Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

ENERGI, KEAMANAN MARITIM DAN KEPENTINGAN GEOPOLITIK DI KAWASAN ASIA PASIFIK


1. Pendahuluan 

Dalam isu keamanan global dan regional saat ini, terdapat hubungan yang sangat erat antara keamanan energi dan keamanan maritim. Meskipun belum semua negara di dunia menempatkan energi sebagai isu politik yang penting, akan tetapi bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik isu energi merupakan salah satu isu krusial. Keamanan energi dalam persepsi negara-negara tersebut bukan semata ketersediaan bahan mentah dan bahan hasil olahan minyak dan gas bumi, namun juga terkait dengan terjaminnya keamanan jalur pasokan minyak dari negara produsen ke negara konsumen.

Sesuai dengan karakteristik kawasan Asia Pasifik yang didominasi oleh laut, keamanan maritim merupakan salah satu isu krusial di kawasan. Berbagai upaya baik unilateral, bilateral maupun multilateral di tempuh negara-negara di wilayah ini untuk menjamin keamanan maritim, khususnya terhadap ancaman perompakan, pembajakan di laut dan terorisme maritim. Kawasan perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, menurut negara-negara pengguna merupakan wilayah perairan yang mendapat perhatian khusus dalam isu keamanan maritim.

Namun apabila ditelusuri lebih dalam lagi, di antara keterkaitan kuat antara isu keamanan energi dan keamanan maritim, ternyata secara eksplisit maupun implisit ada sinyalemen persaingan geopolitik antara negara di kawasan Asia Pasifik untuk mengamankan kepentingan nasionalnya masing-masing. Naskah ini akan membahas tentang isu keamanan energi dan keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik dikaitkan dengan agenda politik masing-masing aktor kawasan.

2. Isu Keamanan Energi Di Kawasan Asia Pasifik 

Isu keamanan energi di kawasan Asia Pasifik tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan semua negara di wilayah ini terhadap energi fosil (minyak dan gas bumi). Energi fosil dalam seratus tahun terakhir telah mengantar beberapa negara kawasan menjadi pemain utama ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan lebih dari itu, energi fosil juga berkontribusi pada kinerja kekuatan militer negara-negara tersebut.

Memasuki era 1980-an, timbul kekuatan-kekuatan ekonomi baru kawasan seperti Cina, Korea Selatan, India dan beberapa negara Asia Tenggara. Munculnya negara-negara tersebut sebagai kekuatan ekonomi baru kemudian berbanding lurus dengan meningkatnya kekuatan militer mereka. Namun perkembangan itu tidak diikuti dengan adanya diversifikasi terhadap energi fosil, bahkan sebaliknya ketergantungan terhadap energi fosil kian menjadi-jadi. Walaupun terdapat beberapa negara di kawasan yang mengembangkan energi nuklir, namun kontribusi energi nuklir bagi kepentingan ekonomi dan militer mereka belum dapat mengurangi kebutuhan terhadap energi fosil.

Amerika Serikat merupakan satu dari sedikit negara yang mampu melaksanakan swasembada energi, namun minyak dan gas bumi adalah pengecualiannya di mana setiap hari negara itu mengimpor 4,7 juta barel per hari pada 2004. Tingginya akan pasokan kebutuhan minyak dari luar negeri membuat negara itu aktif mencari sumber energi di luar negeri dengan segala cara, termasuk melalui penggunaan kekuatan militer.

Jepang sebagai negara industri terbesar di Asia Timur sangat tergantung pada impor minyak, di mana pada 2004 mengimpor 5,449 juta barel per hari. Ketergantungan pada impor minyak membuat isu keamanan energi Jepang mempunyai hubungan erat dengan kebijakan pertahanannya, karena kegagalan militer negeri itu di masa lalu mengamankan garis perhubungan lautnya berkontribusi pada kekalahan dalam Perang Dunia Kedua.

Cina juga terus meningkat kebutuhan pasokan minyak dari luar negeri, di mana pada 2005 mengimpor 3,181 juta barel per hari. Ketergantungan Cina terhadap impor minyak diperkirakan akan meningkat dari 40 persen pada 2004 menjadi 50 persen pada 2020. Mengingat bahwa Cina ke depan akan terus tergantung pada minyak impor, kebijakan pertahanan dan luar negeri Cina diarahkan untuk mengamankan pasokan energi dari luar negeri.

Negara lain di kawasan Asia Pasifik yang terus meningkat kebutuhan minyaknya adalah India. India yang tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi kawasan pada 2005 diperkirakan mengimpor minyak sebesar 2.09 juta barel per hari. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi India, sejak pertengahan 1990-an kebijakan pertahanan dan luar negeri India salah satunya diarahkan pada pengamanan pasokan minyaknya dari luar negeri.

Sumber utama minyak dunia, termasuk bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik adalah Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah diprediksi mempunyai cadangan minyak sebesar 729 milyar barel. Meskipun di beberapa kawasan dunia lainnya juga terdapat cadangan minyak, namun jumlahnya jauh di bawah nilain cadangan yang tersedia di Timur Tengah. Karena minyak cadangannya terbatasnya, secara politik minyak menjadi bahan rebutan negara-negara yang berkepentingan, khususnya negara-negara besar.

Dikaitkan dengan perkembangan lingkungan strategis kontemporer di Asia Pasifik, bagi negara-negara di kawasan isu minyak bukan saja mencakup tersedia pasokan minyak dari Timur Tengah, tetapi juga meliputi keamanan transportasi minyak dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, khususnya Asia Timur. Isu keamanan jalur pasokan minyak menjadi krusial sejak awal 2000, ketika negara-negara pengguna perairan Asia Tenggara mengeluhkan masalah keamanan maritim di kawasan itu.

Negara-negara pengguna perairan Asia Tenggara mempunyai kekhawatiran bahwa tidak terjaminnya keamanan perairan kawasan itu akan menjadi pintu masuk bagi aksi terorisme maritim. Beberapa negara seperti Amerika Serikat khawatir akan adanya kerjasama antara kelompok perompak dengan kelompok teroris guna mengganggu keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, beberapa negara seperti Amerika Serikat mengajukan beberapa inisiatif untuk mengamankan perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, misalnya Regional Maritime Security Initiatives (RMSI).

Selain Amerika Serikat, beberapa negara pengguna juga mengajukan gagasan-gagasan untuk menjamin keamanan maritim, seperti FPDA Extended Role On Maritime Terrorism. Contoh lainnya adalah kesepakatan Amerika Serikat-India tentang pengawalan perkapalan Amerika Serikat yang melintas di Selat Malaka.

3. Persaingan Geopolitik 

Adanya keinginan dari beberapa negara pengguna untuk mengamankan perairan Selat Malaka, di samping menimbulkan tantangan dari beberapa negara pantai, juga menimbulkan ketidaksukaan pada negara-negara lain yang turut merasa berkepentingan di Selat Malaka. Salah satu negara yang bersikap demikian adalah Cina, karena Cina memandang inisiatif demikian merupakan agenda terselubung untuk mengganggu pasokan energinya dari Timur Tengah.

Memperhatikan persaingan geopolitik di Asia Pasifik, khususnya di perairan Samudera India, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, ada semacam skenario di antara beberapa negara kawasan yang kebetulan pula konsumen besar minyak dunia untuk ”mengendalikan” manuver Cina. Negara-negara aktor kawasan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India mempunyai kekhawatiran terhadap manuver politik Cina di kawasan Asia Tenggara dan Samudera India. Misalnya kerjasama pertahanan antara Cina dengan Pakistan dan kian eratnya hubungan Cina dengan beberapa negara pantai Selat Malaka.

Untuk membendung manuver politik di Cina di Asia Tenggara dan Samudera India, ketiga negara tersebut secara bilateral telah melakukan beberapa kerjasama, seperti perjanjian pertahanan Jepang-India. Begitu pula dengan kerjasama pertahanan dan militer antara Amerika Serikat-India yang meningkat sejak 2002, di antaranya melalui Latihan AL Bersama Tahunan bersandi Malabar.

Amerika Serikat sudah pasti akan membendung dengan segala cara munculnya negara-negara lain sebagai peer competitor-nya, karena kemunculan itu akan mengganggu perannya dalam percaturan global. Dari semua negara di dunia saat ini, Cina dipandang oleh banyak pihak, termasuk oleh Amerika Serikat sendiri, akan menjadi peer competitor di masa depan. Oleh karena itu, dengan segala cara Amerika Serikat akan menghalangi kemunculan Cina sebagai pesaing di masa depan. Salah satunya adalah dengan mengendalikan jalur pasokan energi Cina memanfaatkan superioritas militer Amerika Serikat, khususnya Angkatan Lautnya, yang mampu beroperasi secara global.
\
Jepang sebagai negara yang pernah mengalami pengalaman pahit dalam Perang Dunia Kedua, menganggap bahwa pengamanan garis perhubungan laut sebagai sesuatu yang vital dan terkait dengan hidup matinya negeri tersebut. Terkait dengan pasokan energi, perairan Selat Malaka dan Samudera India adalah dua perairan vital bagi jalur energinya. Dalam strategi keamanan energi Jepang, faktor Cina mendapat perhatian besar karena ada kekhawatiran bila Cina mampu melakukan dominasi terhadap Samudera India, maka hal itu akan mengancam keamanan energinya. Selain di Samudera India, Jepang juga memperhatikan dengan seksama aktivitas Cina di Selat Malaka.

Sementara India yang tengah tumbuh menjadi kekuatan baru di kawasan Asia Pasifik, bukan saja Asia Selatan, juga mempunyai aspirasi besar di wilayah ini. India mempunyai hubungan yang tidak harmonis di masa lalu dengan Cina, bahkan keduanya pernah terlibat perang perbatasan pada 1962, di samping Cina merupakan sekutu Pakistan. Pada sisi lain, sejak beberapa tahun terakhir hubungan India dengan Amerika Serikat mengalami peningkatan signifikan, seperti dengan penandatanganan kerjasama di bidang nuklir dan pertahanan.

Begitu pula hubunganIndiadengan Jepang, yang merupakan implementasi dari politik luar negeri ”Memandang Ke Timur”. Kian eratnya hubungan India-Jepang antara lain ditandai dengan kesepakatan kedua negara untuk memberikan keamanan maritim di Selat Malaka dan SamuderaIndia, yang tercapai dalam pertemuan petinggi pertahanan kedua negara pada Juni 2006 di Tokyo. Aspirasi Jepang untuk memperluas pengaruhnya ke SamuderaIndiadapat diraba sebagai upaya untuk mengimbangi manuver Cina.

Selain dengan Jepang, politik luar negeri “Memandang Ke Timur” Indiajuga merangkul beberapa negara Asia Tenggara, di antaranya adalah Singapura. Dalam bidang pertahanan, India-Singapura mempunyai kesepakatan pertahanan dan secara rutin melakukan latihan militer bersama. Terkait dengan isu keamanan Selat Malaka, India secara terbuka telah menawarkan bantuan kepada negara-negara pantai Selat Malaka untuk mengamankan perairan itu. Selat Malaka memang bernilai penting dalam geopolitik India, karena merupakan salah satu legitimate area of interest.

Berbeda dengan beberapa negara lainnya di Asia Pasifik, keinginanIndiauntuk hadir di kawasan Asia Tenggara memang tidak terkait langsung dengan kepentingan keamanan energinya. Karena Timur Tengah sebagai sumber utama energiIndiaterletak tak jauh dari wilayahnya, sehingga garis perhubungan lautnya tidak terlalu panjang sebagaimana negara-negara lain di kawasan ini. Penting untuk dipahami bahwa kehadiran India di Asia Tenggara terkait dengan aspirasinya untuk membendung manuver Cina yang kini sudah mencapai Samudera India.

Untuk menandingi manuver Amerika Serikat-Jepang-India di kawasan ini, Cina hanya bisa menandinginya pada aspek politik dan ekonomi, namun tidak pada aspek operasional militer, khususnya Angkatan Laut. Ketika kapal-kapal perang Amerika Serikat, Jepang danIndiamelakukan patroli dan muhibah jauh dari wilayah negaranya masing-masing, kapal-kapal perang Cina hanya mampu untuk dikerahkan sebatas wilayah di sekitarnya saja. Sementara aspirasi Cina untuk mempunyai kapal induk sehingga mampu beroperasi jauh dari daratannya, sejauh ini belum terwujud karena kendala teknologi.

Karena Angkatan Laut Cina setidaknya hingga 15 tahun ke depan belum akan mampu mengamankan jalur perhubungan lautnya, Cina mencoba mencari kompensasi di bidang lain dengan cara merangkul negara-negara non Timur Tengah yang juga memproduki minyak. Misalnya dengan negara-negara di Asia Tengah (Eurasia) yang kaya minyak, di mana saat ini jaringan pipa minyak yang menghubungkanKazakhstandengan Cina telah beroperasi untuk memasok minyak ke Cina. Selain dengan negara-negara Eurasia, Cina tak lupa melakukan pendekatan kepada Rusia, negara pemasok utama senjata Cina. Salah satu kerjasama energi Cina-Rusia adalah pembangunan jaringan pipa minyak dari Rusia menuju Cina yang diharapkan akan mulai berfungsi pada 2010.

Cina melaksanakan pula kerjasama energi dengan beberapa negara Afrika seperti Aljazair, Nigeria dan Sudan, di samping kerjasama serupa dengan negara-negara Amerika Latin. Selain pada tingkat pemerintah, perusahaan-perusahan minyak asal Cina seperti CNOOC, Sinopec dan CNPC aktif melakukan ekspansi ke ladang-ladang minyak di luar negeri, termasuk di Indonesia.

4. Respons Indonesia 

Isu keamanan energi merupakan isu krusial bagi Indonesia, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, kondisi Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik yaitu berstatus negara importir minyak. Sedangkan secara eksternal, isu keamanan energi terkait dengan isu keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia. Dengan memperhatikan dinamika di lapangan, isu keamanan energi dan isu keamanan maritim sebenarnya berada dalam bingkai persaingan kepentingan geopolitik negara-negara besar.

Salah satu dinamika yang hendaknya senantiasa dicermati oleh Indonesia adalah adanya upaya-upaya untuk menjadikan perairan yurisdiksi Indonesia yang sekaligus merupakan garis perhubungan laut negara-negara kawasan sebagai wilayah konflik. Dalam kasus Selat Malaka, kehadiran Amerika Serikat dan beberapa negara lain di sana, baik hadir secara langsung maupun tidak langsung, membuat Cina tidak nyaman. Begitu pula sebaliknya.

Sementara ada kecenderungan bahwa negara tertentu di sekitar Selat Malaka, berupaya menarik negara-negara pengguna untuk turut mengamankan perairan itu. Apabia terjadi kondisi seperti itu, sudah pasti akan menimbulkan instabilitas baik terhadap keamanan kawasan maupun terhadap Indonesia sendiri. Instabilitas terhadap Indonesia terjadi karena adanya persaingan kepentingan di perairan yurisdiksi Indonesia oleh pihak-pihak lain, sementara Indonesia bukanlah sekutu dari salah satu pihak yang bertikai.

Selain Selat Malaka, isu keamanan energi dan keamanan maritim dalam bingkai persaingan kepentingan geopolitik juga telah menyentuh Laut Cina Selatan. Cina memandang perairan itu sebagai halaman belakangnya, tercermin dalam Peta Maritim Cina 1992 yang sembilan titik tak terputus di Laut Cina Selatan yang menegaskan klaimnya. Sementara perebutan klaim di Laut Cina Selatan yang melibatkan empat negara ASEAN plus Cina dan Taiwan sampai saat ini belum menunjukkan penyelesaian.

Pada saat yang sama, persaingan geopolitik antara Cina versus Amerika Serikat-Jepang-India juga telah menjadikan Laut Cina Selatan sebagai wilayah perebutan pengaruh dan kepentingan. Meskipun pecahnya konflik militer di Laut Cina Selatan untuk dalam jangka pendek peluangnya kecil, namun persaingan yang terjadi sudah pasti akan mempengaruhi stabilitas keamanan di perairan tersebut.

Bagi Indonesia, sudah sewajarnya bila sedini mungkin mengantisipasi dampak dari persaingan geopolitik antara aktor-aktor utama kawasan. Karena sebagai negara yang secara geografis berada di tengah-tengah aktor-aktor utama kawasan, besar peluang bagi Indonesia untuk terkena imbas (spill over) dari persaingan itu. Salah satu imbas tersebut akan terasa nyata di perairan Asia Tenggara, khususnya di perairan yurisdiksi Indonesia dan sekitarnya.

Guna mengantisipasi skenario demikian, sarana diplomasi baik pada tingkat pemerintah maupun pada tingkat Angkatan Laut (naval diplomacy) merupakan salah satu wadah untuk menjelaskan sikap Indonesia terkait dengan isu keamanan energi dan keamanan maritim yang beraroma persaingan geopolitik tersebut. Sikap politik Indonesia menyikapi isu tersebut sudah jelas yaitu tidak menginginkan perairan yurisdiksi Indonesia dan sekitarnya menjadi ajang perebutan kepentingan negara-negara utama kawasan. Dan sudah sewajarnya bila Indonesia, khususnya Angkatan Laut mendorong wadah-wadah multilateral regional semisal Western Pacific Naval Symposium (WPNS) sebagai ajang untuk meningkatkan confidence building measures (CBM) di antara pihak-pihak yang bersaing.

Pada sisi lain, pembangunan kekuatan Angkatan Laut hendaknya senantiasa menjadi prioritas pemerintah ke depan. Karena hanya dengan Angkatan Laut yang kuat, Indonesia mempunyai kemampuan deterrence untuk mengamankan kepentingan nasional di laut. Perpaduan antara kemampuan deterrence Angkatan Laut dan diplomasi merupakan kata kunci dalam rangka mengamankan kepentingan nasional di laut.

5. Pergeseran Sentral Geopolitik Internasional

Kajian strategis Deep Stoat tentang perpolitikan yang mengatakan; “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Kiranya harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isu-isu aktual, terutama dalam mencari darimana asal dan kemana arus geopolitik bergerak dan berujung. Hal itu disampaikan oleh Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute dalam Focus Group Discussion (FGD) Dinamika Regional dan Global: Peluang dan Tantangan Bagi Penguatan Konektivitas Nasional dalam Pencapaian MP3EI yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI pada 30 Agustus 2012 di Jakarta.

“Agaknya asumsi itu semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang mengklasifikasikan dunia kedalam Empat Kawasan”, kata Hendrajit. Empat kawasan tersebut terdiri dari Heartland (meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah), Marginal Lands (meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan China), Desert (Afrika Utara), dan Island or Outer Continents (meliputi benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia). 

Tesis Mackider menyebutkan, bahwa negara yang menguasai kawasan Heartland (memiliki kandungan sumberdaya alam dan mineral yang melimpah), niscaya akan menuju kepada “Global Imperium”. Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow merupakan modus kolonial sejak dulu, dan sering dilakukan untuk menebar penyesatan (mengalihkan perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan massa lainnya di permukaan, agar yang menjadi tujuan utamanya tidak terpantau.

“Menurut cermatan GFI, ‘Empat Kawasan’ Mackinder itu, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Ini terbaca dari Smart Power-nya AS, apalagi melalui Arab Spring, AS ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, dan Yaman yang nota bene merupakan kawasan Desert. GFI mengendus, AS dan sekutunya kini justru tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada” papar Hendrajit.

Cartalucci berasumsi: “Matikan Timur Tengah, maka anda mematikan China dan Rusia, dan anda akan menguasai dunia”. Faktanya bahwa sejak 1979, cengkeraman AS terhadap beberapa negara di Timur Tengah melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) memang terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Setidaknya 90% transaksi ekspor minyak dari kelompok GCC atau 40% minyak dunia, dikuasai oleh AS. 

Pertanyaannya adalah kenapa Rusia dan China tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat. “Agaknya Cartalucci lupa, bahwa saat ini Rusia sudah menjadi Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya bahwa ketergantungannya terhadap negara lain sangat kecil. Sebaliknya, meskipun kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun China masih tergantung dengan impor” ungkap Hendrajit.

“Menurut hipotesa GFI, hal ini semata-mata karena ENERGI masih tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Sampai saat ini, Kawasan Heartland masih dianggap sebagai titik tolak geopolitik global, sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter” papar Hendrajit.

Perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini memang mengisyaratkan terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan. “Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, diantaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura” ungkap Hendrajit.

Selain itu, jelas Hendrajit, AS juga mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isu Laut China Selatan, melalui Menhan Leon Panetta, AS menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum. Tapi yang paling mengejutkan adalah rencana AS untuk menggeser 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik.

Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada persoalan lainnya, diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu.

Menurut Hendrajit, ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka.

Situasi ini tentunya akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa, dimana secara proximatis geografi, posisi Indonesia berada cukup dekat dengan Laut China Selatan, baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Situasi ini diperkirakan akan berlangsung lama, karena selain menunggu ‘momentum’, negara-negara yang terlibat konflik juga melakukan upaya antisipasif secara intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutunya versus China dan pendukungnya.

“Tentunya kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap politik dan kebijakan negara-negara yang berada di sekelilingnya, terutama Indonesia, yang saat ini tengah berproses dalam MP3EI. Menurut saya inilah faktor eksternal yang mutlak dicermati dalam melanjutkan MP3EI” tandas Hendrajit.

Sumber: 
http://www.fkpmaritim.org/?p=891
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/177-4-article-sep/1518-pergeseran-sentral-geopolitik-internasional.html 

Posting Komentar

0 Komentar