Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengkaji Hubungan Strategis Rusia – Indonesia dari Perspektif Geopolitik


(Tanggapan Makalah: “Saatnya Menoleh ke Rusia bagi Kepentingan Strategis Indonesia” oleh Santos Winarso Dwiyogo, Kepala Divisi Masalah Bilateral dan Hubungan Internasional, Set Wapres RI dalam Roundtable Discussion di Global Future Institute, Kamis 25 April 2013, Jakarta)

Mencoba mengurai hubungan antara Rusia – Indonesia dari beberapa asumsi dan sudut pandang, selayaknya awal kajian ini di-breakdown terlebih dulu beberapa persoalan. Pertama: bagaimana implementasi Kepentingan Nasional dari Beruang Merah —sebutan lain Rusia— pada dinamika politik selama ini? Kedua: apa hakikat permasalahan bangsa dan Kepentingan Nasional RI (KENARI) yang hendak diraih? Persoalan ketiga: dimana titik singgung dan bagaimana menyatukan Kepentingan Nasional kedua negara?
Dalam roundtable discussion (25/4/2013) yang digelar Global Future Institute (GFI), Jakarta, diperoleh pointers tentang “Kepentingan Nasional” Rusia terutama ketika Vladimir Putin memegang tampuk kekuasaaan, antara lain: 1) menjadikan dirinya sebagai peace conflict catalisator; 2) penyeimbang global; 3) keluar dari cengkraman Amerika (AS) dan sekutunya Barat; dan 4) mengembalikan Rusia sebagai superpower.

Selanjutnya empat Kepentingan Nasional Beruang Merah tadi ditebar pada panggung hegemoni global sehingga menimbulkan persepsi: “Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan” . Luar biasa. Pertanyaan lagi, bagaimana pola ‘menghiasi’ konflik yang lebih positif versi Rusia di masa depan? Retorika ini tidak perlu dijawab agar tulisan ini bisa diteruskan.

Menurut hemat penulis, menjadi penyeimbang serta keluar dari cengkraman AS dan sekutu cuma sasaran antara melalui peran peace conflict catalisator, sedangkan skema atau tujuan akhir ialah superpower. Singkat kata, Putin ingin membawa kembali bangsanya menjadi negara superior seperti (era Sovyet) di masa silam!

Breakdown kedua perihal permasalahan bangsa dan KENARI. Tak dapat dipungkiri, bahwa persoalan bangsa ini bersemanyam di (sistem) hulu, sementara hiruk-pikuk elit politik dan dinamika anak bangsa ada di hilir persoalan yang sebenarnya justru diciptakan sistem itu sendiri. Jadi salah sasaran. Mana bisa nyambung? Kajian GFI, KENARI yang mutlak diperjuangkan, dijaga, dirawat oleh para elit dan segenap elemen malahan dilepas pada kancah global tanpa “pengawalan” sama sekali, sudah tentu ia terombang-ombing riak globalisasi yang serba tidak pasti. Inilah yang kini terjadi.

Skenario kepentingan nasional negeri manapun niscaya bermuara pada food and energy security. Ya. Setiap negara ingin memiliki ketahanan pangan dan jaminan pasokan atas kebutuhan energi di internal negeri. Tak bisa tidak. Inilah prioritas program negara manapun, sampai kapanpun. Tapi tengoklah di republik ini, negara agraris dengan curah hujan tinggi namun impor jagung, beras, singkong, kedelai, gula dan lain-lain. Negeri garis pantai terpanjang (kedua) di dunia justru impor ikan, garam dan lainnya. Betapa khabar yang sangat miris lagi menyalahi kodrat. Indonesia itu negeri yang terletak di lingkaran sabuk api (ring fire) yang niscaya memiliki kekayaan luar biasa atas minyak, emas dan kandungan mineral lain namun kenapa sejak dekade lalu menjadi net oil importer. Anekdot pun merebak, bahwa dinamika politik di negeri ini terlihat glamour namun tak bermakna apa-apa bagi KENARI. Ironis memang, tapi itulah yang terjadi. Timbul pertanyaan, sedangkan food and energy security saja diabaikan, apalagi KENARI sektor lain di luar pangan dan non energi?

Belum lagi soal jerat utang oleh International Monetery Fund (IMF), Bank Dunia, dan lainnya. Utang Indonesia konon sekitar Rp 2000-an triliun lebih sehingga membikin kedaulatan bangsa dan negeri ‘tergadai’ di depan lembaga keuangan internasional. Menurut Salamuddin Daeng dari Institute Global Justice (IGJ), Jakarta, menilai bahwa era 2013 merupakan tahun ambruknya ekonomi kita. Dua fakta penting sebagai indikasi kebangkrutan, selain tingginya utang luar negeri pemerintah serta utang swasta, juga tingginya beban utang dan cicilan pokok. Menurut data Bank Indonesia (BI), ujar Daeng, utang luar negeri pemerintah dan swasta sebesar US $ 251,200 juta atau sekitar Rp 2.400 triluan, sedangkan BUNGA UTANG dan cicilan pokok mencapai US $ 169,118 juta atau sekitar Rp 1.620 triluan. Ketika pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2012-2013 hanya sebesar Rp 819 triluan, maka logikanya seluruh hasil yang diperoleh PDB telah habis untuk membayar utang bahkan kurang!

Pointer lain dalam roundtable discussion di GFI yang layak dicermati ialah simbol (filosofi) politik Rusia yakni “elang berkepala dua”. Hal ini merupakan isyarat bahwa Rusia itu berpaling ke kiri dan/atau ke kanan. Artinya menoleh ke Barat juga ke Timur. Menengok ke Barat sebab bagian ras Eropa, melihat Timur karena sebagian wilayahnya berada di Asia, Timur Jauh dan Pasifik. Inilah fakta geopolitik yang tidak bisa dielak tetapi disadarinya sebagai takdir politik. Bandingkan dengan Indonesia. Adanya jerat atas impor baik pangan, energi maupun jerat utang disana-sini hakikinya ialah kolonialisasi kemasan baru serta merupakan cermin daripada para elit dan bangsa ini sangat abai terhadap geopolitik negeri sendiri.

Dari sekilas paparan di atas, boleh ditarik simpulan sementara tentang titik tolak dan kemana arah politik Beruang Merah akan berujung. Maka pantas saja jika Putin tidak menyia-nyiakan peluang di berbagai forum baik regional maupun global terkait empat kepentingan nasionalnya. Forum APEC misalnya, digelar di Vladivostok (2012), kota yang digadang-gadang calon ibukota (ekonomi) Rusia kedepan karena faktor geo-posisi yang strategis. Dan tampaknya pada September 2013, ia kembali menjadi tuan rumah KTT G-20. Ini tersirat makna bahwa Rusia tidak ingin kehilangan fokus kebijakan politik luar negerinya di tengah-tengah sinyalir global, bahwa arah APEC dan lembaga-lembaga lainnya sudah melenceng dari tujuan semula, bahkan menjadi ajang kepentingan para adidaya seperti AS, Eropa Barat dan Jepang.

Menurut Santos, kecenderungan geopolitik bergeser dari Atlantik ke Pasifik. Tidak salah. Akan tetapi cermatan GFI lebih detail soal geopolitical shift karena fokusnya menyoroti langsung ke titik pergeseran konflik dari Timur Tengah menuju Asia Tenggara khususnya “Laut Cina Selatan”, termasuk prakiraan ISUE dan provokasi yang ditebarkan oleh Barat perihal sengketa wilayah, dan/atau TEMA yang hendak diletuskan seputar konflik intrastate (konflik antar negara) dan interstate (konflik internal dalam negara), baik bersifat vertikal ataupun horizontal. Entah SKEMA yang hendak ditancapkan, kemungkinan besar adalah tata ulang kekuasaan di Asia Pasifik sebagaimana skema AS dan sekutu yang out of control di Jalur Sutera melalui Arab Spring karena fenomena kebangkitan Islam disana-sini.

Sekurang-kurangnya ada tiga paradigma jika bicara geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, antara lain: (1) Asia Pasifik dan Jepang, (2) Asia Pasifik dan Cina, dan (3) Asia Pasifik dan AS. Lantas, dimana peran Rusia? Inilah yang kini kental berproses. Rusia itu ada, nyata dan berada. Ketika telah menyadari keberadaannya, betapa kuat hasrat untuk berperan aktif di Asia Pasifik, karena selain sebagai langkah guna mendekatkan kepentingan nasional terutama point penyeimbang global serta keinginan bebas dari cengkraman Barat, juga merupakan implementasi “Strategic Triangle Doctrin”-nya Primakov, mantan PM Rusia, berupa aliansi poros Moscow, Beijing dan New Delhi guna mengimbangi pengaruh Paman Sam dan sekutu. Termasuk komitmennya bersama Cina dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO) diduga tidak hanya jalinan ekonomi namun terkait pula pakta pertahanan bersama dalam rangka menghadapi hegemoni Barat di Asia Pasifik.

Selanjutnya kenapa Rusia tidak mau melepas Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan dan lainnya di Asia Tengah, atau Azerbaijan, Armenia, Georgia dan lain-lain di Caucasus, karena sesungguhnya ia tak mau pengaruhnya melemah di kawasan tersebut terutama sektor energi dan pangan. Inilah kepentingan nasional utama dimanapun negara bila berbasis geopolitik. Tidak boleh dielak, globalisasi memang melahirkan realitas kembar yang tidak dapat ditawar-tawar yakni geopolitik dan geo-ekonomi. Artinya membahas geopolitik ujungnya ekonomi, demikian pula berbicara ekonomi koridor dan kerangkanya pasti geopolitik. Itulah realitas kembar.

Kemudian melalui nearby approach, Beruang Merah merangkul negeri tetangga, mengelola kerjasama segala bidang, dan seterusnya. Tampaknya pendekatan tersebut relatif efektif, ini terbukti adanya fakta bahwa jajaran Eropa Timur sangat tergantung atas pasokan gas dari Rusia, dan sudah barang tentu menjadi gas weapon bagi Rusia terhadap negara-negara Eropa Timur. Dan di era Putin pula, Rusia berubah menjadi net oil exporter, negara swasembada (autarky) dan cerdas dalam penerapan geopolitik. Sepertinya ia memahami, apabila abai geopolitik maka sama saja menghancurkan negaranya sebagaimana kisah Uni Sovyet dahulu pecah berkeping-keping.

Sekali lagi, Kepentingan Nasional RI!

Berkaitan prolog di awal tulisan, betapa banyak KENARI yang perlu diperjuangkan oleh elit dan berbagai elemen bangsa Indonesia, namun dalam catatan ini cukup dirujuk dua butiran yang diambil dari empat butir tujuan negara sebagaimana substansi pembukaan UUD 1945. Pertama, pola keamanan dan pertahanan sebagai implementasi negara melindungi segenap tumpah darahnya. Kedua, bagaimana pola pemerintah memajukan kesejahteraan umum. Sementara point lainnya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam ketertiban dunia tidak dibahas pada catatan ini.
Sesuai kehendak UUD, perekonomian sebagai sarana mensejahterakan bangsa seharusnya berdasar atas asas kekeluargaan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Tapi dalam praktek, sistem perekonomian kita telah terjerumus ke dalam ekonomi kapitalisme yang hanya mempertimbangkan profit, berdasarkan kepentingan segelintir pihak saja. Menurut Revisond Baswir (25/04/2013), pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), perlu digalakkan kembali prinsip demokrasi ekonomi untuk menjaga keberlanjutan perekonomian berdasarkan prioritas kesejahteraan rakyat.

Kemakmuran diprioritaskan bagi masyarakat luas bukan hanya orang per orang. Dalam konteks tadi pencapaian kemakmuran diterapkan berprinsip kebersamaan. Pemulihan kembali ekonomi demokrasi di Indonesia, dapat diupayakan dengan mencanangkan semangat sistem ekonomi demokrasi melalui Pasal 33 ayat 1 UUD 1945. UU Migas yang menyerahkan penentuan harga BBM pada mekanisme pasar bisa dihapus. Untuk itu perlu dilakukan penyegaran kembali koperasi, perjuangan buruh, serta perbaikan sistem perekonomian negara. Bila hanya bertumpu pada orientasi kapitalis tanpa mementingkan kepentingan perekonomian rakyat sesuai Pasal 33 di atas, “Pemerintah kita bisa dikatakan inkonstitusional,” tutur Revisond. Itulah garis besar usulan UGM melalui salah satu pakarnya, Revisond Baswir.

Disatu sisi, salah satu titik tolak lain adalah sistem ekonomi kita di hulu salah kaprah, oleh sebab mendewakan sektor non riil (moneter) daripada sektor riil sehingga tergantung indeks/kurs. Inilah kelemahan besar ketahanan nasional. Krisis moneter 1997-an adalah contoh nyata, karena dengan sekali “goyang” (memborong dolar) ala George Soros dkk sewaktu jatuh tempo pembayaran utang pemerintah dan swasta maka berakibat perekonomian Indonesia porak-poranda. Dolar menghilang kemudian harganya melangit. Ibarat kartu domino, mula-mula hanya berpengaruh di sejumlah produk impor tetapi kemudian menjalar kemana-mana, menaikkan harga, membikin bangkrut ribuan perusahaan dan menciptakan jutaan penganggur. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi 6,3 % tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan mayoritas warga bangsa karena pertumbuhan ternyata digerakkan hanya oleh segelintir orang saja, itupun yang bermain di sektor non riil, sementara sisanya termangu-mangu di sektor riil, nyaris tanpa tersentuh gelontoran BI.

Dalam forum diskusi KENARI pimpinan Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan dan dosen di beberapa perguruan tinggi sering disuarakan betapa penting pemakaian rupiah di setiap transaksi apapun dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Sekali lagi, itulah salah satu KENARI di sektor moneter. Seandainya rupiah menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri niscaya tidak akan melemah sebagaimana yang seringkali terjadi, oleh karena rupiah bakal dicari siapapun yang berkepentingan di Ibu Pertiwi. Dengan demikian gelontoran BI sekian triliun bila rupiah melemah di pasar modal (sektor non riil) dapat dialihkan pada sektor-sektor riil yang perlu pemberdayaan dalam rangka menegakkan harga diri bangsa, terutama kedaulatan energi dan pangan!

Pemerintah Abai Geopolitik

Betapa kekayaan alam (SDA) Indonesia melimpah-ruah, serta geografinya membentang strategis di antara dua samudera dan dua benua niscaya memiliki “peran besar” dalam interaksi global. Tetapi sepertinya bangsa ini tidak mampu mengelola atas letak geografi, posisi dan kekayaan alam yang dimilikinya. Ilmu dan wawasan geopolitik di republik ini seperti didangkalkan, sehingga rakyat bahkan para elit tidak memahami, terkesan tidak mensyukuri, dan tak mampu mengelola sehingga rakyat selaku pemilik kedaulatan justru termarginalkan dalam kelimpahan SDA.

Lihatlah Syria. Kendati minyaknya tidak sekaya Libya, Irak, Afghansitan atau lainnya tetapi menjadi rebutan para adidaya semata-mata faktor geopolitic pipeline dan geostrategic possition di Jalur Sutera. Juga Iran, ia mampu memaksimalkan aspek geopolitiknya sehingga ketika Ahmadinejad mengancam akan menutup Selat Hormuz maka hebohlah dunia, sebab banyak kepentingan para adidaya dan negara lain yang hilir-mudik di selat tersebut.

Bayangkan jika Indonesia menutup Selat Malaka, Selat Lombok atau Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal asing secara “gratis”. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, ALKI II dan ALKI III sekarang ibarat pekarangan rumah yang diacak-acak tetangga namun sang pemilik diam membisu. Bukan alasan takut, tapi karena KETIDAK-PAHAMAN para elit politik tentang urgensi geopolitik. Sekali lagi, betapa pentingnya pemberdayaan geopolitic leverage yang dimiliki Indonesia karena sewaktu-waktu dapat diubah menjadi geopolitic weapon, atau senjata geopolitik sebagaimana “nearby approuch”-nya Putin di kawasan sekitarnya.

Ketika mayoritas bangsa abai terhadap geopolitiknya sendiri, maka para elit cenderung menghabiskan waktu dan berdebat kian-kemari dalam koridor derivatif dengan berbagai paradigma serta teori politik yang ternyata telah dihegemoni. Gemuruh diskusi pada tataran (kulit) permukaan mengabaikan hal-hal tersirat, melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan). Nilai-nilai right or wrong is my country dianggap usang. Pada gilirannya debatisme berbagai elemen bangsa malah dirajut oleh asing dan kelompok kepentingan (komprador) menjadi “industri demokrasi” melalui manufaktur perbedaan pendapat, demonstrasi, parlemen jalanan, fabrikasi ego sektoral dan lain-lain yang mengakibatkan dinamika bangsa seolah-olah gegap gempita namun semu, karena sejatinya “jalan ditempat”. Terlihat glamour namun tak bermakna apa-apa!

Jujur saja, selain bangsa ini abai geopolitik, juga selama sekian dekade terutama sejak memasuki Era Reformasi seperti kompak meninggalkan dogma negara dan local wisdom leluhur yang terbukti dua kali membawa kejayaan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit). Pemerintah justru mengakomodir nilai-nilai asing (global) dalam berbagai kebijakan sedangkan itu belum teruji keampuhannya bagi perjalanan bangsa bahkan cenderung memecah-belah kesatuan melalui isue demokrasi, kebebasan, HAM, otonomi daerah dan lainnya.

Ketergantungan terhadap utang luar negeri dan impor baik minyak maupun beberapa komoditi pangan meletakkan Indonesia menjadi negara yang tidak mandiri baik secara ekonomi maupun politik. Inilah negeri pengimpor yang sebenarnya berpotensi besar menjadi negara produsen karena berbagai raw material bahkan minyak pun berlimpah-ruah namun malah pihak luar dan segelintir warga yang berpesta-pora atas kelimpahan berbagai SDA justru dibawah lindungan sistem negara serta aturan-aturan yang berpihak kepada mereka. Salahnya dimana?

“Kebijakan Pragmatis dan Non Ideologis” ala Putin

Mencermati prospek hubungan antara Indonesia – Rusia, sebaiknya diurai dulu kekuatan dan kelemahan Beruang Merah sebagai pertimbangan kelak. Kendati masih punya kelemahan di satu sisi —negara mana yang tak punya kelemahan?— akan tetapi ia memiliki keunggulan daripada AS dan sekutu yang selama ini mendominasi “hubungan” dengan republik tercinta ini. Artinya selain militer, sejarah dan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya kedirgantaraan, kepemimpinan kuat di era Putin, sisi menonjol lain bahwa Rusia kini telah berubah menjadi net oil exporter serta autharky, yakni negara swasembada yang mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Silahkan dibandingkan dengan para adidaya Barat yang rata-rata net oil importer. Apalagi AS yang kebutuhan minyaknya sekitar 20-an juta lebih barel/per hari sehingga setiap langkah politik luar negerinya cenderung mengembangkan pola kolonialisasi entah via hard power (simetris) ataupun smart power (asimetris), tetapi hakiki tujuannya semata-mata karena minyak, minyak dan minyak.

Termasuk terbentuknya berbagai pakta pertahanan seperti NATO, ISAF dan lain-lain, maupun G-8, G-20, atau barangkali bakal dibentuk lagi G-30 atau G-40 jika forum G-20 gagal mengatasi krisis ekonomi. Bisa jadi. Motivasi pendirian lembaga-lembaga ekstra baik tingkat regional maupun global, selama ia atas prakarsa Barat disinyalir karena kepentingan inner circle elit Barat terutama demi mendapatkan minyak. Masih ingat doktrin the power of oil? Itulah skema keramat siapapun elit di AS. Pola inilah yang akhirnya melahirkan kajian Deep Stoat yang melegenda sebab menjadi rujukan utama ilmu geopolitik: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”.

Sedang pada sisi lain, kelemahan Rusia relatif lazim bagi negara yang baru keluar dari keterpurukan pasca Perang Dingin. Memang sebelum era Putin, hampir-hampir menjadi negara gagal. Inflasi meroket, ekonomi ambruk serta dikuasai segolongan oligarkhi, kriminalitas serta mafia merajalela, sistem sosial berantakan dan lainnya. Setelah Putin naik takhta keadaan berputar 180 derajat, walau masih ditemui beberapa kelemahan misalnya instabilitasi politik di internal, kemiskinan dan sistem politik otoritarian bila ditinjau dari perspektif Barat, tetapi sesungguhnya mayoritas rakyat Rusia sendiri tidak mempersoalkan.

Survei The Wall Street Journal, 2007 menyebut bahwa tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Putin relatif stabil (85 %). Adapun prosentase fluktuasi tahun 2000 = 80 %, 2001 = 84 %, 2002 = 86 % dan tahun 2003 = 85 %. Hasil survei tadi menyiratkan bahwa rakyat Rusia “terbiasa” dengan rezim otoriter, bahkan takut kembali kacau seperti dekade 1990-an dulu. Rakyat tidak peduli dengan sistem yang diterapkan apakah demokratis atau tidak, yang penting rakyat merasa sejahtera dan citra negara terpandang di dunia. Inilah salah satu indikasi kuatnya kepemimpinan Putin karena didukung rakyat.
Langkah-langkah Putin dianggap otoriter oleh Barat, seperti kontrol negara terhadap media, menaikkan electoral threshold dari lima menjadi tujuh persen yang menyebabkan partai-partai kecil pro-liberal tersisih. Tapi ia tak peduli atas penilaian tersebut. Jalan terus. Dan rakyatnya pun sepertinya mendukung sepenuhnya serta tidak terpengaruh “angin surga” yang ditebarkan asing melalui demokrasi ala Barat.

Hal lain yang menarik di Rusia ialah kuatnya keberpihakan terhadap Islam. Kebijakan menutup media massa yang memuat kartun Nabi Muhammad merupakan bukti nyata. Putin menyatakan, “Rusia selalu mejadi bek paling setia, dapat diandalkan dan konsisten terhadap kepentingan Islam”. Tidak dapat disangkal, tingkat kelahiran dan perkembangan Islam di Negeri Beruang Merah memang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Ciri khusus kebijakan luar negerinya kini bersifat non ideologis. Inilah kecerdasan Putin yang bertolak belakang dengan rezim-rezim terdahulu yang cenderung ideologis. Dengan gaya semacam itu, justru ia bisa “berselancar” di antara negara-negara yang saling bertikai. Misalnya, kesepakatan baik militer, energi ataupun diplomatik dijalankan dengan Israel, tapi juga dengan lawan-lawan Israel di kawasan Arab tanpa ia memihak salah satu di antaranya. Termasuk merangkul Iran, Hamas, dan lain-lain.

Oleh karena Rusia merupakan net oil exporter, maka Timur Tengah sepertinya bukan tujuan utama —ini berbanding terbalik dengan Paman Sam—sehingga pendekatan Putin memang pragmatis. Dalam jangka panjang, tampaknya ia ingin menancapkan pengaruh agar dianggap sebagai “kekuatan besar lagi nyata” di dunia sebagaimana muara kepentingan nasionalnya yakni kembali menjadi superpower!

Pertanyaan menggelitik pun menyeruak, kelak jika Beruang Merah duduk di singgasana superpower mengganti peran AS, apakah dunia akan terbebas dari terorisme, HAM, demokratisasi, freedom dan lain-lain? Sekali lagi, retorika ini tidak untuk dijawab. Silahkan dipikir-pikir sendiri.

Mencari Titik Temu Dua Kepentingan Nasional

Dalam roundtable discussion (25/4/2013) yang digelar Global Future Institute (GFI) tercatat, bahwa peluang Rusia selain penyeimbang global juga persekutuan bersama Cina, India dan Afrika Selatan baik secara bilateral ataupun multilateral melalui forum BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), SCO, dan lainnya cukup diperhitungkan, terutama oleh kelompok negara yang berseberangan baik pragmatis terutama lawan secara ideologis. Terpilihnya Azevedo dari Brazil menjadi Ketua WTO yang nota bene kelompok BRICS, semakin membuktikan bahwa geliat BRICS tengah memainkan peran signifikan dalam dinamika geo-ekonomi global. Dan peluang Rusia tadi —dalam hal sebagai penyeimbang— kelihatannya semakin dekat dengan (inti) kepentingan nasionalnya menjadi superpower.

Sementara mapping ancaman baik internal negeri maupun di sisi eksternal ialah: (1) terorisme dan gerakan separatis. Kedua ancaman internal ini dianggap rawan karena bersumber di Caucasus meskipun “nearby approuch”-nya Putin cukup berperan disana, dan (2) ancaman eksternal oleh Barat dari AS dan Uni Eropa. Sedang tantangan regional —di Asia— dinilai justru berasal dari Jepang. Pertanyaannya: apakah hal ini terkait dengan peningkatan postur militer Jepang karena didukung Paman Sam dan adanya militerisasi AS di Laut Cina Selatan? Entah penilaian Putin mencermati dinamika politik. Tetapi sekuang-kurangnya, inilah data kendala dan peluang yang mutlak harus disikapi berbagai negara bila hendak bersinergi dengan Beruang Merah.

Analisa GFI, tantangan internal maupun eksternal Rusia sesungguhnya satu sumber yakni AS dan sekutu. Ledakan bom di Boston misalnya, kuat diduga hanya ISUE awal yang sengaja ditebar Barat dengan mengambil TEMA klasik serta berulang yakni “radikalisme jihad Islam”, namun di kawasan Heartland dan Caucasus. Boleh diterka, bahwa keniscayaan SKEMA yang bakal digelar Paman Sam ialah penguasaan pipanisasi minyak BTC di kedua kawasan tersebut, terutama wilayah Baku – Tblisi – Ceyhan (BTC) dimana “geopolitic of pipeline”-nya melintas antar negara Azerbaijan – Georgia dan Turkey. Wait and see! (Baca: Bom Boston dan Aksi Destabilisasi AS di Kawasan Heartland dan Caucasus, di www.theglobal-review.com).

Itulah episode kolonialisme yang sering ditampilkan AS dan sekutu pada panggung hegemoni baik simetris (militer) maupun asimetris (non militer), bisa dipastikan melewati urutan langkah isue-isue, lalu dibangun tema dan terakhir ditancapkan skema. Apapun ujud kolonialisasi, isue dan tema boleh beragam —mungkin konflik komunal, entah Islam radikal, atau separatisme, gerakan massa, korupsi, pelanggaran HAM dan lain-lain— tetapi untuk “skema” kolonial tetap lestari sepanjang masa yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di wilayah target (baca: Mencermati Kesamaan Karakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris, di www.thegobal-review.com).

Analisa sementara atas geliat AS di atas, tampaknya segaris dengan asumsi yang tengah dibangun oleh GFI (2013) perihal konflik: “bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”. Itu dia!

Pertanyaannya sederhana: jika Irak cuma penghasil korma, adakah stigma menyimpan senjata pemusnah massal bakal ditujukan ke Saddam Hussein; seandainya tidak ditemukan minyak di Celah Timor, akankah Timor Timur ribut masalah HAM yang berujung hadirnya pasukan asing serta jajak pendapat? Mungkinkah Inggris, AS dan Australia lantang berteriak soal HAM di Papua bila ia hanya penghasil singkong; betapa tega NATO mengeroyok negara kecil berdalih Islam radikal jika tanpa ada potensi minyak dan emas yang besar di Mali, Afrika Tengah? Dan banyak lagi retorika lain.

Kembali pada judul dan topik artikel ini, sebenarnya banyak hal bisa dimanfaatkan. Kita pernah memiliki hubungan (sejarah) dengan Rusia. Menurut data di kantor Set Wapres RI sebagaimana diungkap Santos dalam roundtable discussion di GFI yang lalu, bahwa dekade 2004-2005 Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono telah meneken kemitraan strategis dengan Rusia. Ada sekitar 14 kemitraan strategis dibuat dengan beberapa negara termasuk Rusia, namun hingga kini tak ada tindak lanjut.

Secara formal hubungan, kemitraan Indonesia – Rusia bisa dapat terjalin lebih intens melalui pintu APEC, ASEAN Regional Forum dan East Asia Community di tengah gonjang-ganjing tujuan ketiga forum tersebut telah melenceng atau dilencengkan dari arah semula karena dominannya kepentingan Jepang, AS dan Uni Eropa.

Terkait lemahnya implementasi geopolitik serta tebaran jerat koloni yang diciptakan asing dalam ujud impor pangan, energi dan lain-lain, Indonesia perlu membangkitkan kembali kerjasama dengan Rusia khususnya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas teknologi bidang industri strategis milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian. Kerjasama pembangunan armada laut harus mendapat prioritas penuh agar secepatnya anak bangsa ini memiliki kemampuan guna mengamankan pekarangan (rumah) baik ALKI I, ALKI II, ALKI III dan halaman perairan lainnya yang selama ini ‘diacak-acak’ negara tetangga. Inilah ujud merawat, melindungi dan mengawal KENARI dalam hal geopolitik serta geostrategi yang selama ini ditelantarkan.

Apalagi dalam bidang energi, Indonesia sangat perlu mengkaji ulang kontrak karya dengan negara-negara asing yang mendominir kerjasama. Kecenderungan selama ini, kontrak karya dengan kelompok net oil importer Barat menimbulkan ketidakadilan disana-sini bahkan cenderung ‘tipu-tipu’. Bagi hasil emas di Papua misalnya, ibarat pemilik tanah cuma mendapat 1%, sedang tukang cangkulnya (PT Freeport) malah berpesta pora. Ini berlangsung bertahun-tahun. Belum sektor lannya seperti minyak, gas alam dan tambang lain. Pola yang dikerjakan oleh Barat dan sekutu niscaya tidak jauh berbeda.

Demikian tulisan tidak ilmiah ini dibuat. Keterbatasan data, informasi, wawasan dan keterbatasan kemampuan Penulis dalam menuangkan ide serta gagasan masih butuh kritik serta saran pembaca sekalian guna penyempurnaan terkait dengan Kepentingan Nasional RI (KENARI). Kemudian mengakhiri catatan ini, ternyata masih ada retorika pamungkas yang tak bisa dibendung yaitu: “bagaimana jika kerjasama berbagai bidang dengan negara lain terutama soal pangan dan energi di Indonesia lebih banyak dilakukan dengan kelompok net oil exporter dan autharky, negeri swasembada yang mampu mencukupi kebutuhan sendiri?

Terimakasih
—————
M Arief Pranoto
Penulis adalah Research Associate Global Future Institute (GFI)


Posting Komentar

0 Komentar