Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Raksasa Maritim, Tertidur Lelap dan Masih Bermimpi

 

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi ekonomi maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber kekayaan laut menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia bagaikan negara raksasa yang masih tidur. Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan Negara negara ekonomi maju, posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur ekonomi, misalnya beberapa selat strategis jalur perekonomian dunia berada di wilayah NKRI yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan nonhayati.

Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Terutama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional.

Pada tahun 2008 saja tercatat PDB pada subsektor perikanan mencapai angka Rp136,43 triliun. Nilai ini memberikan kontribusi terhadap PDB kelompok pertanian menjadi sekitar 19,13 persen atau kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga triwulan ke III 2009 PDB perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau memberikan kontribusi 3,36 persen terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional.

Diantaranya, tanaman bahan makanan sebesar Rp. 347,841 triliun, perikanan Rp. 136,435 triliun, tanaman perkebunan Rp. 106,186 triliun, peternakan Rp. 82,835 triliun, dan kehutanan Rp. 32,942 triliun. Kemudian hingga triwulan III 2009, PDB kelompok pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan sebesar Rp. 654,664 triliun. Dengan rincian, tanaman bahan makanan Rp. 331,955 triliun, perikanan Rp. 128,808 triliun, tanaman perkebunan Rp. 84,936 triliun, peternakan Rp. 76,022 triliun, dan kehutanan Rp. 128,808 triliun. Dari jenis sektor dalam kelompok pertanian, perikanan yang memiliki kenaikan rata-rata tertinggi sejak tahun 2004–2008 sebesar 27,06 persen. Kemudian sektor tanaman bahan makanan 20,66 persen, tanaman perkebunan 21,22 persen, peternakan 19,87 persen, dan kehutanan 18,81 persen. Bagaimanapun, catatan-catatan ini semakin menguatkan ang­ga­pan bahwa sektor maritim sangat potensial dikembangkan sebagai penunjang ekonomi nasional.Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya mengha­sil­kan produk perikanan.

Menurut pengamat maritim Universitas Diponegoro (Undip),  Sahala Hutabarat, untuk me­ngem­­bangkan potensi sumber kekayaan laut pemerintah harus memiliki visi maritim. Karena jika potensi sumber kekayaan laut dioptimalkan mampun mensejahterakan masyarakat pesisir.

“Indonesia itu negara kepulauan. Artinya laut Indonesia itu lebih luas dari daratannya. Jika laut dimanfaatkan dengan optimal, mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Untuk mengembangkan potensi maritim, pemerintah harus memiliki visi negara maritim yang jelas,” kata  Sahala kepada Indonesia Maritime Magazine.

Sahala juga mengkritik peran  pemerintah yang tidak memiliki konsep visi negara maritim. Seharusnya, kata Sahala, kementerian/lembaga yang terkait kemaritiman harusnya sudah mulai membangun konsep negara maritim. “Coba lihat nasib nelayan kita. Mereka hidup di bawa garis kemiskanan. Jika cuaca buruk, nelayan tidak bisa melaut. Otomatis mereka tidak ada income,” ujarnya.

Lanjut Sahala, ada 12 kementerian yang terkait dengan kemaritiman. Adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementrian Lingkungan, Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Menteri Kordinator Kesejahteraan rakyat dan Kementerian Koperasi. “Dari 12 kementerian itu yang harus memiliki konsep membangun negara maritim. Sehingga dapat mengoptimalkan sumber kekayaan laut,” terangnya.

Potensi Maritim Mampu Sejahterakan Rakyat

Pakar Kelautan IPB Rochmin Dahuri, dalam sebuah kesempatan menyampaikan bahwa Indonesia ibarat raksasa yang tertidur. Negeri ini belum dapat mentransformasikan potensi ekonomi maritim menjadi sumber kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa. Disebutkan dari 114 pelabuhan umum, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Selama Orde Baru, kredit untuk sektor ekonomi kelautan kurang dari 15 persen dan untuk sektor perikanan hanya 0,02 persen dari total kredit. Wajar jika hingga kini kontribusi ekonomi kelautan hanya 30 persen PDB. Padahal, negara-negara dengan potensi laut yang jauh lebih kecil, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, China, Islandia, dan Norwegia, sumbangan ekonomi kelautannya terhadap PDB mereka rata-rata mencapai 40 persen.

Pakar ekonomi maritim, Tridoyo Kusumastanto menyebutkan bahwa Potensi maritim lndonesia yang dapat diperbaharui dipandang dari segi Perikanan meliputi; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400. Mariculture (rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 567.080.000. Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 1.068.060.000. Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 10.000.000.000. Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000, secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 persen. Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan.

Menurut Richardson yang meneliti pada tahun 2008 bahwa sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cadangan minyak buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatra, selatan Jawa Barat, dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.

Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan tahun 1998 mencapai 136,5 triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.

Menurut pengamat maritim Sahala Hutabarat, laut juga memiliki peran geoekonomi yang sangat vital bagi kemakmuran bangsa Indonesia dalam 11 sektor ekonomi. Di antaranya, perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam nonkonvensional.

“Jika dikelolah secara optimal potensi ekonomi maritim bisa mencapai USD 150 pertahun. Dengan jumlah segitu mampu mensejahterakan masyarakat pesisir. Sayangnya, Indonesia ini bagaikan negara raksasa yang masih tidur. Tapi sekarang kita  baru mulai melek, ya masih ngucek-ngucek mata,” kata Sahala.

Sekitar 75 persen dari seluruh produk dan komoditas yang diperdagangkan di kawasan ini ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar USD1.300 triliun per tahun. “Sayang potensi ekonomi kelautan yang sangat besar itu ibarat raksasa yang tertidur, belum dapat kita transformasikan menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa. Itu karena kita tidak serius dan profesional dalam mendayagunakan sumber daya kelautan,” ujarnya.

Masalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di lautan masih menjadi persoalan yang menyelimuti dunia maritim di berbagai negara. Hingga saat ini, total kerugian Rp 80 triliun akibat akibat illegal fishing. Dalam catatan Badan PBB untuk urusan pangan (Food and Agriculture Ganization/FAO), negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami kerugian hingga mencapai USD30 miliar akibat penangkapan ikan ilegal. Berdasarkan estimasi FAO, sekitar 25 persen hasil perikanan dunia berasal dari penangkapan ikan ilegal.

Maraknya illegal fishing disebabkan potensi sumber daya ikan Indonesia yang diestimasikan mencapai 6,4 juta ton per tahun.Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan pengawasan tiga lokasi kawasan perairan, penanggulan penangkapan ikan yang merusak lingkungan di tiga provinsi.

Pemberantasan illegal fishing akan berdampak positif pada bergairahnya industri perikanan di dalam negeri. Berdasarkan catatan Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII), sebelumnya terdapat tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Namun, kemudian empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi karena kekurangan bahan baku.Sementara di Sulawesi Utara yang semula memiliki empat industri yang sama, kini tinggal dua industri yang beroperasi. Industri pengalengan di Bali juga tinggal satu unit padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna. Ibarat benalu, illegal fishing telah membuat sumber pendapatan masyarakat Indonesia dari sektor perikanan berkurang.

Apalagi jika pola penangkapan yang dilakukan bersifat Merusak ekosistem sumberdaya laut.Jika praktik illegal fishing ini berhasil dicegah maka akan berdampak positif terhadap pencapaian target revitalisasi perikanan. Dalam laporan potensi ekonomi maritim, maraknya illegal fishing mengancam pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal dan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Selain itu, praktik illegal fishing selama ini telah mengancam keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia.

Hal ini disebabkan, nelayan asing, selain melakukan penangkapan secara ilegal, tak jarang menembaki nelayan- nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.

Dengan harga satu kapal yang diperkirakan antara Rp1–3 miliar, maka hasil penangkapan ratusan kapal asing yang melakukan illegal fishing itu nilainya bisa mencapai Rp. 600 miliar. Upaya pencegahan illegal fishing terus dilakukan dengan target lima tahun mendatang hingga mencapai nol persen. KKP juga berencana melakukan pemetaan lokasi illegal fishing agar pengawasan bisa dilakukan secara intensif. Hingga saat ini, catatan KKP menunjukkan kapal yang paling sering melakukan penangkapan secara ilegal di perairan Indonesia adalah berasal dari China dan Thailand.

Dalam memberantas ilegal fishing, maka diperlukan program penguatan armada penangkapan nasional, pemberian permodalan serta yang paling vital peme­nu­han Bahan Bakar Minyak (BBM) se­suai kemampuan nelayan. Pe­nguatan armada penangkapan nasional dengan melakukan pengadaan kapal-kapal, alat dan perlengkapan tangkap yang bersaing (ramah lingkungan) serta meningkatkan pengetahuan penangkapan ikan. Pemenuhan BBM dengan melakukan subsidi khusus kepada nelayan. Selain itu, pengurangan investor asing perikanan masuk ke Indonesia juga diperlukan, agar terjadi pertumbuhan investor dalam negeri untuk kemandirian bangsa.

“Pemerintah harus lebih mem­per­hatikan nasib nelayan kita. Misalnya, memberikan modal pada nelayan untuk pengadaan kapal. Dan kapal nelayan dapat dijadikan agunan. Dengan memiliki kapal yang besar, maka tangkapan ikannya pun semakin besar,” imbuhnya. Guna mendorong ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menawarkam ke perusahan pemerintah (BUMN) dan perusahan tambang untuk mengadopsi 20 pulau. Perusahaan tersebut antara lain adalah Conoco Philips, Premier Oil Natuna Sea, Star Energy, International Nickel Indonesia (INCO), dan Medco Energy.

“Keterlibatan swasta dan BUMN untuk mendorong ekonomi lokal dapat diwujudkan lewat program CSR atau kemitraan. Salah satu yang ditawarkan adalah program adopsi pulau untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana perikanan dan kelautan,” ujar  Fadel usai membuka Forum CSR/PKBL Program Adopsi Pulau di Gedung Direktorat Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Program ini diprioritaskan pada kegiatan pembangunan yang ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat pesisir di pulau-pulau kecil. “Ada 20 pulau yang ditawarkan antara lain Pulau Lepar, Enggano, Maradapan, Maratua, Sebatik, Siantan, Pasaran, Gangga, Samatellu Pedda, dan lain-lain,” jelas Fadel. Total investasi yang dibutuhkan untuk program tersebut, kata Fadel, jumlahnya sekitar Rp 30 triliun. Pemerintah lewat APBN hanya menyiapkan Rp 400-500 miliar. “Kenapa kita sasar oil company (perusahaan minyak),  Karena perusahaan-perusahaan asing ini hampir semua di laut dan pesisir. Kadang-kadang mereka kerja, tapi masih banyak orang miskin di sekitarnya,” ujar Fadel.

Dikatakan Fadel, sebesar 65 persen kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas berlangsung di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Jumlah perusahaan mencapai 248 perusahaan. Jadi diharapkan perusahaan migas tersebut bisa membantu pulau-pulau kecil di Indonesia, agar ekonominya berkembang dengan sarana dan prasarana yang lengkap untuk kehidupan ekonomi mereka.

“Jadi diharapkan perusahaan migas tersebut bisa membantu pulau-pulau kecil di Indonesia, agar ekonominya berkembang dengan sarana dan prasarana yang lengkap untuk kehidupan ekonomi mereka. Program ini kita harapkan jadi gebrakan atau suatu lompatan baru dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Dan saat ini, mereka dihadapkan pada kondisi cuaca yang buruk, sehingga tidak bisa ke laut, dan dengan program ini mereka bisa mendapatkan pengganti tanpa harus melaut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad. Sementara itu, Menteri BUMN Abu Bakar Mustafa, akan mendorong perusahan pelat merah  untuk mengadopsi pulau-pulau kecil di Indonesia. Perusahan BUMN seperti Pertamina dan Migas Negara harus lebih memperhatikan sosial dan ekonomi untuk masyarakat pesisir.

“Kita mendukung atas program adopsi pulau-pulai kecil dan pesisir ke beberapa peruasahaan migas baik perusahan pemerintan maupun swasta,” kata Mustafa saat memberikan sambutan di   Forum CSR/PKBL Program Adopsi Pulau di Gedung Direktorat Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sumber : http://indomaritimeinstitute.org/2011/08/indonesia-raksasa-maritim-tertidur-lelap-dan-masih-bermimpi/

Posting Komentar

0 Komentar