BAB I: PROLOG G-30-S
Kesaksianku tentang G30S
Sejarah: Soebandrio;
Kesaksianku
Author:
Pinguman, Published: 2005/7/16
KONFLIK KUBU
Indonesia
1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan
Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia
terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni
Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk
menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis
(PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia
memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya
dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin
negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan
berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar
sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera
dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta
ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu
dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih
dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada
harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa
bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno:
Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno
menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi
bangsa yang besar.
Akibatnya,
sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini
didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan
bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer
Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan
Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka
menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul
pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli
Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun
usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah
militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer ?
dengan pasokan bantuan AS – seperti mendapat angin untuk menganggu Bung
Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak
perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS
menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya,
konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak
stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi
memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik
Indonesia, yaitu:
1. Unsur Kekuatan Presiden RI
2. Unsur Kekuatan TNI AD
3. Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Unsur
kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden
seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno.
Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur
kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan
Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya
termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan
unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh
sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI,
SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis
terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957
PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI
juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua
MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan
Land-reform.
Sebenarnya,
sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu
Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan.
Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution,
namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan
tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat
kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan
Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil,namun juga
mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi
militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah.
Caranya,
antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk
membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah
awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak
dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang
simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai
politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI
AD.
Saat
itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat
regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga
tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan
menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki
kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada
di belakang Nasution.
Presiden
Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno
tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang
keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu
hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution
sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi
peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan
administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional
prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan
Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai
Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun
di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi
desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi
intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya,
konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite
saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi,
beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer
(Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka
adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang
sesungguhnya.
Itu
gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno
bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan
kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat
Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution
harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo.
Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan
ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika
seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan
didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah
dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah
selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan
Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara,
sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan
pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando
Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang
kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani
ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.
Dari
perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah
merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi
strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara
dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat
lemah.
Melihat
kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas.
Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke
prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa
fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu,
Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen
Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution.
Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan
jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada
pembangkangan.
Dua
kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani
berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan
Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara
mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik
antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu
hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal
AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam
pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili
oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan
dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting
itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak
datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada
pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini
pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam
pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu
melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya
adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya
sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak
memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI.
Doktrin
itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat
intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan
politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga
berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh
Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto,
salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan
Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki
memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku
Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi
Diponegoro.
Ceritanya,
saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha
Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto,
sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara
Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang.
Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam
Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat
itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk
kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat
mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani
bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai
memalukan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di
mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot
Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina.
Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni
dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di
Bandung.
Presiden
Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima
oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya
mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan
pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori
Negara dalam Negara.
Karena
itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani
dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah
menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat
dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih
berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto
berada di dalam Kubu Nasution.
Namun
akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk
ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan
oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye
pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga
hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan
Nasution. Keakraban AS dengan Nasution – dari perspektif AS ? awalnya
perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada
PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah
menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal
Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd,
datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia,
Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya
adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta
dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi
Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta,
langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim.
Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan
Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi:
Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal.
Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD.
Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad
Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah
bersama-sama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno.
Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan
kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu
anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng
aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya
seperti orang tidak berdosa.
Bagi
Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa.
Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan
cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok
masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal
yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional
dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu
Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita
sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara
tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan
sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam
Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di
Jakarta.
Tentang
kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya
demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno
menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian
diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih
berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat
Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut
posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun
terselubung.
Di
saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro
bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa
perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui
salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak
hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai
Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang
kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu
pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden,
sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan
waktu.
Namun,
ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para
perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang
perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju
atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.
Yoga
semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu
kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat
skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta
untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno,
barulah rapat gelap itu disebarkan.
Berdasarkan
memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto.
Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut ?
dikatakan Yoga ? agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa
Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi,
tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu
dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai
pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo,
menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang
diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci
bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah
mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama
sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto.
Atau mungkin kedua-duanya.
Terlepas
dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu,
tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan
adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi
intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan
wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
Akhirnya,
nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil.
Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil
menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa
digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario
rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti
Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah
berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat
risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya
menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan
komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946.
Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati
komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih
mengamankan negara.
Soal
itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli
1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan
Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang
akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946
PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah
kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono.
Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam
penculikan itu.
2
Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua
batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor
strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat
keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang
sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara
Yogyakarta, esok harinya.
SK
dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat
nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat
nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam
tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk
rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan
seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946,
tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi
percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan
ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula
berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia
berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan
upaya Soeharto mengamankan penculik.
Itulah
karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa
malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku
otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut
versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal
Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada
akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini
kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya
disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya
diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou
En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami
tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung
Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi
Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide
Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk
pemimpin RRT.
Inti
pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan
peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap,
mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja.
Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat
tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi
saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau
menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba
di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno.
Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima
saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas
apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal
bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan
Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada
pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan
segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi
kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada
Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak
segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak
mengirimkan barang tersebut.
Baru
sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu
persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena
itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal,
Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang
dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan
sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal
pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi
? ini yang sangat penting ? Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan
Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama
dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri
sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya
tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para
buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal
ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan
Kelima itu.
Setelah
Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah.
Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu
Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu
kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau
meninggal dunia.
Bung
Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak
lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir
jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai
buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu
akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa
Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang
berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah
pada zaman Orde Baru bicara politik ? apalagi membahas sejarah versi
Orba ? bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke
rumahnya?
Meskipun
saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel
buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju.
Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden
bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya
mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat
angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah
Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian
menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang
itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk
Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani
terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak
menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai
orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak
diberitahu.
Sampai
akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima
oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00
WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.
Seorang
sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari
Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan:
Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju
Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu
di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD,
yakni Gatot Subroto.
0 Komentar