Cina
yang sebelumnya terkenal dengan nama RRC (Republik Rakyat China )
terletak di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara tetangga
Korea Utara, Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan,
Nepal, Pakistan dan negara-negara lainnya. Agama Islam telah tersebar di
China selama lebih 1300 tahun.
Di China, terdapat 10 suku bangsa yang
beragama Islam, termasuk etnik Huizu, Uygur, Kazakh, Kirgiz, Tajik,
Uzbek, Tatar dan lain-lainnya. Penduduk Islam tinggal di merata tempat
di seluruh China, terutamanya di bagian barat laut China, termasuk
provinsi Gansu, Qinghai, Shanxi, Wilayah Autonomi Xinjiang dan Wilayah
Autonomi Ningxia. Agama Islam sudah tidak asing bagi penduduk di negara
ini. Ia telah menjadi salah satu agama yang penting di China.
Terdapat beberapa versi hikayat tentang
awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan,
ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang
hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia
untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah.
Mereka antara lain : Ruqayyah (anak perempuan Nabi), Ustman bin Affan
(suami Ruqayyah), Sa’ad bin Abi Waqqas (paman Rasulullah SAW) dan
sejumlah sahabat lainnya.
Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu
mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak
sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon,
mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat
Dinasti Sui berkuasa (581 M – 618 M).
Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam
pertama kali tiba di Cina ketika Sa’ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya
berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina,
Sa’ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou
membawa kitab suci Alquran. Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam
pertama kali tiba di Cina pada 615 M – kurang lebih 20 tahun setelah
Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang
menugaskan Sa’ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan
Cina. Konon, Sa’ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya
dikenal sebagai Geys’ Mazars.
Utusan
khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti
Tang pada tahun 651 M. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid
Huaisheng atau masjid Memorial di Canton – masjid pertama yang berdiri
di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa
keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran
Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.
Pada zaman Dinasti Song, agama Islam
dianggap lebih mulia oleh rakyat China, agama Islam telah mulai
berkembang di China dan kawasan kediaman penduduk beragama Islam lebih
luas. Banyak orang asing yang beragama Islam tinggal di bandar Guangzhou
di provinsi Guangdong dan bandar Quanzhou di provinsi Fujian secara
berkumpulan. Masjid pada zaman Dinasti Song yang masih ada sekarang
sudah tidak banyak, yang paling terkenal ialah masjid “Qing Jing Si”
dibandar Quanzhou.
Zaman Dinasti Yuan merupakan zaman yang
paling penting bagi perkembangan agama Islam di China, karena Agama
Islam di China berkembang paling pesat dan paling makmur pada zaman itu
dan mempunyai kedudukan yang penting, arena politik dan kehidupan
masyarakat. Penduduk yang menganut agama Islam bertambah pesat, dan
warga Islam China banyak mengadakan perhubungan dengan dunia Arab.
Masjid di China pada zaman itu bertambah banyak. Selain bercirikan seni
Arab, reka bentuknya telah menerima seni China, karena banyak
menggunakan kayu yang diukir.
Pada zaman Dinasti Ming, perkembangan
agama Islam di China telah menghadapi rintangan, maharaja pertama
Dinasti Ming memandang rendah terhadap agama Islam. Baginda mengeluarkan
perintah untuk melarang rakyat menyembelih lembu secara tersendiri dan
beberapa dasar yang mendiskriminasi umat Islam, termasuk orang Islam
tidak boleh menjadi pegawai kerajaan dan lain-lainnya. Ini telah
mencetuskan kemarahan umat Islam di China dan penduduk Islam mengadakan
pemberontakan di ibu kota negara.
Masjid dan Perkembangan Islam di Cina
Orang
Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti ‘agama
yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat
kelahiran ‘Buddha Ma-hia-wu’ (Nabi Muhammad SAW). Pada awalnya, pemeluk
agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia.
Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak
saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti
Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor.
Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara
konsisten dijabat orang Muslim.
Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan
Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi.
Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam
khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban. Tak bisa dipungkiri
bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban
dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas,
serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina
ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.
Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari
Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom’ – julukan Cina.
Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar
Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat
layar’ dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju
lautan Samudera Hindia.
Sebelum sampai ke daratan Cina, para
pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke
Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou
atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat
perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab
yang menetap di Cina.
Kebudayaan
Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan China, umat
Islam di China pernah memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan
sains dan teknologi China. Kalender yang dicipta oleh umat Islam pernah
digunakan di China dalam waktu yang panjang. Alat pandu arah angkasa
yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada
Dinasti Yuan sangat populer di China. Ilmu matematik yang dikembangkan
dari Arab telah diterima oleh orang China. Ilmu perobatan Arab juga
menjadi sebagian daripada ilmu perobatan China. Umat Islam juga terkenal
dengan pembuatan meriam di China, Dinasti Yuan menggunakan sejenis
meriam yang dikenali sebagai meriam etnik Huizu yang diciptakan oleh
orang Islam China. Meriam itu tidak menggunakan bahan letupan, tetapi
menggunakan batu sebagai peluru, dan meriam itu sangat populer di China
pada zaman itu. Selain itu, orang Islam juga terkenal dengan teknik
pembinaan dan menenun.
Untuk menunjukkan kekaguman dan
penghormatannya terhadap Islam, kaisar lantas mendirikan masjid pertama
di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque) sampai saat ini masih berdiri
tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah saksi bisu
perkembangan Islam di negeri tirai bambu itu. Setelah itu, hubungan
Islam dan Cina berkembang pesat hingga muncul perkampungan Muslim. Yang
pertama dibangun adalah Cheng Aan.
Pada tahun ke 133 Hijriah terjadi
pertempuran besar yang menentukan sejarah Islam di Asia Tengah. Pasukan
Muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa korbannya, Cina mengalami
kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali ini. Setelah kemenangan
itu, Muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia Tengah.
Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.
Pada tahun 138 Hijrah, Jenderal Lieu Chen
melakukan pemberontakan melawan Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas
pemberontakan itu kaisar memohon pertolongan Khalifah Al Mansur dari
dinasti Abbasiyah. Al Mansur menyanggupi dengan mengirim 4 ribu
tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat kaisar bisa menghadapi para
pemberontak.
Itulah mula pertama hingga tentara Turki
mulai hadir di Cina. Mereka menetap dan lantas menikahi perempuan Cina.
Saat ini ulama Cina berkembang baik dalam bidang ilmu agama maupun
filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit yang ikut mewarnai filsafat
Confusius. Namun belakangan umat Islam menghadapi banyak masalah.
Kehidupan yang sangat keras dialami saat dinasti Manchu berkuasa
(1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras di mana terjadi
lima kali perang yakni Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan dan Shansi.
Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran kali ini. Korban yang
jatuh tak terhitung dan mengakibatkan menyusutnya jumlah Muslim hingga
sepertiganya saja.
Setelah
kekalahan menyakitkan itu jumlah Muslim kembali berkembang.
Diperkirakan ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori
tapi juga praktik. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram
dan sempat memimpin peradaban di Cina. Umat Islam punya babak baru pada
masa Mao Tse Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan
khusus dengan umat Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat
Islam Cina mendukungnya penuh. Bahkan sebagian Musilm ikut bergabung
dalam tentara Merahnya meski sebagian menyembunyikan agama asli.
Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan
untuk melakukan shalat, upacara ritual dan budaya serta sosial sendiri.
Sebagai perbandingan terhadap etnis minoritas lainnya, mereka juga
diberi kebebasan terutama menjalin hubungan dengan muslim lain di dunia.
Belakangan memang pemerintah Cina memberi perlakuan khusus bagi mereka.
Caranya dengan memberikan otonomi atau provinsi khusus buat mereka.
Pemerintah Cina memberi hak khusus kepada etnik minoritas. Sebagai
bukti, di luar dari 22 provinsi ada lima daerah otonomi penuh yang
didasarkan pada pengakuan atas hak warga minoritas bukan saja Muslim
tapi juga etnik lain.
Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi
Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ningxia Huizu, Uygurs di Xinjiang
Uygurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus Mongol. Wilayah
khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris seperti
Hongkong yang telah dikembalikan secara resmi.
Kental Dengan Muatan Lokal
Islam di Cina kental dengan muatan lokal.
Kondisinya mirip dengan di Indonesia terutama wilayah Jawa. Desain
masjid atau rumah-rumah hunian Muslim Cina mengambil budaya setempat.
Warna merah, kuning dan bahkan kepercayaan terhadap unsur yin dan yang
juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih menghormati dan bahkan
meyakini kepercayaan leluhur.
Arsitektur masjid misalnya. Kubahnya
dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat tabir tipis dari plastik
sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang pintu yang
menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika
langsung menghadap depan akan ada tirai yang menghalangi. Sebuah
perbedaan yang bisa disaksikan secara kasat mata adalah bahwa Muslim
tinggal berkelompok. Ini memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya
di perkampungan Muslim kita bisa mendapatkan daging dan makanan halal
lain. Di tempat lain makanan halal sulit ditemukan. Buku-buku agamapun
ditulis dalam bahasa Han. Hadis, fikih, ahlak dan sejarah diterbitkan
dalam bahasa lokal.
Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse dan Chang
Chung (1500-1700 Masehi) adalah tokoh yang berjasa menerjemahkan teks
Arab dan Parsi kedalam bahasa lokal. Bahkan di antara buku-buku tersebut
ada yang ajarannya bercampur dengan pengajaran filsafat Confusius.
Penerjemahan Alquran pertama dilakukan pada abad 19. Ma Pu Shu mencoba
menerjemahkan lima juz saja. Meski belum lengkap, apa yang ia kerjakan
sangat berjasa bagi Muslim lokal. Abad 20 adalah masa sukses bagi umat
Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan langkah Ma Pu Shu. Bukan
saja Alquran, penerjemahan juga dilakukan terhadap teks agama lain
seperti hadis Arbain an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai dan Yang
Shi Chian yang berjasa melakukannya.
Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial
lainnya adalah keuntungan yang diperoleh dari ulama Islam Cina. Telaah
yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa Dinasti Ming dan Chend
sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat Islam tapi juga
pemikiran filsafat Cina.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari
Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di
Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan
Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di
di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir
Sayyid alias ‘So-Fei Er’. Dia bergelar `bapak’ komunitas Muslim di
Cina.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368
M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai
minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik
status menjadi Cina Han.Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia,
Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu,
banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para
sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu,
para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan,
Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim
masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri
Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk
Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan
Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho – seorang
pelaut Muslim andal.
Masa Surut Islam di Daratan Cina
Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari
negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah
menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai
menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti
tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang
penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.
Hubungan antara Muslim dengan penguasa
Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma
dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi
makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan
Keislaman.Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat
Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti
Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima –
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Taktik adu domba pun
diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari
bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu
saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu
pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga
1873 M.
Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat
Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng
(Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911,
Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni
keluarga Ma. Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi
Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada
Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu
ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di
Cina. (Erni/berbagai sumber).
Tinjauan lain keberadaan Islam di China
Puncak peradaban Islam di Cina tercapai
ketika masa pemerintahan dinasti Ming, bahkan sejarah menyebutkan 6
jenderal yang paling dipercaya kaisar pertama dinasti Ming adalah
muslim. Termasuk diantara jenderal ini adalah Lan Yu Who yang
menghentikan serangan tentara Mongol di Tembok Cina dan mengakhiri
impian Mongol untuk menduduki Cina. Pada masa dinasti Ming ini pula,
Laksamana Zheng He diperintahkan kaisar untuk melakukan 7 ekspedisi ke
samudera Hindia pada tahun 1405 – 1433.
Mao Zedong
Etnis Uighur
digulirkan kampanye “strike hard” pada 1996, mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspordan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Kota minyak di Xinjiang
Tinjauan lain keberadaan Islam di China
Apa yang muncul di benak kita ketika
melihat wajah putih kekuningan dengan mata yang sipit? maka biasanya
yang terbetik di benak kita adalah: kafir, musyrik, penjajah, pelit,
egois, perebut harta pribumi, koruptor, penjual narkoba dan lain-lain.
Well, that’s acceptable, kenapa? karena fakta itulah yang mungkin selalu
terlihat oleh ummat muslim di Indonesia, sehingga beberapa orang yang
berpandangan sempit lalu membenci warga keturunan Cina di negeri mereka
tanpa alasan dan dalil yang jelas.
Nah, kali ini kita akan sedikit
memperluas pandangan dan me-rekonstruksi perasaan kita tentang orang
keturunan Cina ini, karena ternyata Islam bukanlah agama yang asing bagi
warga Cina, tidak seperti daerah lain yang muslimnya masih didominasi
oleh warga keturunan arab, muslim Cina tersusun dari warga asli mereka
sama banyaknya dengan warga pendatang dari keturunan arab.
Sampai
sekarang, warga muslim di Cina termasuk banyak, walaupun dibandingkan
dengan jumlah penduduk Cina maka terlihat kecil. Persentase terbanyak
ada di provinsi Xinjiang yang terletak di barat laut Cina, disana muslim
sebanyak 48%. Disebelah timur Xinjiang, propinsi Gansu sebanyak 8% dan
sebelah timur Gansu yaitu propinsi Ningxia yang dihuni suku Hui yang
muslim menjadi mayoritas di propinsi tersebut. Selain tiga propinsi itu,
terdapat propinsi lain yang juga dihuni oleh ratusan ribu muslim
seperti propinsi Yunnan asal Zheng He (Cheng Ho), propinsi Hebei
(propinsi yang terkenal sebagai tempat para pendekar), dan kota-kota
seperti Guangzhou (kota tempat masjid pertama di Cina), Beijing dan
Shanghai.
Asal Mula Islam di Negeri Cina
Interaksi antara Cina dan Arab
sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Islam ada di dunia, sekitar abad
ke-1 dan ke-2, Arab termasuk tempat persinggahan para pedagang jalur
sutera (silk road) untuk berjual beli. Jalur sutera ini terbentang dari
Cina sampai ke Konstantinopel. Karena itulah muncul ungkapan arab
“tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, karena pada waktu itu Cina
menjadi tempat yang sangat terkenal karena termasuk negeri yang sangat
maju peradabannya.
Ketika masa khalifah Utsman bin Affan,
beliau meminta kepada paman rasulullah Sa’ad bin Abi Waqqash secara
pribadi untuk membangun hubungan dengan negara Cina dengan misi
mendakwahkan agama Islam, dan shahabat Sa’ad diterima dengan sangat baik
oleh Kaisar Gaozong yang memimpin dinasti Tang, ketika itu Cina
mencapai kejayaan peradaban sehingga sangat mudah menerima Islam.
Setelah menerima Sa’ad bin Abi Waqqash, kaisar memerintahkan untuk
membangun masjid di kota Guangzhou untuk menjadi kenangan dan tanda
sepakatnya kepada Islam, dan masjid ini masih berdiri sampai sekarang
dan dikenal sebagai masjid Huaisheng (Memorial Mosque).
Islam terus berkembang pada masa dinasti
Tang, dinasti Song dan dinasti Yuan, bahkan perkembangan ini sangat
menggembirakan, kaum muslim di Cina menguasai perdagangan impor dan
ekspor lewat jalur sutera darat maupun laut, sehingga mereka selalu
menjabat sebagai direktur jenderal pelayaran. Pada masa dinasti Yuan,
perkampungan awal muslim di Cina disebut dengan Huihui, yang berarti
tengah-tengah, dari sinilah akhirnya muncul etnis Hui di Cina, etnis
yang dominan beragama Islam yang puritan. Peran kaum muslim semakin
besar pada dinasti Yuan, nereka dipekerjakan sebagai pegawai
administrasi negara, perpajakan, astronomi, penanggalan dan arsitektur.
Bahkan pada masa itu peradaban Islam
tumbuh pesat dan mewarnai kota-kota yang ada di Cina, juga mewarnai gaya
hidup orang Cina, dalam kungfu pun, di Cina dikenal kungfu aliran
muslim yang hanya diwariskan di pesantren-pesantren dan turun-temurun
diantara kaum muslim yang terkenal akan harga dirinya.
Puncak Kejayaan Peradaban Islam di Cina
Zheng He atau yang lebih dikenal dengan
nama Cheng Ho, mempunyai nama asli Ma San Bao adalah seorang Cina
Muslim, bangsawan etnis Hui. pada tahun 1405 dia memimpun armada laut
yang terdiri dari 62 kapal induk yang berukuran 126 x 52 m (seukuran
lapangan sepakbola), dan sekitar 190 kapal pendukung dan total 27.000
awak kapal .
Perbandingan kapal induk Zheng He dengan kapal Christopher Columbus ketika menemukan Amerika
Menurut beberapa literatur, ekspedisi
Zheng He tidak hanya mebawa misi dari kaisar, tetapi dia juga memiliki
misi tersendiri yang lebih mulia, yaitu menyebarkan Islam. Ma Huan,
seorang muslim yang menemani Zheng He sebagai penerjemah dan penulis
pribadi, dalam bukunya ‘The Overall Survey of the Ocean Shores’
(Chinese: 瀛涯勝覽) yang ditulis pada tahun 1416, menjelaskan secara detail
tentang tempat-tempat yang disinggahinya, dan menuliskan bahwa Zheng He
kerap mengunjungi masjid, memberikan dakwah secara intensif pada
tempat-tempat yang dikunjunginya, membangun komunitas muslim disana,
lalu membangun masjid untuk mereka.
Tokoh agama HAMKA juga mengatakan
“Perkembangan islam di Indonesia dan Malaysia mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dengan Muslim Cina, Laksamana Zheng He” . Cendekiawan Slamet
Muljana menambahkan: “Zheng He membangun komunitas muslim Cina
pertamakali di Palembang , kemudian di Kalimantan Barat, kemudian di
Jawa, the Selat Malaka lalu ke Filipina.
Namun pada akhir pemerintahan dinasti
Ming, populasi muslim di Cina dibatasi, dan ketika pemerintahan dinasti
Qing, kaum muslim mendapatkan perlakuan yang sangat buruk, kaum muslim
tidak diperbolehkan untuk menyembelih hewan kurban, membangun masjid
yang baru, dan dilarang untuk berhaji ke Makkah serta menerapkan politik
belah bambu di kalangan etnis di Cina. Pemerintahan yang represif ini
membuahkan 5 pemberontakan suku Hui (muslim) yang mendapatkan tekanan
dalam melaksanakan ibadah mereka, untuk menekan penduduk muslim, dinasti
Qing membunuh sekitar 7 juta penduduk muslim pada tahun 1855 – 1877.
Dinasti Qing: Awal Mula Penderitaan Muslim Cina
Mao Zedong
Setelah runtuhnya dinasti Qing, Sun Yat
Sen memproklamasikan berdirinya Republik Cina, yang diikuti dengan
pengambilalihan Republik Cina menjadi Republik Rakyat Cina oleh Mao
Zedong. Dalam kedua rezim ini kaum muslim mengalami tekanan dan
penindasan serta perlakuan diskriminatif yang lebih besar. Dalam
Revolusidi Cina, banyak masjid dihancurkan dan ditutup dan al-Qur’an
dimusnahkan .
Inilah beberapa catatan kekerasan,
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap kaum muslim, terutama
muslim uighur yang ada di xinjiang, secara etnis mereka sangat berbeda
dan lebih dekat dengan ras eropa timur, dan menggunakan bahasa turki,
oleh karena inilah muslim uighur diperlakukan sebagai warga negara kelas
dua .
Etnis Uighur
Pada tahun 2009, penguasa Cina menutup 6
sekolah Islam dan menyita buku-buku, tulisan, compact disk, dan rekaman
audio, serta menangkap 39 muslim selama 2008, sekitar 1.300 Muslim uighur ditangkap otoritas cina.
Bahkan, 17 orang di antaranya dijebloskan ke penjara Guantanamo. Anak-anak dibawah 18 tahun dilarang
untuk mempelajari dan mempraktikkan Islam. Anak-anak yang menghadiri
masjid akan dikeluarkan dari sekolah. Shalat jum’at harus menggunakan teks pemerintah, imam ditunjuk
pemerintah dan absen shalat jum’at diberikan kepada PKC (Partai Komunis
Cina).
Di bulan Agustus 2006, polisi menggrebek
rumah Aminan Momixi, ketika wanita ini sedang mengajarkan al Quran
kepada 37 muridnya. Anak-anak ini tidak dilepaskan hingga orang tuanya
membayar denda yang tinggi sekali, sekitar 7000-10000 Yuan – rata-rata
gaji per tahun warga uighur adalah 2400 Yuan. Xinjiang Daily melaporkan bahwa di tahun
2005, 18.227 penduduk di Xinjiang ditahan karena mengancam keamanan
negara angka ini naik 25% dari angka tahun 2004.
Arus migrasi etnis han oleh pemerintah
cina mencapai angka rata-rata 200 ribu orang/tahun. Pada tahun 1936
partai Kuomintang (republik Cina) memperkirakan penduduk muslim ada 48
juta jiwa, namun semenjak Mao Zedong berkuasa dengan PKC maka jumlah itu
tinggal 10 juta jiwa.
PKC menutup paksa sebanyak 29.000 masjid
di Cina. Di bidang pendidikan sejumlah sekolah Islam ditutup dan
sekitar 360 ribu muslim yang ditangkap karena bersekolah di sekolah
Islam.
digulirkan kampanye “strike hard” pada 1996, mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspordan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Xinjiang: Penderitaan Muslim di Tanah Penuh Berkah
Tekanan dan kedzaliman yang dilakukan
oleh pemerintah Cina semenjak tahun 1911 – 1949 dalam pemerintahan
Republik Cina dan 1949 – sekarang oleh RRC membuat muslim uighur maupun
muslim hui menjadi sangat gerah. Di Xinjiang, walaupun daerah tersebut
sangat kaya dengan minyak dan pariwisatanya, namun penduduk uighur hidup
dalam kemiskinan dan tekanan dalam ibadah mereka. Pemerintah Cina
seolah-olah ingin mengatakan “Kami mau harta di Xinjiang tetapi tidak
menginginkan orang-orang uighur”. Akumulasi tekanan dan penindasan
inilah yang menjadi cikal bakal kerusuhan-kerusuhan di Xinjiang,
termasuk terakhir yang terjadi 5 Juli 2009 lalu.
Tercatat sekitar 184 orang meninggal
1434 orang dipenjara dan 1680 lainnya terluka dalam bentrok aparat
dengan muslim uighur. Dan yang lebih parah lagi, setelah kejadian itu,
pemerintah Cina seolah membiarkan ketika kejadian ini berganti menjadi
kerusuhan etnis. Setelah pemerintah dan aparat keamanan yang menghabisi
etnis uighur, giliran suku Han yang dipancing untuk menghabisi etnis
uighur, dan ini dibiarkan begitu saja oleh pemerintah Cina. Lebih
menuakitkan lagi, sampai sekarang aparat Cina mengepung kota Urumqi
dengan tentara yang sangat banyak dan melarang shalat jum’at bagi orang
muslim uighur.
Bagaimana reaksi Indonesia dalam kasus
ini? seperti biasa dan seperti yang sudah kita saksikan pada kasus
Muslim Palestina yang dibantai Israel dan Muslim Rohingya yang disiksa
Myanmar dan Thailand, yaitu pemerintah RI memutuskan untuk tidak ikut
campur. Dubes RI untuk Cina, Sudrajat menyampaikan “Apa yang terjadi di
Xinjiang adalah urusan dalam negeri China dan kita menghormati
kedaulatannya dan tidak akan campur tangan masalah itu.” (Antara, 12/7/2009)
Padahal mereka telah menyaksikan:
Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan (HR. Bukhari dan Muslim).
Umat Muslim adalah satu ummat satu sama
lain tanah mereka adalah satu, perang mereka adalah satu, perdamaian
mereka adalah satu dan kebenaran mereka adalah satu (HR. Muslim).
Perumpamaan orang-orang beriman dalam
hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu
tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh
turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam (HR. Muslim).
Akar Masalah dan Solusi
Setidaknya ada 2 kemungkinan sebab kejadian kerusuhan Xinjiang ini terjadi:
Kota minyak di Xinjiang
1. Penindasan terhadap muslim
Xinjiang dan ketidakadilan dari pemerintah Cina adalah suatu hal yang
wajar ketika kita mengetahui bahwa Xinjiang adalah wilayah yang sangat
kaya. Xinjiang menguasai 20 persen cadangan potensial minyak di Cina,
dan pemerintah Cina telah mengeluarkan laporan bahwa Xinjiang akan
menjadi pusat industri mintak Cina dalam 10 tahun kedepan. Selain itu
pemerintah Cina memperoleh pendapatan dari pariwisata rata-rata Rp. 15
trilliun/tahun . Sehingga pemerintah Cina perlu untuk merantai Xinjiang
dengan cara melakukan penindasan-penindasan dan migrasi penduduk etnis
han kesana.
2. Amerika berkepentingan untuk
menjaga stabilitas di asia dengan cara mengurung cina (containing China)
dan menjaga agar jangan sampai negara-negara yang mengelilingi Cina
(Pakistan, Afghanistan, Kyrgistan, Uzbekistan, termasuk Tibet dan
Xinjiang) berada dalam pengaruh Cina. Oleh karena itu, AS pasti akan
selalu menyulut api pertikaian disini seperti yang jelas-jelas
dilakukannya kepada Kashmir, Tibet, Pakistan dan Afghanistan saat ini.
Semua ini didasarkan pada ketakutan AS atas prediksi Samuel Huntington
dalam bukunya Clash of Civilization: Remaking the World Order, bahwa
tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah
revivalisme Islam dan peradaban Cina. Hal ini juga ditegaskan oleh Will
Hutton, seorang ekonom dan juga think-tank para pemimpin AS yang
menyampaikan bahwa Islam radikal merepresentasikan tantangan terbesar
bagi peradaban Barat setelah runtuhnya fasisme dan Komunisme. Senada
dengan itu, Michael Buriyev, Ketua Parlemen Rusia seolah memperingatkan
AS dengan prediksinya bahwa dunia sedang menuju menjadi 5 negara besar:
Rusia, Cina, Khilafah Islam, Konfederasi Dua Amerika, dan India jika
India bisa bebas dari cengkraman Islam yang mengurungnya. Maka AS tidak
akan mau kecolongan dengan Cina dan Khilafah, maka ia terus menghambat
kemungkinan keduanuya untuk muncul.
Semua ini harusnya memberikan kita
sebuah gambaran yang sangat jelas, tentang apa yang bisa menyelesaikan
permasalahan di Xinjiang. dan memberikan petunjuk yang sharih tentang
apa yang harus kita lakukan sebagai kewajiban kita yang paling besar dan
utama. Maka urusan ini adalah Khilafah Islamiyyah. Sungguh semua solusi
telah dicoba dan diterapkan dan ternyata menghasilkan hasil nol besar.
Hanya persatuan kaum muslim dalam bingkai Khilafah Islam yang secara
teoritis dan praktis bisa menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh
kaum muslim dimanapun mereka berada.
Mari kita merenung sejenak. Idul Fitri
tahun 2008 lalu, saya sempat bertemu dengan saudara-saudara saya dari
Xinjiang, mereka menyampaikan betapa parahnya keadaan di tempat mereka,
bayangkan saja, untuk “nyantri” Islam mereka harus menempuh perjalanan
sampai ke Indonesia, Yaman ataupun negeri-negeri lain. Yang ketika
mereka kembali ke negerinya, mereka baru boleh berdakwah jika sesuai
dengan keinginan PKC. Mereka menyampaikan kepada saya perihal pelarangan
shalat jum’at, pelarangan shalat ied, melarang untuk mengadakan halqah
dan sejenisnya, dan banyak lagi tekanan yang mereka dapatkan bila mereka
dicurigai pemerintah Cina, dan bukan hanya mereka yang ditangkap,
tetapi keluarga mereka yang jadi korban
Sekarang bandingkan dengan kita, bila
kita tidak suka dengan suatu hukum kufur dan thaghut, bila kita merasa
sesuatu tidak syar’I, bila kita merasa Islam dihina: KITA BISA BERGERAK! KITA BISA BERBICARA!
tapi kenapa kita masih mengunci mulut kita dengan sejuta alasan, dan
memberatkan kaki dan tangan kita dengan batu-batu cinta dunia dan takut
mati?! Apakah surga sudah menjadi pertukaran yang murah?! haruskah
sampai ada senapan dan bedil didepan mata kita baru kita akan bergerak?
haruskah ketika Izrail menjemput kita baru bersedia berbicara?!
STAND UP FOR ISLAM! NOW!
Sumber Islamic Center
0 Komentar