Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

EKSISTENSI PERDA SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Oleh: Rega Felix, Stefani Oktaria, Guntur Adi Permana, Muhammad Zen Al Faqih

A.   Pendahuluan

Pasal 18 B ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.   karena kata “khusus” tersebut dimungkinkan digunakan  untuk membentuk suatu pemerintahan daerah dengan otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua.

Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh seperti diamanatkan dalam TAP No. IV/MPR/1999 yang dikuti dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah  Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. UU No. 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan hasil kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, guna menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat dalam kerangka NKRI.

Undang-undang tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU ini sebagai subsistem sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu, yakni merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Namun yang menarik disini adalah bahwa pemerintahan Aceh menerima pendelegasian urusan ketatanegaraan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  yang pada umumnya pendelegasian kewenangan kepada daerah otonom adalah yang menyangkut urusan pemerintahan bukan urusan ketatanegaraan.  Pendelegasian urusan ketatanegaraan yang berbeda dengan pusat adalah adanya penerapan perda syariah di Aceh yang berbeda dengan sistem hukum nasional yang  hendak mewujudkan satu kesatuan tujuan hukum nasional. Sehingga yang menjadi identifikasi masalah adalah : Bagaimana kedudukan perda syariah dalam sistem hukum nasional?
B.   Prinsip Otonomi Daerah
Pembahasan mengenai sistem pemerintahan negara dapat digolongkan kedalam dua pengelompokan yaitu organisasi sistem pemerintahan negara dalam garis horizontal yaitu dalam konsep pembagian kekuasaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan sistem pemerintahan negara dalam garis vertikal. Sistem pemerintahan negara dalam garis vertikal bertitik tolak dari bangunan negara, khususnya bangunan negara serikat dan bangunan negara kesatuan.[1] Dalam negara kesatuan dikenal adanya pemerintahan yang lebih rendah dari pemerintahan pusat, yang disebut dengan pemerintahan daerah.

Pemerintahan daerah dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan di bawah pemerintahan pusat yang memiliki wewenang pemerintahan sendiri.[2] Pemerintahan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan asas desentralisasi. Asas desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan urusan pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dengan memuat konsep yang bersifat konstitusioanal yaitu otonomi yang seluas-luasnya dan berdasarkan atas ketentuan undang-undang. Sebagai daerah yang otonom, maka daerah memiliki internal right self determination, hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya.

Menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah berdasarkan penjelasan Pemerintahan Daerah yang lebih kecil.[3] Pemerintahan daerah diberikan batasannya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang selluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”. Hubungan fungsi pemerintah daerah dilakukan melalui sistem otonomi, yang meliputi desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dengan hubungan yang bersifat koordinatif administratif, artinya hakikat fungsi pemerintahan tersebut tidak ada yang saling membawahi, namun fungsi dan peran pemerintahan provinsi juga mengemban pemerintahan pusat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.[4]

Dalam menjalankan otonomi urusan kewenangan terbagi-bagi melalui sistem rumah tangga. Sistem rumah tangga daerah merupakan tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.[5] Dikenal tiga sistem rumah tangga utama yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga material, dan sistem rumah tangga Nyata (riil). Kemudian dalam perkembangannya terdapat sistem rumah tangga sisa dan sistem rumah tangga nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.

Sistem rumah tangga formal membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci, sistem ini berpangkal tolak pada prinsip bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan oleh daerah.[6] Walaupun sistem ini terkesan memberikan desentralisasi yang kuat dan kuatnya susunan otonomi, akan tetapi karena sangat tergantung pada kapasitas sumber daya di daerah memberikan ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, rendahnya inisiatif daerah, dan bahkan dapat mendukung kecenderungan sentralisasi.

Dalam sistem rumah tangga material, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab dilakukan secara rinci antara pusat dan daerah. Sistem ini berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan daerah, daerah dianggap memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat, serta urusan pemerintahan itu dapat dipilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan.[7] Sistem rumah tangga ini memiliki kelemahan yaitu ketergantungan daerah pada kehendak dan kecenderungan yang ada di pusat, serta menyebabkan uniformitas tidak memperhatikan keberagaman daerah.

Sistem rumah tangga nyata penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.[8] Dalam ajaran rumah tangga ini, aspek materil tidak dapat diutamakan, karena akan dapat menimbulkan ketegangan antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan juga keterbatasan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.

Dalam pengaturan sistem hukum pemerintahan daerah di Indonesia, yang tertuang dalam dasar hukum UUD 1945, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupatern/Kota, terdapat perbedaan cara penentuan urusan rumah tangga. Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 memberikan otonomi seluasnya, kecuali urusan pemerintah pusat, sehingga dalam UUD dapat dikatakan menganut sistem rumah tangga formil.

UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, pusat tetap memiliki kewenangan selain hal yang ditentukan sebagai ursan pemerintah daerah. Oleh karena itu, sistem rumah tangga dalam undang-undang ini adalah sistem otonomi riil, yaitu penentuan urusan yang wajib dan adanya urusan pilihan yang nyata atau riil. Sedangkan dalam PP 37 Tahun 2008, mengatur 31 bidang urusang pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Adanya pengaturan 26 urusan wahib yang belum tentu seluruh daerah sama, dan 8 urusan pilihan. Sistem rumah tangga yang berlaku adalah sistem otonomi riil yang mengarah kepada materil. Padahal, seharusnya sistem otonomi riil berpangkal pada sistem rumah tangga formil guna tercapainya kemandirian daerah.
C.   Otonomi Khusus Aceh dan Perda Syariah
Berdasarkan pasal 18B UUD 1945 ayat (1) negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan mengormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Aceh merupakan salah satu daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan di beri kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat  setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh diamanatkan dalam TAP No. IV/MPR/1999 yang dikuti dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah  Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. UU No. 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan hasil kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, guna menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat dalam kerangka NKRI.  Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) tersebut merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. [9]

UUPA tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU ini sebagai subsistem sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu, yakni merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Menurut Bagir Manan, [10]pengertian khusus pada umumnya penyelenggaraan secara khusus sesuai dengan karakteristik dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kekhususan atau bersifat istimewa yang diberikan kepada Aceh di bidang Syariat Islam, Pendidikan, Adat dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah,[11] telah melahirkan lembaga/perangkat daerah,  yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Penerapan yang paling khusus dalam otonomi khusus adalah penerapan syariat Islam di daerah tersebut.

Penerapan syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi  Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),    sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan Aceh.[12]Adapun  tugas MPU  adalah memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada masyarakat. Masukan pertimbangan dan saran   ditujukan terhadap kebijakan daerah, agar kebijakan  yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.[13]Draft akademis disusun berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian baik teks maupun dalam masyarakat dengan bantuan jasa para ahli  Syari’at terutama para akademisi dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Draft yuridis Perda disusun oleh Dinas  Syari’at Islam bekerja sama dengan Dinas lain yang terkait, serta dengan Biro Hukum (drafting) pada Kantor Gubernur Provinsi NAD.  Transfrormasi asas-asas  Syari’at (dalam arti luas) dilakukan oleh Dinas  Syari’at, bekerja sama dengan Dinas-dinas Dearah  lainnya.[14]

Perda syariah (qanun) ini sangat berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, selain proses pembuatannya yang mengikutsertakan ulama-ulama agama, dasar pembentukannya juga berbeda. Hukum-hukum yang umum (kulliyah) yang menjadi nas-nas hukum di dalam  Syari’at Islam itu adalah sebagai “qawa’id ‘ammah” (aturan umum) untuk menyusun UU Islam. Atas dasar qawa’id ‘ammah inilah  Syari’at Islam berjalan dengan memberikan mandat yang sepenuhnya kepada “Uli al-Amr” (Raja atau Pemerintah) untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut dengan mengikuti saluran dasar dan nas-nas yang telah ditentukan di dalam  Syari’at Islam melalui al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber utama pembentukan hukum.[15]

Pengertian Syariat Islam dalam rumusan UU No. 44  tahun 1999 jo. UUPA sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam. Syariat Islam diartikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.  Oleh karena pengertian Syariat Islam dirumuskan dalam aspek yang sangat luas, maka dalam praktik pelaksanaannya akan mengalami kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah adanya ketentuan yang membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan Qanun/perda dan Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
D.   Sistem Hukum Nasional
Ketika membicarakan tentang sistem hukum kita tidak dapat menempatkan hukum sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem  yang saling berkaitan. Pertama-tama Untuk memahami makna sistem Mahadi mengatakan sistem adalah  suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen yang saling berhubungan, dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan tertentu, diantara komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang lain. [16]Selanjutnya Sudikno mertokusumo mengatakan hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Arti penting suatu peraturan hukum karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan hukum lain. Jadi hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya, dengan kata lain sistem itu merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan. Kesatuan itu diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum.[17]

Selain itu menurut Sunaryati Hartono sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas, selanjutnya untuk memelihara keutuhan sistem diperlukan organisasi atau salah satu asas yang mengkaitkan unsur-unsur itu diubah, serentak akan dialami perubahan dalam sistem tersebut sehingga sistem itu bukan lagi sistem semula.[18]

Dari pendapat-pendapat di atas Djuhaendah Hasan menyimpulkan sistem hukum adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan hukum. sehingga dalam pembangunan hukum perlu keutuhan sistem hukum yang bukan hanya berintikan materi hukum saja, namun juga seluruh komponen hukum (materi hukum,budaya hukum, lembaga dan aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum).[19] hal ini serupa dengan pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum kedalam tida komponen yaitu struktur, substansi dan kultur. menurutnya struktur adalah salah satu dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya, ia adalah bentuk permanennya, ubuh institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batas-batasnya. [20] sementara substansi tersusun tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi itu harus berperilaku.

Struktur dan substansi ini adalah komponen-komponen riil dari sebuah sistem hukum, tetapi semua itu paling jauh hanya merupakan cetak biru atau rancangan, bukan sebuah mesin yang tengah bekerja.[21]  Selanjutnya yang member nyawa dan realitas pada sistem hukum adalah dunia sosial eksternal yang selanjutnya dapat disebut sebagai kultur hukum. kultur hukum ini adalah elemen sikap dan nilai sosial yang menjadi kekuatan-kekuatan  sosial yang menggerakan sistem hukum.[22]

Setelah mengetahui makna dari sistem hukum lalu apakah yang dimaksud dengan sistem hukum nasional? Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa sistem hukum tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan hukum tertentu, maka sistem hukum nasional merupakan susunan sejumlan komponen hukum yang saling berhubungan dalam suatu negara untuk mencapai tujuan hukum nasional. Komponen-komponen itu dapat berupa struktur, substansi, maupun kultur hukum yang kesemuanya bertujuan mencapai tujuan hukum nasional. Menurut Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.[23] Lalu ia mengatakan urutan hukum nasional itu bersumber dari Pancasila berlandaskan UUD 1945 dan terdiri dari Peraturan-peraturan perundang-undangan, lalu Yurisprudensi, dan yang terakhir Hukum kebiasaan.[24]

Menelisik kepada dasar dari sistem hukum nasional kita yaitu  Pancasila, Menurut Arif Sidharta pandangan hidup Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar yang sudah dengan sendirinya harus begitu.[25] Dengan demikian eksistensi hidup manusia merupakan kodrat yang diberikan tuhan yang selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat, Dalam hidup bermasyarakat  itu manusia mempunyai sifat kekeluargaan.[26] Arif Sidharta menarik kesimpulan asas dalam hukum Pancasila yaitu : 1. Asas semangat kerukunan, yaitu ketertiban,keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin,kesenangan bergaul diantara bersamanya, keramahan dan kesejahteraan (baik materil maupun spiritual); 2. Asas Kepatutan, Yaitu tentang tata cara menyelenggarakan hubungan antar warga masyarakat yang didalamnya para warga masyarakat diharuskan untuk berperilaku dalam kepatutan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial; 3. Asas Keselarasan, Yaitu terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.[27]
E.   Kedudukan Perda Syariah dalam Sistem Hukum Nasional
Berdasarkan prinsip otonomi internal right self determination yaitu hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya maka daerah berwenang mengatur sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam kewenangan membentuk peraturan daerahnya. Terlebih lagi dengan adanya pasal 18B UUD yang mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan daerah maka menjadi dasar konstitusional dari pemberlakuannya otonomi khusus. Otonomi khusus daerah Aceh merupakan kekhususan yang sangat istimewa karena dapat menerapkan sistem hukum sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat Islamnya. Dalam suatu sistem hukum nasional yang menggunakan kerangka negara kesatuan kesemua komponen hukum yang ada itu harus mencapai suatu kesatuan tujuan hukum nasional, tidak dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan hukum nasional tersebut. seperti yang dikatakan Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi Pancasila merupakan tujuan hukum nasional dan untuk mencapainya dilakukan dalam kerangka UUD 1945.

Ketika kita melihat pada hakikat makna sila satu Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia. Manusia berkewajiban menjalankan setiap perintah-perintah tuhan YME. Dalam pandangan Islam Kewajiban warga negara sebagai seorang Muslim merupakan tanggungjawabnya untuk patuh terhadap Syari’at Islam,  sedangkan bagi non muslim berkewajiban untuk menghormatinya. Oleh karena itu ia harus patuh terhadap hak dan kewajiban masing-masing secara pribadi dan  Pemerintah berkewajiban untuk menegakkan aturan-aturan tersebut agar Syariat Islam yang merupakan dambaan seluruh masyarakat dapat berjalan sebagaimana diharapkan.  Tujuan satu-satunya pembentukan ummat Islam ialah supaya ia secara organisatoris berusaha menegakkan dan melaksanakan makrufat dan menindas serta menghancurkan mungkarat. Penerapan Syariat Islam dari sudut pandang ini dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila yaitu menjalankan perintah-perintah Tuhan YME.

Namun, lebih lanjut lagi penerapan syariat Islam itu sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila tetap harus memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan, asas kepatutan, dan asas keselarasan. Penerapan perda syariah harus tetap menjaga keharmonisan sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam artian pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam kerangka NKRI, terutama dalam pembentukan perda syariat, baik secara materiil maupun formil tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian Perda syariah tersebut mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum nasional. Dalam proses pembentukan perda syariah tersebut harus selalu memperhatikan perundang-undangan nasional, penerapan asas-asas dalam syariat Islam itu dapat diterapkan secara eklektis dalam artian harus di pilah-pilah nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru menyebabkan ketidak teraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum nasional sehingga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.
F.    Penutup
Penerapan Perda Syariah berdasarkan prinsip otonomi Kkhusus dapat dilakukan asalkan berada dalam kerangka sistem nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembentukan perda Syariat Islam dapat menerapkan syariat Islam itu secara eklektis kedalam perda tersebut dengan memperhatikan perundang-undangan nasional.

[1] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta), hlm. 127.
[2] Ibid, hlm. 283.
[3] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),hlm.1.
[4] Ibid, hlm. 5.
[5] B.Hestu Cipto Handoko, op.cit., hlm. 309.
[6] Ni’Matul Huda,  Hukum Pemerintahan Daerah (Bandnung : Penerbit Nusa Media,2009 ), hlm. 86.
[7] Ibid, hlm. 87.
[8] Ibid, hlm. 88.
[9] Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan.
[10] Dikutip oleh Husni Jalal dalam ibid.
[11] Pasal 16 Ayat (2) huruf a, b, dan c. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
[12] Husni Jalil, op.cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Rudi M Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008. Hlm. 76
[17] Ibid.
[18] Ibid. Lihat Pula Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Hlm. 56
[19] Rudi M Rizky (ed), Op. Cit. Hlm.77
[20] Lawrence M Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, diterjemahkan oleh M Khozim, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009, Hlm.16
[21] Ibid.
[22] Ibid. Hlm. 17
[23] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Hlm. 64
[24] Ibid.
[25] Rudi M Rizky (ed), Op. Cit. dalam tulisan, Arif Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, Hlm. 16
[26] Ibid. Hlm. 17
[27] Ibid. Hlm. 19-20

DAFTAR PUSTAKA
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia,Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia ,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Ni’Matul Huda,  Hukum Pemerintahan Daerah ,Bandnung : Penerbit Nusa Media,2009
Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan
Rudi M Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008
Lawrence M Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, diterjemahkan oleh M Khozim, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
Sukron Kamil, makalah : perda syari’ah di indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim, disampaikan pada  diskusi serial terbatas islam, ham dan gerakan sosial di indonesia , Pusham UII, Yogyakarta ,13-14 Agustus 2008
UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Posting Komentar

0 Komentar