Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengkaji Ulang Nasionalisme Ekonomi

*) Oleh: Mudrajad Kuncoro
Nasionalisme sebagai perwujudan wawasan kebangsaan agaknya tidak perlu diperdebatkan arti pentingnya. Momentum nasionalisme ditandai oleh diikrarkannya Sumpah Pemuda tahun 1928, diikuti oleh pembangunan nation and character oleh para founding fathers. Apabila dewasa ini banyak tokoh melontarkan pentingnya nasionalisme, ini merupakan refleksi dari keprihatinan dan kewaspadaan terhadap bahaya disintegrasi maupun tergoncangnya persatuan nasional kita.
Dalam dimensi ekonomi, nasionalisme ekonomi sering dikonotasikan dengan upaya untuk mengisolasi perekonomian dari pengaruh-pengaruh asing. Hal ini bisa dipahami mengingat sebagian besar negara Dunia Ketiga baru saja lepas dari belenggu penjajahan. Boleh dikata, nasionalisme ekonomi di Dunia Ketiga merupakan refleksi dari reaksi penolakan masyarakat terhadap dominasi asing. Penyebabnya: sejarah panjang kekecewaan, penderitaan, kecemburuan dan ketidakpuasan. Masalahnya adalah: apakah pandangan nasionalisme masih relevan dalam menjawab tantangan ekonomi global?
Tentu menarik menjawab pertanyaan ini dengan menelusur pasang surut nasionalisme ekonomi Indonesia dan membandingkan dengan negara lain. Dalam catatan sejarah nasionalisme ekonomi Indonesia terdapat dua titik ekstrim. Yang pertama adalah kutub yang moderat, di mana pendukungnya berkeyakinan bahwa mengundang modal dan investasi asing masih diperlukan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Para teknokrat, yang pragmatis dan banyak diilhami oleh pemikiran Harrod-Domar mengenai pentingnya akumulasi kapital, merupakan pendukung utama kutub ini. Intervensi negara, menurut kalangan ini, lebih ditujukan untuk “mempribumikan” kredit, yaitu sebatas memberikan subsidi suku bunga bagi pemberian kredit kepada para pengusaha pribumi yang umumnya kredit berskala kecil dan menengah.
Kutub moderat ini bisa dilihat dari Rencana Urgensi Perekonomian yang diperkenalkan oleh Soemitro sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Natsir pada tahun 1951. Boleh dikata inilah pertama kali dilakukan pemasyarakatan pembangunan industri yang bercorak teknokratis. Sikap moderat Soemitro yang moderat terhadap modal asing merupakan refleksi trend politik masa itu karena enam kabinet yang dibentuk dan dibubarkan selama 1949-1955 didominasi para anggota PSI, Masjumi, dan PNI. Namun, Soemitro juga peduli dengan upaya memajukan pengusaha pribumi karena keinginannya untuk mengatasi dualisme ekonomi.
Kutub ekstrim yang kedua adalah para nasionalis yang menekankan pentingnya memajukan bisnis para pengusaha pribumi, menasionalisasi perusahaan asing sebagai upaya membebaskan diri dari kekangan imperialis, dan meningkatkan peranan badan usaha milik negara (BUMN) untuk membangun industri nasional. Dengan demikian, nasionalisme ekonomi identik dengan “gerakan pribumisasi” dan menghilangkan dominasi pihak asing dalam sektor tertentu.
Contoh paling terkenal dari kutub kedua adalah program Benteng yang diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Djuanda sebagai Menteri Kemakmuran saat itu. Tujuannya, memajukan kelompok bisnis pribumi dengan penjatahan impor barang-barang tertentu dan pemberian peluang usaha di balik tempok proteksi. Djuanda juga memperkenalkan Rencana Lima Tahun pada tahun 1956 dengan elemen paling ambisius berupa sejumlah proyek industri skala besar yang dilakukan oleh perusahaan negara dan dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan bantuan luar negeri.
Fakta menunjukan bahwa pelaksanaan program pribumisasi berjalan tersendat-sendat. Para pengusaha pribumi yang diberi prioritas dalam Program Benteng kalah bersaing dengan pengusaha asing dan Cina. Penyitaan perkebunan dan perusahaan milik Belanda, serta nasionalisasi seluruh kekayaan Belanda pada tahun 1958 lebih didorong oleh letupan “kegusaran” atas penolakan Belanda terhadap syarat-syarat hasil Konferensi Meja Bundar. Muncullah para pengusaha “Ali-Baba”, yaitu suatu aliansi strategik pertama setelah kemerdekaan antara pengusaha pribumi (Ali), yang mendapat lisensi dan perlakukan khusus namun minim dalam kemampuan bisnis, dengan pengusaha Cina (Baba) yang tidak mendapat perlakuan khusus namun amat mahir dalam berdagang dan berbisnis. Karena itu bisa dipahami bila para pengusaha pribumi seringkali tidak “tahan uji”, apalagi bila sang “pelindung” (dalam bahasa politik disebut patron) tidak lagi berkuasa.
Di masa Orde Baru, sampai taraf tertentu, warna nasionalisme juga terlihat. Sebelum terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), kebijakan pemerintah cenderung menerapkan kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing. Dikeluarkannya UU 1967 tentang PMA untuk menarik investasi asing dan UU 1968 tentang PMDN untuk menarik kembali modal nasional yang diparkir di luar negeri, menandai masa rehabilitasi ekonomi yang amat liberal. Periode pasca Malari memberikan peluang munculnya kembali sentimen nasionalis. Rejeki minyak telah memungkinkan pemerintah menerapkan strategi perdagangan yang lebih inward-looking dan membantu para pengusaha golongan ekonomi lemah lewat berbagai kredit yang disubsidi.Bagaimana nasionalisme ekonomi masa kini? Nasionalisme kita baru terusik ketika aset dan saham perusahaan Indonesia diborong oleh orang atau perusahaan asing.
Banyak yang menuduh bahwa tren privatisasi BUMN sekarang direduksi menjadi “asingisasi”, penjualan saham BUMN kepada investor/perusahaan asing. Sebagai konsumen, sadarkah kita bahwa kita lebih menyukai barang dengan merek asing daripada merek buatan dalam negeri? Tahukah anda berapakah kandungan lokal dari kain batik, pakaian, susu, tahu, tempe, mie instan, mobil, dan sepeda motor misalnya? Sebagian besar bahan baku produk pertanian dan industri Indonesia masih diimpor. Sekarang saja, sadar atau tidak, kita sudah mengkonsumsi garam, gula, dan beras impor.
Memang strategi industri substitusi impor sudah dianggap ketinggalan jaman, dan strategi promosi ekspor lebih banyak diterapkan. Para pengajur globalisasi berpendapat ini sudah menjadi trend yang tak dapat dihindarkan. Keniscayaan. Namun tidak berarti nasionalisme sudah ditinggalkan. Buktinya, Inggris tidak mau bergabung sepenuhnya dengan Uni Eropa karena mata uang poundsterling, sebagai lambang nasionalisme, akan dilebur bila menerima Euro. Jepang tetap mengedepankan Bahasa Jepang dan memproteksi produk-produk pertaniannya. Nasionalisme bangsa Korea, setidaknya tercermin dari motto raksasa Samsung: “We do business for the sake of nation-building”.
Dilema yang akan kita hadapi nantinya adalah: mana lebih penting mengutamakan penggunaan barang domestik (yang sering diikuti dengan proteksi), ataukah berorientasi pada efisiensi yang berarti mengkonsumsi barang yang lebih murah dan berkualitas tanpa peduli dari negara mana asalnya? Inilah saatya mengkaji ulang nasionalisme di tengah gelombang globalisasi. Jelas ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, juga partai-partai politik yang menekankan nasionalisme sebagai platform politik.
*) Pengajar pada FE UGM. Penulis buku “Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi: Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis”.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus