan Dewa Rah itu.

3. Pada jari manis : Dewa Rah kurang kuasa dari alam dan Undangnya.

Seandainya kemungkinan ini benar, maka kita ingat pada nasibnya Dr. Frankenstein. Dia, seperti kita tahu, membikin seorang raksasa. Dia menghidupkan kembali dengan jalan Ilmu Listrik satu mayat. Tetapi otaknya mayat itu, ialah otaknya seorang bangsat. Raksasa yang dihidupkan ini menjadi musuh mati-matian Dr. Frankenstein. Sang dokter terpaksa lari bersembunyi saja, tak sanggup menentang buatannya sendiri. Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari bersembunyi.

Dr. Frakenstein bisa mencari tempat bersembunyi. Tetapi kemanakah Dewa Rah akan bersembunyi? Bukankah semua yang ada ialah alam yang takluk pada undangnya alam? Demikianlah menurut kemungkinan yang terakhir ini Maha Dewa Rah mestinya takluk pada Alam. Sebagai bukti, ialah dimana saja dan pada waktu mana saja undangnya alam tak pernah dan tak bisa dapat bantahan.

Demikianlah kalau kita pakai pikiran yang jernih, hati berani dan jujur, memikirkan, bahwa zat berasal pada Rohani, kita mesti tersesat. Kita mesti akui, bahwa hakekat yang semacam itu bertentangan dengan akal.

Gauthama Budha yang saya anggap ahli filsafat MISTIKA yang terbesar, semenjak dunia ini diketahui, ahli filsafat yang lebih besar pengaruhnya dari ahli filsafat Barat, dari Plato sampai Hegel, lebih besar dari pada pengakuan Barat sendiri. Gauthama Budha yang sudah mengakui, bahwa Rohaninya sudah bersatu padu dengan Roh Alam, sudah sampai ke Nirwana jika disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan: apakah Roh Alam (Rohani) itu sama dengan Jiwa (manusia?), terpaksa menjawab: "Pertanyaan itu salah’’. Artinya hal semacam itu jangan ditanyakan. Artinya Budha sendiri tak bisa menjawab. Tiada pula kita heran kalau ahli MISTIKA zaman sekarang, yang sebesar kaliber Mahatma Gandhi, kalau ditanyakan apakah ahimsa itu, maka Sang Mahatma memakai cara menjawab yang oleh Ahli Logika Yunani dinamai circulo in finiendo, ialah berputar-putar tak habis-habisnya, seperti menghesta kain sarung. Seperti Asia di jaman sekarang, demikianlah Eropa di jaman tengah (tahun 478-1492) tak bisa bercerai dengan persoalan creation, yakni timbulnya dunia yang tak bisa dipisahkan pula dengan Deisme, ialah kerohanian. Pada zaman inilah scholastisme bersimaharajalela. Tetapi pada masa dan sesudahnya Revolusi Perancis (1789), maka filsafat itu tiada lagi dimulai dan diakhiri dengan persoalan timbulnya dunia dan ke-Tuhanan.


BAB II
F I L S A F A T

Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.

Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing- masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber- Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.

Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis "umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa,

sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.

Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.

Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan "materialisme" itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.

Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah

yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.

Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.

"If I go into myself", "kalau saya masuki diri saya sendiri", kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions", bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.

Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang ½ atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.

Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini " dalam" saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide", pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian "bundles of conceptions" kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau" kata Hume, cuma "ide" buat saya.

Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.

Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.

Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.

Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.

Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich" benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.

"Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich" benda itu sendiri.

Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke sehari "Ding an Sich" itu, sudah menjadi "Ding an Furuns". Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi "benda kita". Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns" itu dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:

"Air" umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat asalnya", ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita,

buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di "Ding an Sich"kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.

Dimana lagi "Ding an Sich" itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns", yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.

Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang. Buat Hegel "absolute Idee" ialah, yang membikin benda "Realitat". "Die absolute Idee macht die Gesichte" absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist" yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung" penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.

Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini.

Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke

jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang Idealisme Hegel.

Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap

berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.

"Negara kata", kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan klas". Perjuangan klaslah yang menjadi "Motive- Force", kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee", seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang.

Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia,

yang menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.

Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.

Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa engan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada".

Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.

Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme" yang dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai "the biggest of all", semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan "objective truth", hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth", tadi bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the country of the free", negara merdeka ialah buat

borjuasi amerika. John Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan berpikir, ketika

Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.

Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan anak bininya, "obyective truth" tadi, tidaklah begitu "obyective", tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika sekarang.

Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism" dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.

Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung" yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.

Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.

"Facisme", kata pemikir ini "bukanlah New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru". "Manusia" katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung", pergerakan kekal buat berpaduan.

Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi" sebab negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.

Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi- baru dan paham-baru" katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise Bonaparte", tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar "ommpya" dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia itu.

Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan" menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie" buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan "paduan dengan Tuhan itu" dengan lekas.

Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.

Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah "semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?" Lama-lama persoalan "semua ini" cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara boleh dikatakan sempurna.

Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.

Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia.

Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.

Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer" lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.

Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu bermacam- macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.

Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?" Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu

tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan Rohani", badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind" kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.

Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.

Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment. Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.

Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam- macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!


BAB III
ILMU PENGETAHUAN - SAINS

SUDAH kita bicarakan, bahwa timbul, tumbuh, dan tumbangnya Indonesia Merdeka di dunia (“besar hendak melindih, lemah makanan yang kuat, bodoh makanan yang cerdik”) terutama tergantung pada industri. Pada industri kita jumpai perkawinan sains dan teknik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sains dan teknik tak bisa dipisahkan, seperti juga energi dan materi. Sains dilaksanakan di teknik dan kemajuan atau kemunduran teknologi memajukan atau memundurkan ilmu pengetahuan pula.

Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu pengetahuan akan terbelenggu. Semua negara merdeka sekarang menasionalkan, merahasiakan penemuan, guna dipakainya sendiri untuk persaingan dalam perniagaan atau peperangan! Saintis (ilmuwan) Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini. Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara. Begitu juga kemerdekaan sains bagi satu kelas, sehidup dan semati dengan kemerdekaan kelas itu.

Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, seperti 350 tahun belakangan ini. Politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekuatan Indonesia untuk memastikan belenggu Indonesia seperti ular kobra memeluk mangsanya.

Begitulah ekonomi politik dan sains itu satu paduan yang tidak boleh dipecah-pecahkan. Bibit sains yang diakui kebenarannya di seluruh dunia, sekarang kita dapati pada bangsa Yunani. Sepanjang pikiran saya bangsa inilah bangsa purbakala terbesar jika dipandang dari penjuru ilmu pengetahuan. Ilmu apa saja, kalau kita gali asalnya, kita berjumpa dengan Aristoteles yang menjadi guru besar pemikir Arab. Marx, tak jemu memberi pujian kepada “singa-pikiran” Yunani itu. Galen menanam biji kedokteran. Euclides mengumpulkan matematika. Phytagoras pasti kita pelajari dalam sekolah, kalau kita belajar matematika. Archimedes tak bisa dilupakan dalam ilmu alam. Demokritus dan Heraklitos, bapak teori molekul dan atom, bapak dialektika, menjadi makin berarti seiring dunia yang bertambah tua.

Pada bangsa Arab orang Barat berterima kasih, karena bangsa ini menyimpan dan memajukan kecerdasan Yunani. Al Kimia adalah pusaka dari Arab, yang dimajukan jauh oleh bangsa Barat. Tetapi selain ini, bibit sains tak berapa tumbuh bermula (orisinal) di dunia Arab. Aljabar yang besar sekali artinya dalam sains sekarang, bukan terbit di dunia Arab, melainkan di India. Seperti halnya kompas, ilmu mencetak buku, dan obat bedil, dipindahkan oleh saudagar Arab dari Tiongkok ke Eropa, begitu juga aljabar diambil dari India dan dipindahkan ke Barat. Di sana dia tumbuh dari bibit sampai ke pokok yang bercabang-cabang di masa sekarang.

Sudah tentu mustahil menguraikan sains yang bercabang dan ber-ranting begitu banyak satu per satunya pada buku ini. Satu cabang seperti biologi saja bisa menawan seumur seseorang manusia dengan belum bisa menghabiskan persoalan yang ditimbulkan oleh Biologi itu saja.

Tetapi barang siapa di antara pembaca ini berniat mendalami pengetahuan tentang suatu cabang ilmu pengetahuan, maka di masa sekarang cukup jalan untuk memenuhi maksudnya. Dan lagi, maksud buku ini terutama ialah mengemukakan “cara” berpikir tangkas yang dipakai oleh sains. Walaupun cara yang dipakai dalam sains memasukkan juga dialektika dan logika, tetapi sains tentulah mengistimewakan “metode”, cara yang dipakainya sendiri. Dalam sains sendiripun ada berlainan metode yang diutamakan oleh masing-masing cabang. Matematika (ilmu dan bilangan) memakai cara dan nama lain dari ilmu alam dan biologi, walaupun semangat dan pokok besar kedua cara yang dipakai sebetulnya sama juga. Sebagaimana ilmu alam dan kimia dan lain-lain, sekarang dipengaruhi oleh dan didasarkan atas elektronika, begitulah pula semua cabang ilmu sekarang, dipengaruhi dan disandarkan pada matematika.

Sudah diketahui, bahwa ilmu teknik sipil, kimia atau listrik, sehidup semati dengan matematika. Setelah Mendelisme diakui kebenarannya, maka biologi Darwinisme yang bersandar pada logika dan dialektika saja, sudah tak berpisah lagi dengan matematika. Begitulah pula ilmu sosial, seperti ekonomi, tidak merasa sempurna kalau tidak disandarkan

pada statistika, yang merupakan bagian matematika pula. Kita sudah ketahui, bahwa ahli bintang yang terbesar seperti Newton, Laplace, dan Einstein juga ahli matematika terbesar. Buat pemikir sosial, walaupun dialektika dan logika yang diutamakannya, tetapi cara berpikir yang dipakai oleh ahli matematika juga tiada percuma kalau diketahuinya. Seperti pemain sepak bola yang tiada rugi kalau dia mempelajari tenis atau berenang, begitulah juga pemikir sosial pada siapa Madilog dipusatkan, akan bertambah kecerdasannya, kalau ia mempelajari dan memahami cara yang dipakai matematika.

Seorang bertubuh baik dan kuat, kalau sudah dilatih dengan silat yang baik, akan berbeda pandang langkah sikap dan tangkisannya terhadap serangan lawannya dari pada ketika ia masih hijau, belum dilatih. Begitulah juga otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah. Tiada percuma orang barat mendasarkan sekolah rendah dan menengah pada matematika. Tiada percuma Euclides, ahli matematika Yunani, dijadikan guru pemuda di seluruh dunia beradab masa sekarang. Pendidikan Indonesia, saya pikir baru sempurna kalau pemuda putra dan putri, atas belanja negara mesti tamatkan SMP, kecuali satu dua yang betul tak kuat otaknya untuk menjalankan. Entah dari mana, buku, majalah, atau surat kabar apa, saya sudah lupa, tetapi dalam pelarian saya yang lebih dari 20 tahu itu, tiga definisi yang pendek dan jitu yang saya ingat tentang sains adalah:

Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.

1. Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti.

2. Sains, ialah simplification by generalisation, penyerderhanaan generalisasi.

3. Ketiga definisi ini satu sama lainnya berhubungan dan isi mengisi, tambah menambah.

Dipandang dari satu penjuru, yang pertamalah definisi yang jitu. Dari penjuru yang lain yang kedualah dan seterusnya. Bermula sekali diatas saya memakai kata definsi, artinya ketentuan, kepastian. Definisi penting sekali untuk segala macam sains, buat accurate thought. Penting buat matematika, ilmu alam dan logika.

Pasal 1. DEFINISI.

SAYA terjemahkan dengan penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah untuk menentukan batas-batas yang tepat suatu perkataan atau hukum atau paham. Lebih dahulu mesti kita definisikan definisi itu sendiri. Lebih dahulu kita pastikan kepastian itu “Apakah definisi itu?” adalah pertanyaan yang kita lebih dahulu mesti jawab. Tanpa definisi, tak bisa ada sains, seperti sebetulnya keadaan di seluruh dunia Asia sebelum Barang datang. Tak beres definisinya, maka morat marit, cantang perenang dan kacau balaulah sains. Cabang sains yang mau diuraikan seperti ilmu bumi umpamanya, mesti dipastikan dibatasi, didefinsikan lebih dahulu. Kalau tidak, pembicaraan bisa meluap, mengembara kian kemari, melampaui dan meninggalkan cakupannya. Madilog ini umpamanya, ialah satu perkara tentang cara berpikir. Perkara lain, tetapi berhubungan kena mengena dengan Madilog boleh dan mesti diuraikan, tetapi tak boleh melewati dan menyesatkan Madilog dari pokoknya, dari tujuannya, yaitu perkara cara berpikir.

Sesudah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mau diuraikan itu didefinisikan, maka perlulah dipastikan materi bahannya lebih dahulu, yakni segala bukti yang menjadi sendir dari ilmu pengetahuan itu.

Akhirnya, hukum yang diperoleh sebagai hasil pemeriksaan yang tenang mesti dipastikan betul-betul. Demikianlah pentingnya definisi dalam ilmu pengetahuan.

Satu definisi mesti cocok dengan perkara pertama, seperti disebut di atas mesti accurat, jitu, tepat. Apakah yang bisa dinamai jitu, tepat, dan akurat itu? Kalau materi yang dipastikan, didefinisikan itu terbatas, terpagar, dan semuanya berada dalam batas-batas itu (Inggrisnya : mark of the thing, refer to all things). Kalau pagar pembatasannya tak rapi dan tak semua materi berada dalam pagar itu, maka definisi itu gagal.

Dari materi yang mana ia dipagari? Dari materi yang satu golongan, satu kelas dengannya, tetapi mempunyai perbedaan.

Jadi definisi itu bermaksud: pertama, menentukan golongan kelas suatu barang. Dan kedua, perbedaan barang itu dengan barang lain yang satu kelas, satu golongan dengannya. Definisi itu mesti menampakkan essential attributes, sifat-sifat utama. Sifat-sifat yang utama ialah kelas dan perbedaan.

Contoh: kita mau memastikan, mendefinisikan manusia. Lebih dahulu kita mesti mencari golongan, kelas manusia, yaitu hewan. Tetapi hewan itu cukup luas cakupannya. Di dalamnya termasuk ular, kerbau, monyet, dll. Kita tahu monyet itu hewan, dan manusia itu termasuk golongan hewan. Dalam hal ini manusia dan monyet tadi memang bersamaan. Tetapi kanak-kanak pun tahu bahwa manusia bukan monyet, dan monyet bukan manusia. Jadi definisi kita tadi, bahwa manusia itu hewan belumlah pas. Kita mesti mencari perbedaan dengan monyet yang satu kelas dengan manusia itu. Kita tahu, atau sekarang ini kita percAya (mesti belum tentu besok keyakinan ini tetap benar) bahwa manusia itu mempunyai akal, dan monyet tidak, cuma berinsting.

Manusia pandai berpikir menurut hukum yang kita namai hukum berpikir atau logika, tetapi monyet cuma berinsting, berkecerdasan yag diberikan alam padanya. Pendeknya, menurut pengetahuan kita sekarang, perbedaan manusia dengan monyet adalah bahwa yang pertama pandai berpikir dan yang kedua tidak.

Definisi, kepastian yang sempurna tentang manusia, sekarang ada seperti berikut :”manusia ialah hewan yang berpikir”. Definisi semacam ini sudah bisa menjawab dua syarat definisi: golongan atau kelas sebuah benda, dan perbedaan antara benda itu.

1. Masuk golongan apa manusia itu? Jawab: masuk golongan hewan.

2. Apa perbedaan manusia dengan monyet yang masuk golongan hewan juga? Jawab: manusia pandai berpikir, monyet tidak.

Selama kita belum mendapat kepastian bahwa monyet tak pandai berpikir, maka tingkat daya upaya kita yang pertama untuk mendapatkan definisi tadi sudah selesai. Dalam hal ini kita mesti naik ke tingkat kedua. Kita mesti uji terus apakah definisi tadi betul memadai. Sekarang mesti kita periksa. Pertama, apakah semua barang yang mau kita definisikan itu (dalam hal ini manusia) masuk ke dalam pagar pembatas atau tidak semuanya. Kedua, apakah ada barang lain yang bukan manusia masuk ke dalam batas itu.

Kalau kita tahu bahwa semua A = B maka sebaliknya, kita mesti bertanya apakah semua B = A. Kalau jawabnya ya, barulah selesai. Tegasnya, kalau kita tahu semua manusia adalah hewan yang berpikir, maka kita mesti bertanya apakah semua hewan yang berpikir itu manusia? Kalau jawabannya ya, maka benarlah definisi itu. Kalau tidak, gagallah percobaan kita. Marilah kita periksa apakah semua manusia itu adalah hewan yang berpikir.

Kita tahu umpamanya, tetangga kita selalu dipasung. Apa yang dia bilang, kita tidak mengerti. Menggelikan atau menyedihkan hati kita. Orang bilang tetangga ini “gila”. Otaknya sakit, tak beres lagi kerjanya. Dulu beres, Sekarang tidak.

Tidak apa, ini adalah satu exception, satu perkecualian. Sains pun mempunyai exeption. Lagi satu keberatan. Wak Gaib nama kenalan kita itu, cakapnya lain dari orang biasa. Tadi malam katanya ia “naik nafas” pergi ke Kairo berjumpakan Sultan Farouk. Tadi malam juga dia balik ke desa Sawarga, tempatnya tinggal. Cerita semacam ini memang tak masuk pada akal kita manusia biasa. Ini pun satu exeption dari manusia dipasung tadi. Wak Gaib dari desa Sawarga, juga satu perkecualian dari manusia biasa. Tetapi, perkecualian ini tidak seperti perkecualian biasa. Kedua manusia di atas berotak juga dan otaknya berpikir juga, walaupun hasil pikirannya tak sama dengan buah pikiran orang normal.

Untuk sementara, ujian kita lulus, ujian tentang “semua manusia adalah hewan yang berpikir” itu bisa dipakai. Sekarang mesti kita periksa sebaliknya, apakah semua hewan yaNg berpikir itu manusia.

Walaupun banyak cerita dari pemburu, penggembara, naturalisten, ahli hewan dan tumbuhan yang membuktikan kecerdasan binatang seperti serigala, gajah, monyet, kancil dan pelanduk dalam peri kehidupan mereka, sementara boleh kita putuskan: tak ada di antara hewan yang bukan manusia itu pandai berpikir. Malaikat umpamanya, pandai berpikir. Tetapi kita manusia biasa belum pernah berjumpa malaikat dan kita tak bisa memanggil malaikat pada tempat dan waktu yang kita pilih, seperti kita bisa nyalakan api asal ada latnya pada waktu dan tempat yang kita kehendaki.

Untuk sementara, tak kita dapati barang yang bukan manusia termasuk dalam golongan hewan yang berpikir. Semua manusia termasuk hewan yang berpikir. Sebaliknya tak ada yang bukan hewan berpikir termasuk jadi manusia. Semua hewan berpikir itu manusia belaka (A=B dan B=A). Jadi sementara benarlah definsi kita. Luluslah ujian pada tingkat kedua. Tetapi kerja kita belum lagi sempurna. Kita mesti naik ke tingkat tiga, tingkat penghabisan.

Pada tingkat ini kita mesti periksa, apakah definisi kita mencukupi segala syarat berikut :

1. Definisi sebisa-bisanya singkat, tetapi jangan terlalu luas atau terlalu sempit.
2. Definisi tak boleh circular atau berputar-putar.
3. Definisi itu mesti general atau umum.
4. Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif, penggambaran, kata yang obscurate, menggunakan perkataan gaib, samar.
5. Definisi tak boleh memakai kalimat negatif.

Marilah kita jelaskan satu persatu.

1. Definisi itu sebisa-bisanya singkat. Sebisa-bisanya!

Ada kalanya tidak bisa dipendekkan. Kalau dipendekkan maknanya menjadi sempit. Definisi tak boleh terlalu sempit dan tak boleh terlalu luas. Kalau saya bilang “manusia itu hewan”, maka betul definisi singkat tapi juga monyet dan ular termasuk hewan. Jadi kalau definisi ini kita balik, kita dapati “hewan itu manusia”. Tegasnya, ular, kerbau dan monyet itu manusia. Begitu juga kalau saya bilang “manusia itu hewan bermata dua sebab kera dan ikan bermata dua.”

Definisi itu tak boleh sempit, ia mesti punya essential attributes: segala sifat penting yang tak boleh lupa. Kalau kita katakan kuda itu binatang memamah, maka definisi itu terlalu luas sebab kerbau juga binatang memamah. Tetapi jika kita berkata “kuda itu binatang memamah buat ditunggangi Pangeran Diponegoro”, maka artinya menjadi terlalu sempit sebab selain untuk ditunggangi Pangeran Diponegoro, dia juga dipakai buat penarik delma, bajak dsb.

Dalam matematika kita lebih mudah mencari contoh. Sebab memang matematika adalah buah pikiran yang pasti berdasar bukti yang didefinisikan lebih dahulu.

Demikianlah square, bujursangkar ialah satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, mempunyai 4 sudut siku-siku. Di sini bukan satu saja sifat yang penting. Pertama, dia mesti “gambar datar tertutup”, bukan gambar pada tempat bertinggi rendah. Bukan terbuka, melainkan semua sisinya bertemu. Kedua, dia mesti dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, bukan 3 atau 5. Garisnya lurus tak boleh bengkok, panjang garis itu sama pula. Ketiga, 4 sudutnya mesti siku-siku. Satu pun dari ketiga sifat diatas tak boleh tertinggal. Kalau tertinggal bukan square yang kita peroleh. Memang definsi sebisa-bisanya pendek, tapi mesti mengandung semua sifat penting.

2. Definisi itu tak boleh circular, berputar-putar.

Kesalahan ini didapat kalau kita memakai perkataan lain yang bersamaan artinya. Contoh dari Aristoteles. “Tumbuhan ialah benda hidup yang mempunyai jiwa vegetable”. Sedangkan vegetable itu artinya tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “tumbuhan ialah barang hidup yang mempunyai jiwa tumbuhan”. Di sini nyata, tumbuhan balik artinya pada tumbuhan. Setali tiga uang. Dengan begitu kita tak mendapat kepastian penjelasan tentang tubuhan. Demikianlah kalau Mahatma Gandhi mendefinisikan bahwa “ahimsa itu soul force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasihan, seperti simpati, rohani. Apakah “kekuatan jiwa itu”? Itulah yang perlu lagi dibuktikan dengan mengganti nama baru yang mesti diterangkan pula, maka pekerjaan itu berputar-putar di sana saja, seperti menghesta kain sarung. Begitulah seorang kenalan saya tak akan memberi keterangan apa-apa, kalau definition itu dia jelaskan begini : “Definition, ialah satu ketentuan yang pasti, yang ditentukan oleh ketentuan yang tentu”. Disini dia pakai perkataan “ketentuan” dan “pasti” berulang-ulang, artinya sama dengan definisi. Meskipun definisinya itu panjang, dia tak memberi keterangan baru, karena keterangan yang diberikannya itu tak berpangkal tak berujung.

3. Definisi itu mesti general atau umum.

Dia mesti umum, biasa, lebih dikenal dari para barang yang hendak didefinisikan. Hewan lebih umum, lebih luas cakupannya daripada manusia. Sebab ke dalam daerah hewan termasuk juga monyet, ular, ikan, dan bukan saja manusia. Tetapi walaupun cakupannya lebih luas, pengertian umum itu sebisa-bisanya lebih dikenal, jangan diketahui oleh kaum istimewa saja, kaum terpelajar saja umpamanya. Contohnya definisi berikut ini. Walaupun betul, cuma diketahui oleh sebagian kecil manusia saja. “Jam adalah sebuah kronometer untuk mengukur waktu dengan jitu”. Cukuplah kalau dibilang “jam adalah perkakas buat mengukur waktu”. Tak perlu kita pergi ke kapal, dimana orang pakai semacam jam istimewa yang bernama kronometer untuk pekerjaan yang kurang dikenal khalayak! Kecuali kalau tak ada cara lain daripada cara khusus ini tadi.

4. Definisi tak boleh memakai metafor, perumpamaan, kata figuratif dan kata yang obscurate, gaib.

Kita dengan definisi hendak memastikan, membuktikan dan menerangkan suatu barang. Dengan memakai ibarat saja, penggambaran saja dan memakai perkataan gaib yang tidak bisa dikenali panca indera, barang yang mau kita definisikan itu tak akan bertambah nyata. Malah sebaliknya.

Demikianlah kalau seorang penyair, tukang metafor yang tulen, mengumpamakan dirinya sebagai “sepantun anak ikan yang di waktu pasang besar hanyutlah ia”. Dalam satu hal dia memiliki persamaan dengan ikan. Ikan dihanyutkan pasang dan si penyair dihanyutkan sengsara hidup, walaupun sengsara hidupnya itu seringkali cuma didapat di ujung pena Parker-nya saja. Tapi lain dari itu tak banyak persamaan anak ikan tadi dengan penyair kita. Kalau dalam mendefinisikan penyair kita definisikan anak ikan sebagai gantinya, maka masuklah pula segala sifat anak ikan yang tak ada pada si penyair. Umpamanya kepala si anak ikan selalu dingin, kecuali kalau sudah masuk kuali. Sedangkan kepala si penyair belum tentu dingin, adem selalu.

Begitu juga dengan memakai gambaran atau memakai kata-kata gaib, barang yang akan dipastikan tak akan bertambah pasti, malah sebaliknya bertambah gaib.

Demikianlah kalau sekiranya saya sajikan definisi tentang Rohani kepada pembaca yang terhormat: “Rohani itu ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda Rajawali yang mengendari bulan dan matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi yang bisa menjelma menjadi Kuman Pasopati memasuki Pagar Jasmani”.

5. Definisi tak boleh memakai kalimat negatif (tak ber-).

Kalau saya definisikan orang miskin sebagai orang ynag tak kaya, maka definisi itu negatif. Tak bersifat yang nyata, yang positif. Bandingkanlah dengan definisi ini: orang miskin ialah orang yang tak punya harta benda apa-apa. Kadang dalam matematika sebuah definisi bersifat negatif, tapi ia sebenarnya positif. Umpamanya: satu garis lurus itu tak mengubah tujuannya. Di sini kata “tak mengubah” berarti “menetapkan”. Jadi definisi itu boleh diganti menjadi:

satu garis itu menetapkan tujuannya. Kadang-kadang tak ada akal lain kecuali memberikan definisi yang negatif, umpamanya: gelap itu ialah tak terang.

Apabila Gautama Budha disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan sifat nirwana, rohani, atau jiwa, maka dia jawab: 1. Bukan ini. 2 Bukan itu, 3. Bukan ini atau itu (either this or that, Inggrisnya). 4. Bukan tak ini dan tak itu (not neither this or that).

Barangkali sebagai pusaka dari putera raja kapilawastu yang memang pandai sekali memakai logika, walaupun berdasar mistika, maka di masyarakat Indonesia pun kita berjumpa dengan “jawaban main tidak” itu dalam ilmu gaib.

Terlampau panjanglah sudah uraian kita tentang definisi. Tetapi definisi itu kita anggap sebagai wilayah sains, ilmu pengetahuan. Tak berdefinisi, maka semua ilmu tinggal satu onggok bukti saja, seperti seonggok pasir, tak ada pertalian masing-masing pasir. Baru kalau didefinisikan, yang berarti juga diorganisir, disusun, digenalisir, baru segala bukti yang teronggok tadi jadi sains. Onggokan pasir tadi baru bersatu dan kokoh, kalau diikat dengan semen.

Pasal 2. MATEMATIKA

ILMU tentang bidang dan bilangan yang kita pakai sekarang pada semua sekolah yang berdasar peradaban barat ialah matematika, yang disusun oleh Euclides. Walaupun aljabar amat penting dalam semua ilmu pengetahuan, sekarang tiadalah dia akan saya ambil sebagai model, contoh untuk menjelaskan cara berpikir yang dipakai dalam matematika. Barangkali di antara para pembaca tentu ada seperti saya yang selalu diingatkan oleh guru, kalau menjawab perhitungan aritmetika janganlah memakai cara aljabar. Peringatan dari guru itu bermakna sekali.

Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu.

Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita. Memindahkan persoalan berhitung aritmetika tadi pada persoalan aljabar yang memang memudahkan semua persoalan dan lekas mendapatkan hasil. Tiadalah lagi dipikirkan jalan, cara, metode mana yang dipakai dan cara mana yang pendek dan jitu di antara beberapa cara. Yang dipikirkannya ialah lekas mendapat hasil, pendapatan yang betul, result. Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu sendiri. Begitulah menurut pendapat penulis ini.

Belakang hari di kelas sekolah yang lebih tinggi, penulis juga tiada begitu lagi memperhatikan hasil itu. Kalau sudah terlihat cara yang baik di antara dua atau lebih cara, maka sering penulis tiada lagi menyelesaikan persoalan itu sampai mendapatkan result dan tidak perdulikan beberapa soal yang bisa diselesaikan dengan hanya satu cara. Dengan begitu, banyak waktu terpelihara dan saya pikir kecerdasan berpikir bisa maju. Pada matematika yang tinggi, hasil itu memang tidak begitu penting lagi.

Memang aljabar lebih abstrak dari aritmetika, lebih terpisah dari pada benda. Pada aritmetika saja kalau kita lihat 2 + 2 = 4, maka tiada lagi kita pikirkan bahwa dua itu Cuma bilangannya, nomornya, salah satu dari sifat barang itu, bukan benda itu sendiri. Seperti juga hitam, ialah warna barang, bukan barang itu.

Bilangan itu sudah terpisah dari benda dan bisa mewakili semua benda. 2 itu bisa jadi 2 kerbau atau 2 telur. Kita tahu, kalau 2 kerbau + 2 telur, kita tidak akan mendapatkan 4 kerbau atau 4 telur. Yang 4 itu cuma bilangan. Satu hal yang terpisah dari benda, Cuma ada dalam pikiran abstrak belaka. Syahdan alajabar lebih terpisah, lebih abstrak lagi. Marilah kita ambil formula.

(a+b) (b-a) = a² - b². Kalau a itu 3 dan b itu 2 maka (3+2)(3-2) = 3 ² - 2 ². Di sebelah kiri tanda = kita peroleh 5 x 1 = 5. Di kanan 9 – 4 = 5 pula. Jadi yang di kiri bersatu, sama dengan di kanan. inilah juga asal makna aljabar dalam bahasa Arab. Kalau 4 bukan 3 seperti diatas melainkan 5 dan b bukan 2 melainkan 3 umpamanya, maka kita peroleh (5+3) (5-3) = 5 ² - 3 ². Di kiri tanda = kita peroleh 8 x 2 = 16. Di kanan juga 16, yaitu 25 – 9.

Begitulah seterusnya a itu mewakili tak berbatasnya angka, unlimited, bisa 2, 3, 4 ....begitu juga b, mewakili tak berbatasnya. A itu tak perlu lebih besar dari b, umpamanya (2+3) (2-3) = 2 ² - 3 ² atau 5 x (-1) = 4 – 9 = -5. Q,E, D.

Seperti angka-angka tadi mewakili benda, 2 kerbau atau 2 telur, begitu juga a yang mewakili angka, 2, 3, 4 dsb. Adalah hal yang abstrak, terpisah dari benda. Sedangkan angka itu sendiri sudah abstrak, apalagi huruf a dan b dalam aljabar tadi. Aljabar adalah ilmu yang lebih abstrak dari aritmetika, begitu terpisah dari benda.

Bukan maksud saya mengatakan, bahwa karena matematika terpisah dari benda, maka ia tak berguna. Jadi aljabar tinggi yang lebih abstrak tadi adalah lebih tak berguna. Sudah tentu tidak. Bagaimanapun abstraknya aljabar, dia berdasarkan aritmetika juga, dan aritmetika itu berdasarkan benda juga. Tetapi guna mengambil contoh untuk menjelaskan cara berpikir, tentu kita tak boleh mulai dari ilmu yang sudah abstrak, yang sudah sampai ke tingkat atas itu. Kita mesti ambil permulaan atau pertengahan. Di mana cara berpikir itu masih didasarkan pada barang yang nyata, pada bukti, facts. Kita ambil contoh geometri. Geometri tidak diajarkan di sekolah rendah, melainkan di sekolah menengah.

Bukti, facts, dalam geometri memang tak selalu begitu nyata seperti pada ilmu alam atau kimia. Tetapi cukup nyata dan bisa digambarkan dalam otak atau di atas kertas. Pentingnya geometri terletak pada definisinya yang jitu dan “cara” yang pasti. Keduanya menambah kecerdasan berpikir. Dari geometri kita bisa memanjat ke tangga yang lebih tinggi. Lulusan SMP kalau punya otak sedikit lebih dari rata-rata, saya pikir dengan belajar sendiri bisa sampai ke langit matematika, bila ia cukup sabar dan mempunyai waktu. Tetapi susah, kalau bukan mustahil, mempelajari dan memahami logika dan dialektika kalau tidak lebih dahulu dilatih, dididik dengan geometri.

Pasal 3. GEOMETRI.

BERMULA sekali dalam buku sekolah menengah, kita bertemu dengan definisi geometri kira-kira seperti berikut: ilmu yang mempelajari sifat bentuk tiga dimensi, bidang, garis, dan titik. Sifat yang dipakai dan dipelajari dari badan, tentulah sifat yang berkenaan dengan ilmu geometri saja, bukan yang berkenaan dengan ilmu lainnya, misalnya ilmu alam. Geometri tidak memperdulikan zat berat, panas, dan energi suatu bentuk tiga dimensi.

Satu per satunya didefinsikan pula.
Beginilah dipastikan :
Isi adalah bagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru.
Bidang adalah batas massa.
Garis adalah batas bidang.
Titik adalah batas garis.

Marilah kita periksa definisi di atas ini dengan melaksanakan pengetahuan ktia tentang definisi.

Isi, katanya, ialah sebagian dari ruang alam, space. Jadi isi masuk golongan, kelas yang lebih umum, yaitu “sebagian ruang alam”. Sebagian itu bukan berarti seluruhnya dari ruang alam yang luas itu. Tetapi 1 m³ udara, juga masuk golongan “sebagian ruang alam”. Kita tahu badan, seperti kerbau, manusia dsb, bukan 1m³ udara yang juga sebagian dari ruang alam. Jadi definisi di atas mesti dipagari, karena terlampau luas. Pagarnya, adalah perbedaan badan dengan barang lain yang sama golongannya.

Anak kalimat “yang berbatas ke semua penjuru” inilah yang menjadi pagar. Isi yang masuk golongan “sebagian dari ruang alam” itu harus berbatas ke semua penjuru. Baik di atas maupun di bawah. Di kiri maupun di kanan. di depan atau di belakang. Isi itu seperti peti dsb. Mempunyai batas bidang. Sedangkan udara yang juga termasuk golongan “sebagian dari ruang alam” tak terbatasi oleh bidang. Seterusnya, semua isi bernyawa atau tidak ialah sebagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru. Dan sebaliknya, sebagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru ialah isi.

Jadi definisi tentang isi cukup jitu. Golongan dan perbedaan adalah essential attributes. Pula definisi itu pendek, tak berputar-putar, umum, tak mengandung ibarat, kata gaib, dan tidak pula negatif. Pendek kata, definisi itu sempurna menurut sains. Seterusnya, bidang ialah batas isi.

Begitulah definisi tentang bidang, garis, dan titik contoh dengan sains, jadi sainstifik. Tetapi akan terlalu panjang kalau saya mesti periksa satu persatunya. Terserah kepada pembaca untuk memeriksanya sendiri. untuk menerapkan yang sudah dipelajari.

Sesudah menerangkan tentang geometri dan bukti yang dipakainya, sesudah mengingatkan bahwa definisi itu cocok dengan definisi pertama yang saya kemukakan tentang sains, yaitu akurat, maka saya ingatkan definisi kedua dan ketiga. Sains itu ialah organization of facts, penyusunan segala bukti dan simplification by generalisation, penyederhanaan dengan generalisasi bukti. Kedua definisi ini pun kena mengena, isi mengisi dan keduanya berdasar atas facts, bukti.

Organisasi atau generalisasi dalam matematika berupa teori dan dalam ilmu bintang atau ilmu alam berupa law atau hukum. Kita bisa dengar teorema Fermat dan Euler, Binomium of Newton, Laws of Motion (Hukum Gerak) Newton, Daltons Law (Hukum Kimia Dalton), dll. Teori atau hukum tadi keduanya hasil dari penyusunan dan generalisasi beberapa bukti, berdasarkan atas bukti. Tetapi bukti yang kita pakai dalam geometri, seperti isi, bidang, garis, dan titik berlainan dengan bukti yang diladeni oleh ahli bintang, tumbuhan, binatang, manusia, dan zat.

Isi bisa kita pastikan dengan panca indera kita, tetapi bidang, garis, dan titik cuma bisa kita “hampiri” keadaanya dengan gambaran. Bidang itu tidak bisa berdiri sendiri. Bidang peti tidak bisa kita potong jadi peti tadi. Kalau kita potong berapapun tipisnya, maka jadilah badanlah dia dan mengambil “sebagian dari ruang alam”. Selain itu, maka mesti kita pikirkan sifat yang lekat pada bidang yakni dua dimensi, dua ukuran, dua besaran: panjang dan lebar. Sedang badan itu mempunyai tiga dimensi : panjang, lebar, dan tinggi.

Garis ialah batas bidang. Garis hanya mempunyai satu dimensi, yakni panjang. Jadi ia tak punya lebar. Berapa pun runcingnya pena kita, garis yang kita bikin itu mesti masih punya lebar. Kita tahu yang punya lebar dan panjang ialah bidang. Garis cuma satu dimensi saja yaitu panjang.

Titik ialah batas garis, satu titik berada di ujung dan yang lain berada di pangkal garis. Suatu titik tak punya ukuran, besaran. Bagaimanapun halusnya ujung pensil kita, titik yang kita bikin di atas kertas tadi masih punya 3 dimensi : panjang, lebar dan tinggi.

Nyatalah sudah, bahwa bidang, garis, dan titik yang kita namakan bukti, tidak seperti bukti biasa yang bisa kita saksikan dengan panca indera kita. Tetapi kita bisa hampiri dengan gambaran, seperti molekul, atom, walaupun dalam teorinya menjadi benda yang tak berbatas kecilnya, asalnya dari benda juga. Kita tak perlu lari ke dunia kegaiban. Bidang, garis, dan titik yang mesti kita dekati dengan gambaran walaupun tidak seperti bintang bagi ahli astronomi atau kuman bagi ahli biologi, bukanlah barang yang semata-mata kosong, nothing, seperti rohani.

Kita bisa mendekatinya dengan gambaran dan bisa menggambarkannya dalam otak. Dan semenjak Rutherford, memang sudah bisa dilihat dengan teropong. Walaupun alam tiada memperhatikan dan jarang sekali memberikan kepada kita benda seperti kubus, silinder, bujur sangkar, lingkaran, segitiga, dan garis lurus, tetapi sebagai hasil dari otak, maka ahli matematika, kaum insinyur dan seniman sudah memberikan bermacam-macam gedung, rumah, dan kesenian yang permai kepada kita. Menambah kesehatan dan mempertinggi peradaban kita.

“Cara berpikir” jitu yang melayani bukti, yang teristimewa masuk dalam wilayah geometri tadi saja juga dipakai dalam memikirkan perkara-perkara lain. Atau cara itu berkenan langsung atau tidak dengan cara yang dipakai untuk melayani perkara di luar ilmu ukur. Sebab itu, cara berpikir dalam ilmu ukur penting sekali buat latihan otak.

Pasal 4. TEORI DAN UJIAN.

TEORI mesti diuji. Teori dalam bahasa Inggris bisa didefinisikan sebagai “satu hipotesis yang sudah diuji”. A proved hypothesis. Satu hipotesis ialah satu paham yang sementara dipakai tetapi belum nyata kebenarannya: satu persangka, satu kepercayaan semata-mata. Kalau sudah nyata kebenarannya, ia bernama teori.

Selama atom masih tinggal dalam otak Democritus saja, maka atom tadi dalam ribuan tahun masih tinggal sebagai hipotesis. Tetapi sesudah atom itu sekarang bisa dilihat dengan mikroskop, maka atom itu bukan barang kepercayaan, dugaan lagi, melainkan bukti. Kadang-kadang teori itu juga dipakai untuk ditentangkan dengan praktek. Teori yang tidak bisa dipraktekkan semata-mata tinggal sebagai teori belaka. Teori yang kita maksud di sini adalah teori yang nyata kebenarannya, teori yang sudah diuji dan dilaksanakan sehari-hari.

Disini mesti diingat, bahwa perkataan Latin atau Yunani yang pindah ke bahasa Belanda dan Inggris sudah tidak berubah lagi pengertiannya. Asalnya sama, tetapi perkembangannya berlainan. Begitulah perbedaan terjemahan dan pemakaian kata-kata “teori” dan “probelm” dalam dua bahasa tersebut.

Yang penting buat saya, buat Madilog, ialah metode atau cara yang dijalankan untuk menguji benar tidaknya suatu teori. Metode yang dipakai :

1. Metode sintesis.
2. Metode analitis.
3. Metode reductio ad absurdum.

Ketiga metode ini sukar dilaksanakan dengan tepat kalau tiada mengambil contoh dari geometri sendiri. Sebab itu kita rasa perlu di sini berlaku sebagai murid sekolah menengah untuk menguji benar tidaknya suatu teori (Bagi pembaca yang tidak mempelajari geometri, bagian ini bisa dilampaui saja).

1. Metode sintesis

Untuk melaksanakan metode ini saya ambil teori Pythagoras, filsuf Yunani yang masyhur lebih dari 2.500 tahun yang lampau. Bukan saja teori ini memberi contoh yang baik guna melaksanakan metode sintesis. Tetapi juga sebagai penghormatan kepada pemikir besar zaman purbakala yang dengan beberapa pemikir Yunani lain, boleh dianggap perintis sains. Teori Pythagoras adalah satu anak tangga yang mesti dinaiki pada jenjang geometri, menurut sistem Euclides. Beberapa cara ujian bisa dilakukan. Dulu saya tahu beberapa jalan. Sekarang sudah lupa. Tetapi ujian yang di bawah ini cukup baik buat maksud kita.

TEORI PYTAHGORAS :
“Jumlah kuadrat (lipat dua) dari dua garis sudut siku = kuadrat dari garis miring Terbukti ABC bersiku (90º) pada A. C
Mesti di uji : AC ² + AB ² = BC ²
D Ujian: Kita tarik garis tinggi AD (artinya AD membentuk sudut (90º) pada BCA B

ADC sama bentuk dengan ADB. Jadi, ADC sama bentuk dengan ADB (menurut teori sama sebangun) – tingkat I CD : AC = AC : BC
DB : AB = AB : BC
(menurut teori sudut siku) – tingkat II Jadi AC ² = CD x BC
AB ² = DB x BC
(menurut teori hukum aritmetika) – tingkat III AC ² + BC ² = (CD + DB) x BC = BC x BC = BC ²
(menurut hukum aritmetika) – tingkat IV

Empat tingkat I, II, III, IV, kita mesti jalani baru sampai ke penghabisan. Masing-masing dari 4 tingkat itu ialah teori geometri juga, tetapi III dn IV ialah teori atau hukum yang dipakai pada aritmetika yang bisa dipakai pula dalam aljabar. Tiap-tiap teori yang dipakai bisa dipecah lagi menjadi teori yang dipelajari lebih dahulu.

Nyatalah sifat atau metode cara sintetis itu memasang teori yang sudah dikenal, sampai teori yang mesti diuji nyata kebenarannya. Kita berjalan dari yang dikenal kepada yang baru. Kita pasang segala teori yang sudah dikenal guna menyatakan yang belum dikenal. Seolah-olah kita berjenjang naik!

Kalau kita pakai jalan analitis, kita berlaku sebaliknya. Kita bertangga turun.

2. Metode analitis

Teori = soal : kalau salah satu dari 2 sisi sudut siku itu setengah dari sisi yang miring (hypotenusa), maka di depan sisi itu ada sudut 30º

Diketahui : sudut CAB = 90 º C AC = ½ BC = CD

D 30 º A B

Mesti di uji sudut ABC = 30 º

Disini kita tidak kenal atau tak lekas kenal teori yang bisa dipasang guna mencapai maksud kita. Bisa jadi kalau lama kita renungkan atau kita pendam soal ini dalam kepala, maka sesudah satu atau dua jam, satu atau dua hari, sedang mandi atau menyepak bola, sedang minum es atau makan gado-gado, jawabnya tiba-tiba keluar. Tetapi sikap ini tak bisa dipakai dalam ujian. Kalau jalan sintetis tak lekas membawa hasil, maka andaikan teori ini benar.

Jadi sudut ABC yang mesti kita uji itu betul 30 º

Kita bertanya, apakah akibatnya? Kalau akibatnya tidak berlawanan dengan hukum geometri umumnya dan fakta-fakta soal, yaitu bukti teori yang khususnya mesti kita wujudkan, maka benarlah soal itu.

Demikianlah kalau ABC = 30º, maka ACB = 60º. Kalau begitu ADC = 60º sebab AC = CD menurut bukti-bukti soal. Kalau ADC = 60º, maka ADB = 180º - 60º = 120º.
Kalau ADB = 120º, maka BAD = 180º - (120º+30º) = 30º Kalau BAD = 30º, maka DAC = 60º

Dan ini benar, menurut yang berbukti bermula. Quot Erat Demonstrandum. Demikianlah sudah terbukti.

Nyatalah di atas, kita bermain dengan “kalau” dan main “andai”. Dari ujung yakni perkara yang mesti ktia uji sampai ke pangkal, ke dasar geometri, kita main “andai”. Bila kita tak bertemu dengan hal yang berlawanan, dengan geometri umumnya dan bukti-bukti yang didasarkan pada soal itu sendiri khususnya, maka benarlah jalan kita. Betullah teori atau soal itu tadi.

Dengan metode sintesis kita berjalan dari yang dikenal ke yang belum atau yang mau kita kenal. Dengan metode analitis sebaliknya. Kita berjalan dari yang mau tetapi belum kita kenal, kepada jalan yang sudah kita kenal. Kita ungkap segala yang tersembunyi dalam rahasia baru, dalam teori atau soal baru.

3. Metode reduciton ad absurdum

Ada kalanya kita tak lekas atau tak dapat jalankan 2 metode di atas. Dalam hal ini kita pakai perkakas terakhir, metode reduciton ad absurdum. Kita jerumuskan, sengaja sesatkan siapa yang tak percaya pada teori itu supaya insyaf, bahwa teori itu saja yang benar.

Teori atau soal berkata :
Cuma satu garis siku bisa dijatuhkan dari titik C pada garis AB. A B Terbukti : garis AB
C D Sudut CDA = 90º

Mesti diuji : cuma CD saja yang bersiku (90º) pada AB.

Ujian : kita kerok otak kita mencari teori dan hukum yang kita kenal untuk menyelesaikan soal ini. Tak dapat! kita bermain “pengandaian” dan coba berjalan dari yang belum dikenal pada yang nyata dikenal. Gagal! Kita buntu, keringat sudah keluar, kita sedang dalam examen dan sang waktu hampir berlalu. Sekarang, mau tak mau, lari pada jalan ketiga : reduction ad absurdum.

Seandainya ada garis kedua, bersiku, jatuh dari C pada AB, umpamanya garis CE. Kalau begitu sudut CED = 90º. Maka jumlah 3 sudut CDE = 90º + 90º + Xº, atau 180º + Xº lebih besar dari 180º, maka bertentangan dengan hukum yang sudah dikenal dalam geometri, yaitu: jumlah semua sudut dalam sebuah segitiga selalu 180º. Maka pengandaian tadi absurd. Bertentangan dengan hukum yang dikenal. Karenanya teori yang mau kita uji di atas itu benar.

Pada jalan ketiga ini, pertama kali mengandaikan akibat teori itu salah. Kita berjalan membelakang dari akibat ke pangkal. Akhirnya kita sesat, sebab kita berjumpa dengan hal yang bertentangan dengan hukum atau teori geometri yang sudah diakui kebenarannya lebih dahulu. Jadi akhirnya kita yakin bahwa akibat teori yang mau diuji itu sendiri

tidaklah salah. Semua jalan lain malah menyesatkan kita. Kalau akibat disalahkan, maka “dasar-dasar” geometri yang sudah diakui kebenarannya mesti disahkan pula.

PROBLEMA

Dalam problema, yaitu soal-soal membuat sebuah gambar geometri (geometry figure) dengan penggaris dan jangka, kita juga memakai dua cara pertama dalam menguji teori tadi: sintesis dan analitis.

Ada lagi satu cara yang bisa dipakai, yaitu intersection of logic, atau pertemuan jalan. Sesudah gambar geometri tadi dibuat, maka seperti pada teori, kita mesti menguji kebenaran gambar yang kita peroleh. Uji, apakah gambar itu memenuhi syarat yang dituntut oleh problema. Jadi sebuah problema mesti mula-mula dipecahkan baru kemudian di uji.

Untuk meringkas, maka sekarang tidaklah perlu kita membuat gambar untuk menjelaskan dua cara yang pertama, karena sudah masuk pembicaraan kita terdahulu. Untuk memudahkan pengertian, lebih baik kita mulai dengan cara yang baru itu.

INTERSECTION OF LOGIS

B
A

Problema : Tariklah garis menyinggung pada satu lingkaran di luar titik tadi.
Diketahui : Lingkaran M lingkaran N
Dikehendaki : Menarik garis menyinggung dari P ke lingkaran dari P ke lingkaran N
Konstruksi : Sambungkan P dengan M

Buat lingkaran penolong M dengan memakai titik M sebagai titik pusat. Lingkaran N memotong lingkaran pada titik A dan titik B
Hubungkan titik A dan B dengan P.
Jadilah garis PA dan PB sebagai garis singgung yang dikehendaki.

Ujian: Tarik garis penolong MA dan MB. Nyata bahwa sudut MAP dan MBP bersiku 90º, karena masing-masing berdiri pada lingkaran. Garis PA dan PB berdiri tegak lurus atas straal MB dan MA. Jadinya kedua garis PA dan PB adalah dari singgung.

Amatilah sudut MBP. Sudut itu 90º sebab berdiri menentang ½ lingkaran PBM. Ia adalah pertemuan garis PB dan NB di titik B. Titik B pada dua garis PB berlocus, bertempat di seluruh lingkaran M. Dimana dua lingkaran itu bertemu, berselang, seperti di B, disanalah titik B dari garis PB dan B dari garis MB berpadu.

Amatilah sendiri sudut MAP.

Pasal 5. CARA BERPIKIR MATEMATIS DAN KEHIDUPAN

SEBETULNYA cara berpikir dalam geometri tadi, walaupun sedikit lain bentuknya, termasuk juga ke dalam cara kita berpikir sehari-harinya. Makin cerdas otak kita dilatih oleh matematika, makin besar harapan kita akan ketetapan dan kebenaran buah pikiran kita, yakni kalau kita perhatikan syarat lainnya bagi kesempurnaan berpikir.

Kalau seorang bapak yang berpengalaman mengingatkan anaknya yang keras hati bahwa uang yang ada dalam kantongnya itu tidak cukup buat perjalanan yang begitu jauh, maka sebetulnya ia memasang alasan, seperti ahli matematika tadi ketika sedang menguji benar tidaknya suatu persoalan. Si bapak menghitung berapa hari jauhnya perjalanan, berapa belanja seharinya dsb. Kalau dalam perhitungannya, ia menemukan uang yang diperlukan jauh lebih banyak dari uang yang ada di kantong anaknya, maka ia memutuskan bahwa uang anaknya tak cukup. Si anak terburu nafsu, salah perkiraan.

Kalau seorang advokat mengajukan, memasang beberapa hukum untuk membenarkan perbuatan orang yang ia lindungi atau untuk menyalahkan lawannya, maka ia sebenarnya memakai cara yang sehari-harinya juga dipakai oleh ahli matematika.

Makin tersusun alasannya, makin benar satu per satu alasan itu. Makin tangkas ia membentuk alasannya, makin besarlah pengaruhnya pada pendengar.

Lenin, sesaat sebelum Oktober 1917, sesudah ia memperhatikan materialisme dialektis dan mengingatkan pertentangan kelas dalam sejarah dunia dan sejarah Rusia, mendesak pada pengikutnya untuk merebut pemerintahan dengan alasan seperti: 1. Suasana revolusioner – ekonomi dan politik – memang cukup. 2. Partainya memang berdisiplin keras., 3. Seluruh rakyat Rusia memang sudah berada di bawah pengaruh partai Komunis, dan 4. Musuh di dalam dan di luar Rusia sedang bercekcok. Ia memasang semua alasan yang benar dan tepat, karenanya percobaan itu akan berhasil. Teorinya, dalam hal ini teori itu berarti perhitungan, sudah benar. Hasilnya semata-mata tergantung pada kecerdikan dan keberanian yang menjalankan.

Sebaliknya kalau kita mau mengemukakan bahwa Gandhiisme, kalau dipraktekkan sedikit mesti meruntuhkan banyak penduduk dan kecerdasan rakyat India maka susah kita memakai cara sintetis (memasang) alasan untuk menguji paham kita. Dalam hal ini baik kita pakai jalan analitis. Kita misalkan Gandhi dan gandhiisme sekarang mengemudikan India merdeka. Kita tahu bahwa Gandhi menganggapp mesin sebagai setan dan kota tempat berkumpulnya mesin sebagai neraka. Kita tahu, bahwa dia percaya pada “perkakas tenun tangan” yang diangkutnya sampai ke London dan dijadikan syarat hidup bagi pengikutnya. Sekarang kita periksa akibatnya, kalau Gandhi dan Gandhiisme mengendalikan ekonomi Hindustan.

Setan mesin tak dipakai lagi. Dengan begitu pabrik kain, kereta api, pabrik kimia, dan pabrik mesin sendiri tak berguna. Tambang arang, tambang besi, dll mesti ditutup. Ilmu alam, kimia, matematika, dll apa gunanya? Sekoah yang mengajarkan semua ilmu barat itu tak pula akan berguna lagi. Seperti buat Gandhi, satu mangkok susu lembu sehari dengan dua atau tiga biji pisang, barangkali sedikit nasi tak berdaging, cukuplah buat hidup sementara menunggu perpaduan dengan yang Rohani, begitulah mestinya dia anggap besar kecilnya keperluan manusia.

Dengan jatuhnya mesin, jatuhnya ilmu pengetahuan. Dengan jatuhnya ilmu pengetahuan, jatuhlah ilmu kedokteran yang sehidup semati. Semaju mundur dengan ilmu pengetahuan. Dengan begitu tak ada daya upaya lagi untuk memberantas malaria, kolera, pes, atau penyakit baru yang mesti berjangkit akibat pengangguran dan kelaparan yang mesti hebat dahsyat. Dengan jatuhnya ilmu kimia, jatuhlah pertanian. Dan kalau kekurangan makanan, maka seperti dulu, tak ada kapal atau kereta pengangkut makanan dari tempat kaya makanan ke tempat miskin dengan lekas. Matinya manusia seperti dulu lagi, bertimbun-timbun dengan datangnya bahaya kelaparan berulang-ulang. Jadi penduduk India, walaupun boleh jadi suci dan alim seperti Mahatma Gandhi, akan surut anjlok ke bawah kurang lebih 400 juta sekarang.

Dengan jalan memisahkan Gandhiisme sungguh dijalankan, kemudian memeriksa akibatnya seperti seorang ahli matematika, kita sampai pada tesis yang kita majukan, bahwa Gandhiisme mesti setidaknya menyusutkan penduduk India, kalau tidak melenyapkannya sama sekali. Lenyap, sebab jangan lupa, dunia sekarang cuma buat yang kuat saja, bukan dunia impiannya mahatma Gandhi.

Kalau seterusnya kita mau ajukan bahwa “ahimsa” Mahatma gandhi itu tak bisa menciptakan perdamaian dunia, seperti Mahatma sendiri pernah akui bisa, maka jitu dan pendek sekali kita gunakan cara ketiga. Menguji teori dengan penyesatan.

Kita mulai! Kalau ada orang yang bertentangan dengan paham kita mengadakan bisa, maka ikutilah dia sampai di sesat. “Kalau bisa”, kata kita, “tentu perdamaian dunia sudah lama datang”. Tetapi perdamaian sekarang lenyap, sebab itu “ahimsa” tak bisa menciptakan perdamaian dunia. Jadi paham lawan kita salah dan kita benar QED.

Gandhi sudah terkenal di dunia fana ini sejak tahun 1919. Lebih dari 20 tahun melalui radio atau jalan lain, dia sampaikan “ahimsa” pada mereka yang berkewajiban memegang perdamaian. Tetapi walaupun Gandhi hadir dengan “ahimsa”, perdamaian dunia tak pernah ada dan pasti tak akan ada selama kapitalisme ada!

Memang dalam perdebatan politik acapkali dipakai metode ad absurdum ini!

Jalan ada menyelesaikan problem, yaitu “perjumpaan titik dari dua jalan”, intersection of logis, sebenarnya tak asing bagi kita. Perhatikanlah ke mana perginya pemburu macan yang cerdik. Ia pergi ke suatu tempat (titik) dimana jalan macan bersilang, memutus jalan mangsanya, babi umpamanya. Pada seluruh jalan macan itu bisa jadi ia menjumpai macan, tetapi seluruh jalan itu (lingkar pertama) begitu panjang. Kalau ia ikuti seluruh jalan babi, boleh jadi ia akan bertemu macan yang hendak memangsa babi. Tetapi seluruh jalan babi itu (lingkar kedua) terlalu panjang pula. Adalah

lebih dekat dan lebih besar harapan si pemburu kalau ia pergi ke titik dimana dua lingkaran tadi berselang bertemu. Di sini bisa jadi sekali ia berjumpa macan.

Pelarian karena mencuri atau membunuh pelarian karena politik ada banyak perbedan tetapi ada pula persamaan. Perbedaannya tentu mudah dicari. Tetapi persamaanya, selain melarikan diri, tiada selalu dikenal. Tetapi detektif, resersir yang bijaksana mesti tahu akan persamaannya. Lebih-lebih kalau perlarian politik tadi berdarah filsafat pula. Dalam hal ini si pelarian filsafat tertarik oleh tempat yang sunyi, ini pun menarik si pencuri seperti magnet menarik besi. Disinilah pertemuan logis kedua mahluk yang berakal tadi.

Si resesir yang ahli bijaksana tak perlu ketahui dan ikut seluruhnya jalan si pencuri atau si pelarian politik berdarah filsafat. Dua jalan mereka biasanya berselang, bertemu pada satu tempat, yaitu tempat yang sunyi. Inilah rahasia buat resersir yang cerdik.

Tetapi buat pelarian yang cerdik, rahasia ini bukan rahasia lagi. Bagaimanapun juga yang kita mau ajukan disini ialah pandangan bahwa cara berpikir intersection of logis bukan semata-mata perangkat berpikir ahli matematika saja.

Pasal 6. PERKEMBANGAN MATEMATIKA

TIAP-TIAP barang itu memang ada lawannya. Lawan plane geometry (geometri bidang datar) tidak saja sudah terbit, tetapi juga pesat majunya. Di Jerman dirintis oleh Riemann, di Rusia oleh Minkofsky. Geometry baru itu tidak lagi berdasarkan atas bidang datar seperti geometri Euclides sekarang, tetapi atas bidang melengkung. Bumi ini, begitulah uraian ahli geometri baru ini, bulat seperti bola. Kita tahu di dua kutub bumi kita ini sedikit data. Jadi berapapun kecilnya bagian bumi ini kita ambil, ia tidak mungkin datar, melainkan melengkung. Jadi garis atau sudut pada bidang melengkung in sebenarnya tidaklah lurus.

Kebenaran uraian ahli geometri baru itu sudah tentu tak bisa dibantah. Tetapi dalam perhitungan sehari-hari, geometri Euclides sudah memadai. Kalau salah, maka salahnya itu tak seberapa. Begitulah juga cara yang dipakai oleh Einstein untuk menghitung gerhana umpamanya, berlainan dengan cara Newton. Tetapi beda hasilnya tidaklah seberapa, cuma beberapa menit atau detik saja. Bagi ahli bintang dan matematika perbedaan hasil perhitungan yang sedikit itu tentu berarti besar, tetapi buat kita tidak seberapa artinya.

Bagaimana nasib geometri Euclides kelak tentulah tak seorang pun bisa menaksir. Bisa jadi Euclides tetap dipakai buat matematika rendahan umpamanya. Sedangkan matematika tinggi dipakai buat dasar non Euclides. Tetapi tak mustahil non Euclides dipakai buat seluruh matematika. Mungkin pula dua sistem cara itu berpadu, diambil yang baik dari masing-masing. Nasib ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh sifat ilmu pengetahuan itu sendiri saja, tetapi juga oleh industri dan kelas yang membutuhkan ilmu itu. Siapa tahu perusahaan baru atau pesawat baru lebih cocok dengan sistem Riemann. Kalau begitu maka sistem inilah yang akan dikembangkan oleh satu golongan atau negara baru.

Bagaimana pun hari depan plane geometry, ilmu ini cukup baik untuk dipakai mengasah otak. Selain itu, yang bisa memberi obat haus pada otak kita manusia umumnya dan pada penagih pemadat matematika khususnya, ialah rasa ingin tahu. Kita manusia, memang hewan yang ingin tahu. Curious, niewsgiering. Dalam hal ini kita lebih ingin tahu dibanding monyet, tikus, dan binatang apapun juga.

Sedikit menyimpang, tetapi berbalik kesana juga! Penulis ini tegasnya, dalam pelariannya yang lama itu bukan saja kesehatannya yang turun naik, tetapi kantongnya pun merasakan pasang naik dan pasang surut itu. Tetapi dalam perasaan kekurangan materi, penulis banyak mendapatkan materi pada ilmu tak bermateri. Pada matematika ini. Persoalan matematika melupakan banyak perkara lain-lain yang tidak diharapkan lekas datang. Jawaban atas soal matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan pada diri sendiri dan kegiatan untuk meneruskan. Terutama bahasa yang dipakai dalam matematika – bahasa Inggrisnya umpamanya- jitu tajam, terang, dan merdu! Ya, merdu buat si penulis. Semerdu-merdunya, sebab memenuhi sifat-sifat sains.

Memang masyarakat kita kekurangan pimpinan dan kebutuhan pendidikan. Kegemaran berhitung dan berpikir memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya kenal ketika saya masih pemuda, kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa. Di tanah Batak dan Minangkabau kegiatan itu sampai ke puncak. Di lain tempat di Jawa Tengah umpamanya, saya dengar begitu juga. Tetapi kita tak mempunyai pimpinan. Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika. Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzicthter atau insinyur. Tetapi kalau ia sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika sebagai pelatih otak dia lemparkan sama sekali.

Perhatiannya dari mula sampai akhir semata-mata pada gaji. Selain itu, ribuan pemuda yang bersemangat pada matematika khususnya dan sains pada umumnya tidak mendapat kesempatan sama sekali. Akibat kemiskinan. Apabila soerang murid kelas bawah dari sekolah rakyat kebetulan masuk ruang kelas tertinggi dari sekolah itu dan melihat satu soal aritmetika di papan tulis, maka kagumlah dia. Berapa kali pun ia baca, dia tak akan mengerti persoalan itu. Apalagi menyelesaikannya.

Apabila murid kelas tertinggi dari sekolah rakyat tadi melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis sekolah menengah, maka kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban. Ia merasa kepandaiannya picik sekali. Dirinya tak berarti, Angka, huruf, garis, dan sudut kacau balau di matanya. Sama sekali rahasia baginya. Membingungkan.

Sebenarnya matematikalah yang paling gampang kalau dibandingkan dengan sains yang lain, yaitu bagi mereka yang berpikir logis dan cerdik memakai cara. Bagi mereka semacam ini, tak perlu banyak menghafalkan. Sedangkan ilmu- ilmu lain, seperti ilmu bumi dan sejarah, perlu hafal menghafal berulang-ulang. Acapkali buktinya tak terorganisir dan tidak umum layaknya matematika dan ilmu alam. Untuk matematika, cukup kalau teori yang tak seberapa banyak itu dipegang dan terutama sekali berpegang teguh pada cara berpikir seperti yang sudah diuraikan. Berbeda dengan ilmu- ilmu lain, matematika sangat teratur tingkatnya, dari yang paling mudah ke yang sedikit lebih susah, dari sedikit susah ke tingkat sedikit lebih tinggi, begitulah terus sampai ke puncak setinggi-tingginya. Bagi pemuda yang berdarah logis dan cerdik, maka sekalian tingkat itu bisa dinaiki dengan gampang. Tidak sadar mereka tiba-tiba sudah sampai ke puncak.

Kalau sekiranya pemuda yang tidak begitu beruntung dalam masyarakat ini, tetapi sudah punya sedikit dasar matematika, umpamanya lepasan SMP, mau belajar sendiri, hal ini bukanlah percobaan si cebol hendak mencapai hulan. Dari geometri bidang datar ia bisa terus ke stereometri yang mempelajari titik dan garis tidak lagi pada satu bidang datar melainkan beberapa bidang datar (kubus, silinder, dsb). Dari sini, sesudah mempelajari aljabar, tak berapa susahnya naik ke tingkat yang lebih tinggi seperti trigonometri, geometri analitis, geometri Rieman atau Minkofsky pun.

Memang pada stereometri, kita mesti berlaku lebih abstrak daripada geometri. Di geometri kita menghadapi sudut atau bidang yang bisa digambarkan di atas kertas, tetapi pada stereometri acapkali gambaran sudut atau bidang itu mesti digambarkan dalam otak saja. Memang, dengan Minsofsky kita mesti lebih abstrak lagi bila menggambarkan 4 dimensi, karena 4 dimensi itu bersandar atas 3 dimensi seperti atap kubus yang sudah kita kenal. Kalau 2 dimensi itu terjadi dari 2 garis yang bersiku satu sama lainnya (perpendicular upon each other) seperti bidang, maka gambar ini bisa kita buat di atas kertas. Kalau tiga bidang siku yang bersiku pula satu sama lainnya seperti kubus, maka gambar kubus semacam ini masih juga bisa kita bikin di atas kertas. Tetapi 4 dimensi, yaitu tiga dimensi ditambah dimensi waktu, time, akan gambar semacam ini tak bisa dibikin si atas kertas dan tak bisa lagi digambarkan dalam otak. Pisahan abstraksi semacam ini sudah sampai ke puncaknya.

Tetapi dengan memakai hukum yang diberikan oleh matematika mana juga, dengan cara sintetis, analitis, atau reductio ad absurdum, kita biasanya dapat menyelesaikan satu persoalan, bahkan teori relativitas Einstein pun. Sebagian saja kalau tidak seluruhnya. Sistemnya saja, kalau sisanya tidak bisa kita pahami.

Sedikit tentang teori relativitas ini. saya tidak ahli dalam hal ini. Beberapa buku sudah saya baca tentang teori ini dalam bahasa Inggris. Kebanyakan penulisnya sendiri, saya ingat, tidak bisa menjelaskan teori baru ini. Ya, bahkan ada yang mengatakan Einstein sendiri tak tahu apa sebetulnya teori ini. Buku Einstein sendiri, seperti Relativitas Khusus dan Relativitas Umum (Spezielle Relativitat dan Algemeine Relativitat) belum saya baca. Sudah atau belum bisa didefinisikannya teori relativitas pada saat saya menulis ini tidaklah begitu penting. Teori ini sudah diakui oleh ahli seluruh dunia. Teori ini bisa dipakai dan hasilnya lebih jitu dari yang sudah, katanya. Barangkali karena teori ini masih muda maka ia belum bisa didefinisikan, seperti juga listrik umpamanya. Listrik bisa ditimbulkan, diukur dan dipakai kekuatannya, tetapi kalau ditanyakan “apa” lsitrik itu, maka jawabnya masih berupa hipotesis. Hal ini saya pikir tidaklah merugikan. Sepanjang perkiraan saya, selama masih ada pemikir dan pikiran di dunia ini, selama itu pula akan terus menerus adanya hypotheses, azioma, postulates, dugaan sebagai pangkalan berpikir. Seperti sebuah pangkalan kapal bisa diganti, begitu juga hipotesis tadi bisa diganti.

Maksud saya mengemukakan teori relativitas ini adalah untuk sekali lagi menasehati pemuda kita yang punya otak dan waktu, agar mempelajari teori yang dianggap paling penting ini. Cuma berhubung dengan nasehat ini, maka saya sedikit hendak menguraikan kesan yang saya peroleh tentang teori muda ini.

Lima belas tahun lalu saya pelajari sendiri teori ini sewaktu di Tiongkok. Sesudah itu saya sama sekali tak membaca buku tentang itu. Sekarang sudah tentu bukan waktunya dan sama sama sekali tak ada pustaka buat mempelajarinya sekali lagi. Memang dulu saya sudah bisa memahami beberapa rumus Lorentz yang dipakai oleh Einstein. Tapi tak satu pun rumus itu masuk ke dalam jembatan keledai ingatan saya. Kesan terpenting yang saya dapatkan dari teori ini adalah kesan yang berhubungan dengan maksud buku ini, yakni reaksi persinggungan “arah” dan kecepatan”, suatu pergerakan dengan “titik pandang”.

Contoh (dari saya sendiri): sebuah kereta api berjalan dari Timur ke Barat. Seorang penumpuang dalam kereta api itu berjalan dari Barat ke Timur, jadi arah penumpang itu bertentangan dengan arah kereta api. Tetapi dipandang dari satu titik di atas rel kereta, maka si penumpang sama arahnya dengan kereta, ialah dari Timur ke Barat (kecuali kalau si penumpang berjalan lebih cepat dari kereta). Dipandang dari satu titik pada lingkaran bumi mengelilingi matahari, maka orang tadi dengan bumi ini berjalan dari Barat ke Timur. Demikianlah arah tadi bergantung pada “titik” memandang.

Kecepatan juga begitu! Dua orang, A dan B berjalan bersongsongan. A berjalan menuju B dan B berjalan menuju A. Kecepatan A 7 km/jam dan B 6 km/jam. Jadi dalam 1 jam A 13 km menghampiri B. Sekarang mereka bertemu pada satu titik. Dari titik ini mereka sama-sama berjalan, umpamanya dari Barat ke Timur. Kalau sekarang A melihat pada B, maka tiap-tiap jam A meninggalkan B 1 km (7-6). Kalau dibandingkan dengan posisi B, seolah-olah A berjalan 1 km saja tiap jam. Umpamanya ada orang lain, C, berjalan juga dari Barat ke Timur, searah dengan A dan sama cepat dengannya (7 km/jam). Maka A melihat C seolah-olah tak bergerak. Kalau ia melihat pada C saja, maka ia sangka ia berjalan 0 km dalam 1 jam. Dipandang dari titik baru ini, ia tak maju dan tak mundur.

Dalam hal ini titik memandang adalah pangkal berpikir. Arah dan kecepatan kita pergi berkaitan relatif dengan titik kita memandang.

Dalam hal ini, kalau saya tak salah, maka teori relativitas itu berhubungan dengan Dialektika. Sepintas lalu saya mau katakan seolah-olah cara berpikir dalam geometri itu berbanding dengan logika, seperti cara relativitas dengan dialektika.

Peringatan!

Perkara teori relativitas ini pada hampir penghabisan buku akan dilanjutkan. Tetapi apa yang sudah saya tulis diatas, cuma beberapa kalimat yang tidak berkenaan dengan teori itu sendiri. saya yang ubah. Isinya sendiri sedikit pun tidak diubah karena memang tidak perlu diubah. Contoh yang saya berikan pada tingkat uraian ini tentang teori relativitas saya pikir memadai, yang akan diuraikan kelak sebagai tambahan buat memperdalam ilmu yang sudah diketahui.

Sebelumnya saya bilang bahwa 15 tahun yang lampau saya pelajari teori relativitas itu dan sekarang saya tak mempunyai pustaka dan waktu mempelajarinya sekali lagi.

Pernyataan ini mesti dikoreksi. Sesudah lebih kurang setengah buku ini saya tulis, saya mendapatkan pustaka. Walaupun tergesa-gesa, bisa juga mendapatkan bahan baru, untuk menambah contoh dan memperdalam ilmu ini. Contoh di atas ini boleh dianggap seperti tinjauan pendek dan populer.

Lanjut ke Part-3

Posting Komentar

0 Komentar