PENGARUH AJARAN ISLAM DAN HINDU TERHADAP KEBUDAYAAN SUNDA
(Tinjauan Kritis atas Sejarah Proses Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan Sunda, Islam dan Hindu)[1]
Oleh: Ahmad Yanuana Samantho, S.IP, M.A, M.Ud [2]
Pendahuluan
Sebagaimana kita maklumi bersama,
perkembangan kehidupan sosial-budaya bangsa Indonesia, saat ini telah
mulai memperlihatkan beberapa fenomena kritis yang mengkhawatirkan bagi
persatuan dan kesatuan NKRI. Berbagai peristiwa konflik dan kekerasan
atas nama agama dan kelompok etnis (SARA) kerap terjadi. Begitu juga
tawuran antar warga dan antar para pelajar sering mudah terjadi tanpa
diketahui penyebab sebenarnya secara utuh dan dapat diketemukan solusi
rekonsiliasinya secara permanen dan substansial dalam format
rekonstruksi dan restorasi kebudayaan.
Berbagai potensi konflik SARA yang sudah
kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali di
Propinsi Jawa Barat sebagai lingkungan terdekat Ibukota Jakarta,
tentunya perlu diteliti secara mendalam, komprehensif dan holistik.
Dengan demikian maka solusi dan resolusi konflik serta rekonsiliasi
kerukunannya dapat dilakukan secara tepat dan benar, sesuai dengan
cita-cita dan prinsip nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan
doktrin: “Bhineka Tunggal Ika”, “Tan Hanna Dharma Mangrwa” (Tidak ada
Kebenaran yang mendua).
Menurut saya, analisis sejarah dan
pendekatan kebudayaan – sebagai salah satu unsur pembentuk peradaban —
sangatlah penting bagi membangun fundasi infrastuktur yang kokoh bagi
kemajuan perkembangan kehidupan budaya dan peradaban bangsa. Hal ini
akan berkontribusi positif terhadap “National Character Building” yang
selayaknya terus kita lakukan sebagai sebuah bangsa yang terus membangun
diri.
Kelompok etnis Sunda adalah kelompok
etnis kedua terbesar di Indonesia dari sisi jumlahnya setelah suku Jawa.
Tentunya peran dan sumbangsihnya sangatlah signifikan dan sangat
diharapkan dalam proses pembangunan karakter bangsa Indonesia tersebut.
Makalah ini berusaha untuk mengungkap
fakta-fakta sejarah budaya Sunda (yang mungkin sebagiannya belum
terungkap dan masih kontroversial di kalangan akademik) yang berkaitan
dengan pengaruh ajaran agama Islam dan Hindu terhadap perkembangan
budaya Sunda.
Makalah ini juga berusaha mengungkap akar
kearifan abadi/falsafah perennial yang menjadi dasar penjelasan bagi
kesadaran Bhineka Tunggal Ika, yang mempertemukan berbagai esensi
agama-agama dunia dan budaya etnis lokal. Dalam hal kebudayaan Sunda,
maka makalah ini akan fokus kepada pengaruh timbal balik (interaksi)
Hindu, Islam dan ageman/budaya Sunda Wiwitan.
Proses Pembentukan Kebudayaan Sunda
Dalam perspektif Antrophologi Sosial,
sesuatu kebudayaan itu terbentuk melalui suatu proses panjang sebagai
usaha setiap individu dan masyarakat dalam menemukan cara-cara
penyelesaian berbagai masalah yang dihadapinya dalam kehidupan
sehari-hari. Cara- cara itu secara alamiah kemudian teruji dan lalu
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu
kebudayaan yang yang diterapkan oleh masyarakat Sunda atau yang disebut
Kebudayaan Sunda, pada hakekatnya adalah merupakan akumulasi dari proses
jalan dan cara-cara kehidupan yang dilaluinya dalam periode waktu yang
lama, sehingga kemudian terbentuk sebuah kebudayaan yang berciri khas
Sunda.[3]
Kebudayaan Sunda itu merupakan kesatuan
sistem gagasan, aktifitas dan hasil karya manusia Sunda yang terwujud
sebagai hasil interaksi terus menerus antara manusia Sunda sebagai
pelaku (subjek) dengan latar tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang
sangat panjang dan suasana serta pengaruh akulturasi dan asimilasi
budaya dengan berbagai pengaruh budaya lain yang berhubungannya
dengannya. Boleh dikatakan bahwa kebudayaan Sunda adalah milik
masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi terhadap
perubahan-perubahan lingkungan yang terus menerus dalam jangka waktu
yang sangat lama. Perubahan pada setiap unsurnya dan hubungan antar
unsur-unsur itu satu sama lainnya berpengaruh kepada kebudayaan Sunda
secara keseluruhan.
Namun demikian, proses adaptasi,
akulturasi dan asimilasi antar kebudayaan yang berpengaruh terhadap
perkembangan budaya Sunda itu hanya akan terjadi dengan relatif cepat
bila terdapat titik temu dengan nilai-nilai dasar prinsipil budaya Sunda
yang telah terbentuk selama berabad-abad bahkan ribuan tahun lamanya.
Asimilasi dan akulturasi antar beberapa kebudayaan tersebut akan
melahirkan suatu kebudayaan baru Sunda yang merupakan hasil titik temu
dari proses pembauran terus-menerus antar berbagai kebudayaan yang
awalnya berbeda tersebut. Dalam hal ini hubugan interaksi, asimilisasi
serta akulturasi yang berpengaruh atau saling mempengaruhi dengan budaya
Sunda, adalah budaya dan ajaran agama Hindu, agama Islam, dan agama
(Kepercayaan) Sunda Wiwitan/Sunda Buhun.
Bila diteliti lebih jauh, maka proses
akulturasi dan asimilasi ini tidak sesederhana seperti anggapan bahwa
kebudayaan Sunda telah terbentuk dengan terpengaruh oleh Hindu dan
Islam. Karena akan timbul pertanyaan kritis, apakah betul sebelum agama
Islam diterima oleh mayoritas masyarakat suku Sunda, mereka itu beragama
Hindu atau Budha, yang dianggap kebanyakan orang awam sebagai berbeda
100% dengan Islam. Ataukah justru agama Islam itu dengan mudah diterima
oleh mayoritas suku Sunda, karena Islam yang masuk dibawa oleh
pendakwahnya adalah Islam dari sumbernya yang murni, yang ternyata
banyak menemukan titik temu dan kesamaan prinsip-prinsip dasar dengan
agama atau kepercayaan masyarakat Sunda sebelumnya yang sama-sama
monotheis, sederhana dan alami, baik dari ageman Sunda Wiwitan, Sunda
Buhun, Kepercayaan Kapitayan, Weda-Brahmana, Hindu-Siwa dan Budha dalam
bentuknya yang murni.
Pertanyaan-pertanyaan kritis ini akan
menemukan relevasinya bila dikaitkan misalnya dengan kepercayaan suku
Sunda di Kanekes (Baduy) Banten, bahwa mereka mengikuti ajarannya
(agama) Nabi Adam AS, yang “bukan Hindu bukan pula Islam”. Lalu juga
dengan baru terungkapnya fakta bahwa antara ajaran Agama Hindu (Vedha /
Sanatha Dharma) dan Islam itu terdapat banyak kesamaan dan titik temu
dalam hal monotheisme/tauhid, sebagai mana yang diungkap oleh Dr. Zakir
Naik seorang ulama-sarjana perbandingan agama dari India. Nama yang
lebih tepat yang diyakini oleh umat Hindu terpelajar adalah Sanatha Dharma (agama yang abadi) atau Vedic Dharma (agama Weda) atau Vendanta/Vedantist
(pengikut Weda). Begitu juga dengan sebuah temuan bahwa tokoh utama
Budha Sidartha Gautama, Sang Manusia Suci pendiri ajaran Budha, itu tak
lain adalah Nabi Zulkifli yang diceritakan dalam Al-Qur’an, atau
Yehezkiel dalam Bibel.[4]
Jejak peninggalan komunitas agama Budha di tatar Sunda terlihat
misalnya dari situs sejarah Candi Jiwa dan Candi Blandongan dan
lain-lain di Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat, peninggalan kerajaan
Taruma Nagara (abad 4 M) dan Sriwijaya (abad 7 M).
Dalam terjemahan Sogdian, ekspresi ‘Dharma’ telah diterjemahkan sebagai ‘nom’,
yang awalnya berarti ‘hukum’. Namun sekarang ekspresi itu juga berarti
‘buku’/kitab. Jadi kaum Buddhis, sebagaimana juga dikenal sebagai “Ahli
Kitab”, walaupun dalam Buddhisme itu sendiri tidak ada satu buku atau
kitab yang memiliki otoritas tertinggi sebagaimana Al-Qur’an dalam
Islam. Penggunaan kata buku untuk menterjemahkan Dharma, diadopsi
oleh bangsa Uighur dan Mongol dalam terjemahan mereka. Beberapa ulama
Muslim lain juga menerima teori ini, termasuk sejarahwan Muslim Persia
yang banyak menulis tentang India di abad ke 11 M, yaitu Al-Biruni.
Dr. Haidar Bagir juga mengatakan bahwa
beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa agama Hindu sebenarnya
berasal dari para pengikut awal Nabi Nuh AS. (Lihatlah antara lain
pengamatan Sultan Sahin dalam bukunya: Islam dan Hinduisme). Dalam
pengamatannya ini, penulis menyebutkan bahwa para sarjana pemikir muslim
lainnya juga sependapat dengan hal ini, seperti Syah Waliyullah,
Sulaiman an-Nadwi, serta beberapa sarjana kontemporer India yang lainnya
seperti, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad Ali.[5]
Bahkan ajaran awal yang kemudian disebut
agama Hindu itu, awalnya adalah ajaran Vedha-Brahmana, yang terkait erat
dengan ajaran Nabi Ibrahim AS (lihat artikel yang berjudul, “Ibrahim,
Bapak Para Nabi dan Imam Semua Bangsa” di Bayt al-Hikmah Institute, http://www.ahmadsamantho.wordpress.com/2012/06/14/9781/ ).
Sejarah pengaruh agama-agama dan
kepercayaan masyarakat suku Sunda dan Pengaruh Hindu, tak bisa terlepas
dari pengaruh para pemimpinnya, sejak Raja Dewawarman di kerajaan
Salakanagara (Sa Loka Naga Ra) di Teluk Lada Banten pada awal abad
Masehi, sampai kepada raja-raja Jaya-Singa-Pura (di Jasinga Bogor),
Taruma Nagara, dan Galuh, dan Pakuan Pajajaran.
Begitu pula pengaruh dan interaksi Sunda
dengan agama Islam tidak bisa lepas dari sejarah Prabu Siliwangi (Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan) dari Pakuan Pajajaran, adalah
“Raja Hindu” (?) yang masuk Islam ketika beliau menikahi Nyi Subang
Larang, seorang putri Ki Gendeng Tapa yang juga santriwati murid Syekh
Quro, ulama asal Timur Tengah Keturunan (Ahlul Bait) Nabi Muhammad SAW.
Nyi Subang Larang ini adalah istri Prabu Siliwangi dan ibu dari Kean
Santang, Rara Santang dan Walang Sungsang, juga nenek dari Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidyatullah), salah satu di antara Wali Songo, penyebar
Islam di pulau Jawa / Sunda.
Prof.Dr. Dadang Kahmad menulis: “Begitu
pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar
Sunda akan diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan
kepribadian budaya Sunda, dan mana yang tak sesuai (berlainan sangat
jauh) dengan kepribadian budaya Sunda…” “Agama Islam begitu mudah
diteriman oleh Urang Sunda, karena karakter agama Islam tidak jauh
berbeda dengan karakter Budaya Sunda yang ada pada waktu itu, Sedikitnya
ada dua hal yang menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh Urang
Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu sendiri yang sederhana sehingga
mudah diterima oleh budaya Sunda sendiri yang juga sederhana. Ajaran
tentang akidah dan ibadah, terutama akhlak dari agama Islam sangat
sesuai dengan dengan jiwa Urang Sunda yang juga Dinamis. Yang kedua,
kebudayaan asal yang menjadi ‘bungkus’ agama islam adalah kebudayaan
Timur yang tidak asing bagi Urang Sunda. Oleh karena itu ketika Urang
Sunda membentuk jati dirinya berbarengan dengan proses Islamisasi, maka
agama islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud dalam
alam bawah sadarnya menjadi identitas kesundaan mereka.”
Islam masuk ke dalam kehidupan masarakat Sunda melalui pendidikan dan
dakwah, bukan dengan jalan perang dan penaklukan. Hal tersebut membuat
wajah Islam di Jawa Barat agak berbeda dengan wilayah lainnya. …. Kalau
di daerah lain agama Islam dianggap sebagai kekuatan asing yang sukar
bersatu dengan kebudayaan setempat, maka di masyarakat Sunda, Islam
dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan dirinya sendiri.
Timeline kerajaan di tatar Sunda.
Timeline kerajaan di tatar Sunda.
Berikut ini adalah penjelasan detail tentang sejarah bangsa sunda/melayu austronesia.
Austronesia dan Kebudayaan Sunda Kuna Oleh: Dr. Agus Aris MunandarDepartemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia
I
Kebudayaan senantiasa berubah, mengalami
dinamikanya sendiri, kebudayaan juga dapat diumpamakan seperti
organisme, ada masa kelahiran, perkembangan, menyusut, dan punah. Dapat
juga kebudayaan itu setelah kelahirannya lalu berkembang terus hingga
sekarang, tetapi suatu waktu nanti niscaya akan digantikan dengan
bentuk-bentuk baru, suatu bentuk yang menyesuaikan keadaan zamannya. Di
wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan dalam masa prasejarah pernah
berkembang suatu kebudayaan yang didukung secara luas oleh penduduk
yang mendiami kawasan tersebut hingga Madagaskar, dan kepulauan di
Pasifik Selatan, para ahli menamakan kebudayan tersebut dengan
Austronesia.
Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa
arus balik migrasi orang-orang Austronesia kemungkinan terjadi dalam
kurun waktu 6000 SM hingga awal tarikh Masehi. Akibat mendapat desakan
dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah, orang-orang pengembang
kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah
Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian berangsur-angsur
mereka menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai
pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara daratan sambil
mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam pengalaman kehidupan
mereka.
Pada sekitar tahun 3000-2500 BC,
orang-orang Austronesia mulai berlayar dari pedalaman Cina selatan
daerah Yunnan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina.
Diaspora Austronesia berlangsung terus hingga tahun 2500 SM mereka mulai
memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Dalam sekitar tahun 2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan
Papua. Dalam masa yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari
daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki Semenanjung Malaysia dan
pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di
Pasifik berlanjut terus hingga sekitar tahun 500 SM hingga awal
dihitungnya tarikh Masehi.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh
H.Kern seorang ahli linguistik dan didukung oleh W.Schmidt (antropolog),
P.V.van Stein Callenfels, Robert von Heine Geldern, H.O.Beyer dan
R.Duff (arkeolog). Memang hingga sekarang ini pendapat yang menyatakan
bahwa tanah asal orang Austronesia adalah daratan Asia Tenggara dan Cina
selatan (Yunnan) masih banyak pendukungnya, walaupun akhir-akhir ini
juga mengemuka pendapat baru yang dicetuskan oleh para pakar lainnya.
Pendapat lain pernah digagas oleh I. Dyen (1965) seorang ahli linguistik, berdasarkan metode lexico-statistik
ia kemudian menyimpulkan bahwa orang penutur bahasa Austronesia berasal
dari Melanesia dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam masa prasejarah
mereka menyebar ke barat ke arah kepulauan Indonesia dan daratan Asia
Tenggara, dan juga ke Pasifik selatan. Menurutnya berdasarkan prosentase
kekerabatan bahasa Austronesia dibagi ke dalam dua kelompok besar,
yaitu:
I.Bahasa Irian Timur dan Melanesia
II.Bahasa Melayu-Polinesia terdiri dari:
a.Hesperonesia (Bahasa-bahasa Indonesia Barat)
b.Maluku (Maluku, Sumba, Flores, Timor)
c.Heonesia (bahasa Polinesia dan Mikronesia)
(Keraf 1991: 9—10)
Pendapat yang kini populer adalah tentang “Out of Taiwan”
yang menyatakan tempat asal orang-orang Austronesia adalah Taiwan.
Pendapat ini semula dikemukakan oleh Robert Blust berdasarkan kajian
terhadap bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia. Ia juga mengadakan
kajian terhadap proto-bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora,
fauna, dan gejala alam lainnya. Maka kesimpulannya adalah tempat asal
penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan (Blust, 1984-85, 1995).
Pendapat Blust tersebut kemudian mendapat dukungan dari penelitian
arkeologi Peter Bellwood, walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam hal
kronologi munculnya bahasa Austronesia, namun keduanya mempunyai
pendapat yang sama tentang tahapan migrasi Austronesia, sebagai berikut:
- Migrasi petani prasejarah dari Cina ke Taiwan (5000—4000 SM), mereka belum berbahasa Austronesia. Setelah lama menetap barulah mengembangkan bahasa Austronesia.
- Migrasi dari Taiwan ke Filipina (sekitar 4000—3000 SM), mereka mengembangkan bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia.
- Migrasi dari Filipina ke arah selatan dan tenggara (3500 SM—sebelum 2000 SM), menuju ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku utara.
- Migrasi dari Maluku ke arah selatan dan timur (3000 SM atau 2000 SM), mencapai Nusa Tenggara dan pantai Utara Papua Barat. Dalam pada itu orang Austronesia yang telah menghuni Kalimantan sebagian bermigrasi ke arah Jawa dan Sumatera.
- Migrasi dari Papua ke barat (2500 SM) dan Timur (2000 SM atau 1500 SM) menuju Oseania. Austronesia dari Jawa dan Sumatera kemudian ada yang bermigrasi ke Semenanjung Malaysia dan Vietnam pada sekitar 500 SM, pada periode yang hampir sama sebagian orang Austronesia dari Kalimantan ada pula yang berlayar hingga sejauh Madagaskar (Tanudirdjo & Bagyo Prasetyo 2004: 82—84).
Satu teori migrasi Austronesia
lainnya yang juga mendapat perhatian dari para sarjana adalah yang
menyatakan bahwa orang Austronesia tersebut berasal dari kepulauan Asia
Tenggara, lalu menyebar ke berbagai arah. Adalah John Crawfurd yang
pertama kali mempunyai gagasan seperti itu, dalam tulisannya yang
berjudul On the Malayan and Polynesian Languages and Races (1884),
walaupun tanpa bukti yang cukup namun ia telah berkeyakinan bahwa
orang Indonesia tidak berasal dari mana-mana, tetapi merupakan induk
yang menyebar ke mana-mana. Maka pendapat ini kemudian memperoleh
dukungan dari Gorys Keraf (1991) yang menyatakan berdasarkan teori
migrasi bahasa, keadaan geologi zaman purba, dan penyebaran homo sapiens-sapiens yang
sudah menghuni kepulauan Indonesia dan Filipina, ketika masih bersatu
dengan daratan Asia sekitar 15.000 tahun yang lalu. Gorys Keraf
menyatakan:
“Ketika es-es dalam zaman Pleistosen
mulai mencair sehingga air laut perlahan-lahan menggenangi lembah-lembah
dan dataran, kelompok-kelompok homo sapiens-sapiens yang
tersebar luas itu perlahan-lahan mundur ke tempat-tempat yang lebih
tinggi, yang lambat laun membentuk pulau-pulau sekarang ini.”
Terdapat kelompok-kelompok bahasa-bahasa
Austronesia di daratan Asia karena proses yang sama. Ketika daerah
lembah dan dataran rendah yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan, Selat
Malaka, dan Selat Karimata, maka penutur bahasa-bahasa yang berkerabat
itu mundur perlahan-lahan ke tempat yang belum digenangi yang sekarang
menjadi daerah Asia Tenggara dan Timur. Bahwa kemudian terjadi migrasi
lokal atau interinsuler sesudah terbentuknya pulau-pulau dengan
menggunakan alat-alat transportasi sederhana seperti rakit atau dalam
bentuk yang lebih maju berupa perahu-perahu kecil yang disebut wangkang, benaw, berok dan sebagainya, hal itu tidak dapat disangkal.
Karena itu, dengan mempertimbangkan keadaan geografi dunia, khususnya Asia dan kepulauan di sekitarnya, pada zaman Pleistosen dan awal periode Holosen, serta perkembangan-perkembangan primat khususnya dari hominoidae ke hominidae, dari Australopithecus hingga homo sapiens sapiens,
dan mempertimbangkan lagi dalil-dalil migrasi bahasa, maka negeri asal
bangsa dan bahasa-bahasa Austronesia haruslah di wilayah Indonesia dan
Filipina, termasuk laut dan selat di antaranya” (Keraf 1991: 18—19).
Pendapat Gorys Keraf tersebut memang
belum banyak diperhatikan oleh para ahli, akan tetapi apa yang
dikemukakannya dapat diterima secara ilmiah dan empirik. Sebab selama
ini para pakar selalu fokus pada data bahasa, kebudayaan material
(artefak), dan ciri ras manusianya saja, apabila mereka memperbincangkan
diaspora Austronesia. Padahal orang Austronesia itu sudah tentu hidup
di ruang geografi dan lingkungan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan
mereka. Dengan demikian apabila lingkungan alam tempat mereka hidup
juga berubah, maka akan terjadi perpindahan (migrasi) mencari lokasi di
ruang geografi yang lebih aman. Teori Gorys Keraf sejatinya hendak
menyatakan bahwa diaspora Austronesia itu telah terjadi jauh dalam zaman
prasejarah di akhir zaman es, sekitar 11.000 tahun SM, ketika paparan
Sunda di bagian barat Indonesia yang menyatu dengan daratan Asia
Tenggara tenggelam karena air laut naik akibat mencairnya es. Itulah
awal tercerai-berainya masyarakat Austronesia dalam berbagai pulau dan
lokasi di kawasan Asia Tenggara. Di masa kemudian setelah paparan Sunda
tenggelam, bisa saja terjadi migrasi orang-orang Austronesia yang
dilakukan antarpulau dan antardaerah, itulah yang mulai dilakukan pada
sekitar 5000 SM sehingga 500 M.
II
Ketika migrasi telah jarang dilakukan,
dan orang-orang Austronesia telah menetap dengan ajeg di beberapa
wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkan
kebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat
ditafsirkan bahwa antara abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat
bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada kepandaian seni tuang perunggu,
dinamakan Kebudayaan Dong-son. Penamaan itu diberikan atas dasar
kekayaan situs Dong-son dalam beragam artefaknya, semuanya artefak
perunggu yang ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya.
Dong-son sebenarnya nama situs yang berada di daerah Thanh-hoa, di
pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara). Hasil-hasil artefak
perunggu yang bercirikan ornamen Dong-son ditemukan tersebar meluas di
hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei
di Indonesia timur.
Bermacam artefak perunggu yang mempunyai
ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekara dalam berbagai ukuran, moko
(tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau
pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak
perunggu Dong-son adalah kaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa
artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu
menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son (senimannya)
memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 25—26). Kemahiran
seni tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian
ditularkan kepada seluruh seniman sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh
karenanya artefak perunggu Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu
peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Tidak hanya kepandaian dalam seni tuang
perunggu saja yang telah dimiliki oleh orang-orang Austronesia, seorang
ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian
yang mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa
proto-sejarah. Brandes menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan
ataupun kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di awal
tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:
01.Telah dapat membuat figur boneka
02.Mengembangkan seni hias ornamen
03.Mengenal pengecoran logam
04.Melaksanakan perdagangan barter
05.Mengenal instrumen musik
06.Memahami astronomi
07.Menguasai teknik navigasi dan pelayaran
08.Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan
09.Menguasai teknik irigasi
10.Telah mengenal tata masyarakat yang teratur
Pencapaian peradaban tersebut dapat
diperluas lagi berkat kajian-kajian terbaru tentang kebudayaan kuno Asia
Tenggara yang dilakukan oleh G.Coedes. Beberapa pencapaian manusia
Austronesia penghuni Asia Tenggara sebelum masuknya kebudayaan luar
antara lain:
Di bidang kebudayaan materi telah mampu:
a.mengolah sawah, bahkan dalam bentuk terassering dengan teknik irigasi yang cukup maju
b.Mengembangkan peternakan kerbau dan sapi
c.Telah menggunakan peralatan logam
d.Menguasai navigasi secara baik
Pencapaian di bidang sosial
a.Menghargai peranan wanita dan memperhitungkan keturunan berdasarkan garis ibu
b.Mengembangkan organisasi sistem pertanian dengan pengaturan irigasinya
Pencapaian di bidang religi:
a.Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang suci dan keramat
b.Pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship)
c.Mengenal penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong, tempayan, atau sarkopagus.
d.Mempercayai mitologi dalam binary,
kontras antara gunung-laut, gelap-terang, atas-bawah, lelaki-perempuan,
makhluk bersayap, makhluk yang hidup dalam air, dan seterusnya (Hall
1988: 9).
Dalam pada itu kesatuan budaya bangsa
Austronesia di Asia Tenggara lambat laun menjadi memisah, membentuk
jalan sejarahnya sendiri-sendiri. Menurut H.Th.Fischer, terjadinya
bangsa dan aneka suku bangsa di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu:
- Telah ada perbedaan induk bangsa dalam lingkungan orang Austronesia sebelum mereka melakukan migrasi.
- Setelah bermigrasi mereka tinggal di daerah dan pulau-pulau yang berbeda, lingkungan yang tidak seragam, dan kemampuan adaptasi budaya mereka dengan alam setempat.
- Dalam waktu yang cukup lama setelah bermigrasi mereka jarang melakukan komunikasi antara sesamanya (Fischer 1980: 22-25).
Berdasarkan ketiga hal itulah sub-sub
bangsa Austronesia terbentuk, mereka ada ratusan yang tinggal di
kepulauan Indonesia, puluhan di Filipina, Malaysia, dan Myanmar, dan
yang lainnya ada yang menetap di Kamboja, Vietnam, dan Kalimantan Utara.
Sebenarnya terdapat beberapa hal lainnya yang menjadikan bangsa
Austronesia terbagi dalam sub-sub bangsa, yaitu (a) adanya pengaruh
asing yang berbeda-beda memasuki kebudayaan yang mereka usung, dan (b)
adanya penjajahan bangsa-bangsa barat di wilayah Asia Tenggara dengan
karakter dan rentang waktu yang berbeda pula. Demikianlah pada masa yang
sangat kemudian terbentuklah bangsa-bangsa Asia Tenggara yang mempunyai
kebudayaan dengan aneka corak bentuknya, namun apabila ditelusuri
bentuk awalnya niscaya dari bentuk kebudayaan Austronesia yang telah
mengalami akulturasi selama berabad-abad dengan berbagai kebudayaan luar
yang datang.
III
Salah satu sub bangsa Austronesia yang
mulai hidup di Pulau Jawa dalam zaman perundagian mulai tahun 3000 SM
sampai awal tarikh Masehi adalah nenek moyang orang Sunda yang untuk
mudahnya disebut dengan Masyarakat Sunda Kuno Awal. Masyarakat tersebut
yang belum mendapat pengaruh budaya luar (India atau Cina), jadi mereka
masih melaksanakan budaya leluhur, yaitu kebudayaan Austronesia.
Mengikut pada perkembangan waktu, lambat laun masyarakat Austronesia
yang tinggal di Jawa bagian barat mulai membentuk cirinya tersendiri,
yaitu budaya yang berkembang di masa kemudiannya, kebudayaan Sunda.
Sangat mungkin awal berkembangnya Bahasa Sunda kuno yang kemudian
menjadi Basa Sunda kiwari terjadi dalam periode tersebut, ketika masyarakat Austronesia mulai tinggal di bagian barat Pulau Jawa.
Maka dapat ditafsirkan bahwa nenek
moyang orang Sunda tersebut juga telah mengenal 10 kepandaian masyarakat
perundagian, walaupun mungkin ada beberapa butir di antaranya sudah
tidak banyak dilaksanakan lagi. Untuk jelasnya berikut diperbincangkan
butir-butir kepandaian perundagian dalam kehidupan masyarakat Sunda Kuno
Awal sebelum masuknya pengaruh India, jadi sebelum berdirinya
Tarumanagara.
Masyarakat Sunda Kuno Awal atau Sunda
pra-Tarumanagara telah dapat membuat figur manusia atau hewan,
sebagaimana suku-suku bangsa Nusantara lainnya orang Sunda Kuno dalam
masa prasejarah/proto-sejarah telah mampu membuat arca-arca batu yang
menggambarkan nenek moyang. Cukup banyak arca megalitik di Jawa bagian
barat. Dalam hal ini jangan dikelirukan dengan arca Sunda-Pajajaran yang
bercorak megalitik. Pada masa Sunda-Pajajaran juga dibuat arca-arca
yang penggambarannya berbeda dengan arca-arca prasejarah. Arca-arca
demikian disebut “Arca tipe Pajajaran” yang menggambarkan secara
lengkap anggota tubuhnya, mengenakan gelang, kalung, kelat bahu, dan
kain, jadi berbusana arca Klasik, hanya saja penggarapan permukaan
kasar, dan sikap tubuhnya yang statik mirip dengan arca prasejarah.
Arca buatan orang Sunda Kuno Awal
bukanlah arca-arca yang disebut dengan Tipe Pajajaran yang dibuat oleh
orang Sunda Pasca-Tarumanagara, melainkan arca-arca prasejarah yang
sederhana, anggota tubuh tidak digambarkan lengkap, bagian bawah tidak
digarap, dan kesannya masih merupakan batu alami yang dibentuk kasar
menjadi seperti sesosok manusia. Contoh arca demikian banyak tersebar di
beberapa wilayah Jawa bagian barat, seperti halnya yang terdapat
wilayah Majalengka, Kuningan, Sukabumi, Bogor, dan Pandeglang.
Contoh arca dari masayarakat Sunda
Kuno Pra-Tarumanagara adalah yang terdapat di Kabupaten Kuningan, yaitu
arca di situs Sisubur, Cibuntu, Kecamatan Pasawahan. Tinggi arca Sisubur
sekitar 70 cm, terbuat dari batu sedimen, digambarkan tanpa tungkai
bawah, arca ditegakkan di permukaan tanah, bagian wajah dan tangan hanya
ditandai dengan goresan yang tidak terlalu dalam pada permukaan batu.
Tidak ada penggarapan yang lebih rinci lagi, misalnya adanya
atribut-atribut lainnya. Hanya saja arca ini di bagian dadanya
membusung, mungkin yang dimaksudkan adalah arca perempuan (Widyastuti
2003: 74—75).
Contoh lainnya adalah arca yang ditemukan di situs
Danghyang Heuleut, Desa Sanghyang Dengdek, Cisata Pandeglang. Di situs
tersebut selain ditemukan menhir yang tingginya 139 cm, terdapat juga
arca sederhana yang disebut Sanghyang Dengdek. Penduduk menamakannya demikian karena arca sederhana itu sekarang dalam posisi berdiri agak miring (Sunda: dengdek). Arca
terbuat dari batu tinggi dari permukaan tanah 95 cm, keliling bagian
badan 120 cm, dan keliling bagian kepala 20 cm. Tidak digambarkan bagian
kaki pada arca itu, hanya lengan yang dibuat menyatu dengan badan, lalu
terdapat perbedaan badan dengan kepala, karena digambarkan bahu arca,
dan kepalanya yang berbentuk bulatan. Raut wajah sudah tidak jelas lagi,
karena batunya sudah sangat aus (Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Serang 2005: 43).
Masyarakat Sunda Kuno Awal pastinya
telah mengenal teknik mengecor logam, sebab banyak artefak dari logam
yang dijumpai di Jawa bagian barat. Salah satu contohnya adalah
ditemukannya kampak perunggu, gelang, dan arca perunggu seorang pria
bertolak pinggang, tinggi 24, 8 cm di wilayah Bogor (Bernet Kempers
1959: 28, Plate 5—6).
Selain itu di situs Pasir Angin,
Cibungbulang, di kawasan Bogor juga, didapatkan artefak batu bersamaan
dengan temuan artefak logam, antara lain kampak corong, kampak perunggu
candrasa, bandul kalung perunggu, “tongkat” perunggu, kampak
besi, mata tombak besi, dan yang menarik adalah ditemukannya topeng emas
serta lempengan emas tipis yang mungkin dahulu dipergunakan untuk
ritual penguburan (Munandar 2007: 16). Contoh-contoh tersebut kiranya
cukup mewakli bahwa masyarakat Sunda Kuno Tua telah mahir dalam mengenal
dan mengecor logam. Membuat peralatan dari logam bukan pekerjaan yang
mudah, diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan media yang tentunya telah
memadai pada waktu itu. Kemahiran mengecor logam dalam masa
perundagian telah menjadi dasar untuk pengerjaan logam dalam zaman
selanjutnya di era sejarah.
Dalam hal seni hias ornamen,
masyarakat Sunda Kuno Awal telah mengenalnya dengan baik. Ragam hias
tersebut diterakan pada berbagai bentuk gerabah yang antara lain
ditemukan di situs Buni, Bekasi utara. Situs Buni dikenal dalam kajian
arkeologi sebagai situs Protosejarah yang sangat kaya dengan artefak,
diperkirakan berasal dari abad pertama hingga abad ke-2 M. Di situs
tersebut ditemukan perhiasan emas, peralatan besi, kubur dan
kerangkanya, dan juga gerabah lokal atau asing ada yang masih utuh,
namun banyak pula yang tinggal pecahannya saja. Gerabah Buni tidak polos
saja melainkan berbagai bentuk ragam hias terdapat di permukaannya.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
terhadap gerabah Buni, maka ragam hias yang yang telah dikenal oleh
masyarakat Sunda Kuno Awal adalah: (a) deretan tumpal, (b) deretan bentuk S
dalam bingkai garis lengkung, (c) motif duri ikan, (d) deretan
lingkaran kecil, (e) deretan tanda seperti koma, (f) garis-garis yang
membentuk anyaman, (g) garis sejajar saling memotong membentuk motif
belah ketupat, (h) bentuk daunan berbentuk lentik (daun asam Jawa), (i)
bentuk meander, (j) dan bentuk-bentuk asimetris lainnya. Bentuk-bentuk
ragam hias tersebut menjadi dasar perkembangan lebih lanjut dari ornamen
yang dikenal oleh orang Sunda Kuno. Mengenai motif hias Sunda Kuno Awal
agaknya terus bertahan tanpa banyak perubahan dalam masyarakat Kanekes
yang akan diutarakan lebih lanjut pada bagian berikut dalam risalah ini.
Mengenai instrumen musik, hingga sekarang etnik Sunda sangat akrab dengan xylophone.
Angklung dan calung adalah waditra yang khas Sunda, kedua instrumen
tersebut bersama kentongan merupakan sangat mungkin alat musik tua yang
tergolong xylophone. Orang-orang Kanekes yang tidak terjamah
pengaruh luar secara mendalam dan masih mempertahankan tradisinya dari
abad-abad silam, mempunyai alat musik yang dikeramatkan berbentuk
angklung juga. Waditra angklung sangat populer dan tersebar meluas di
Jawa bagian barat, baik di Provinsi Jawa Barat atau pun Banten. Angklung
banyak ragamnya, angklung yang dianggap klasik adalah angklung Buncis, angklung Bungko, angklung Gubrag, dan angklung Baduy Kanekes. Calung adalah waditra xylophone
juga yang menggunakan bambu sebagai penghasil bunyinya. Bentuknya ada
yang dijinjing dan ada pula yang statis diletakkan pada tempat tertentu
seperti halnya gambang (Rosidi 2000: 51—53 dan 142).
Orang Austronesia sebenarnya telah
mengenal waditra dalam bentuk idiophone, yaitu nekara dan moko.
Berdasarkan kajian analogi etnografi dengan etnik yang masih menggunakan
moko, dapat diketahui bahwa waditra itu digunakan untuk tujuan sakral,
dan juga sebagai pusaka atau mas kawin. Selain itu dikenal juga
kentongan yang penggunaannya tersebar di seluruh kawasan Asia Tenggara
hingga masa kini. Instrumen mirip gambang juga dikenal di Madagaskar,
dan beberapa daerah pantai timur Afrika, hal itu menunjukkan luasnya
pengaruh kebudayaan Austronesia. Dalam hal sub Austronesia yang tinggal
di Jawa Bagian barat, yaitu masyarakat Sunda Kuno Awal pra-Tarumanagara,
maka sangat mungkin mereka mengembangkan angklung yang keberadaannya
terus dipertahankan oleh anak keturunannya orang Sunda sekarang,
angklung merupakan pusaka budaya orang Sunda yang dikenal sangat luas
dan populer di berbagai pelosok Tatar Sunda.
Sampai sekarang dalam masyarakat
Sunda masih dikenal pantun, walaupun sudah jarang dipagelarkan. Pantun
sejatinya adalah tuturan lisan yang disampaikan oleh seseorang (juru
pantun) kepada para pendengarnya. Isinya cukup beragam dari kisah
mitologi, sejarah masa silam, pengetahuan, dan juga tentang tradisi
budaya. Dalam hal pantun penyampaian kognisi suatu generasi ke generasi
berikutnya dilakukan secara lisan, hal ini memang memperlihatkan salah
satu pencapaian orang Sunda Kuno Awal yang belum mengenal tulisan.
Pantun adalah salah satu bentuk yang lebih maju dari pada tuturan lisan
yang dahulu telah dikembangkan oleh masyarakat Sunda Pra-Tarumanagara.
Ketika tulisan dari India telah diperkenalkan, tradisi tuturan lisan
yang telah ada itu tetap dipertahankan dan dikembangkan di kalangan
rakyat, maka terbentuklah pantun. Dengan demikian terus hidup
berdampingan dengan tradisi keberaksaraan dalam masa Kerajaan Sunda.
Pada masa itu pantun telah berkembang pesat dengan berbagai kisahnya,
kitab Sang Hyang Siksa Kandang Karesian (awal abad ke-16 M) mencatat beberapa judul pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Tradisi
lisan dalam bentuk pantun tersebut mempunyai akarnya yang panjang sejak
nenek moyang orang Sunda Kuno hidup dalam masa pra-Tarumanagara hingga
sekarang ini masih dipertahankan.
Mengenai perdagangan barter tidak
perlu diragukan lagi keberadaannya, sampai sekarang masyarakat Sunda
yang tinggal di pedalaman, di desa di pelosok-pelosok, dengan mudah
melakukan tukar menukar barang. Misalnya jika seseorang mempunyai hasil
bumi (jagung, umbi-umbian, atau padi) dan orang itu menginginkan barang
lain misalnya bahan mentah material seperti kayu, bambu atau bata, dapat
terjadi tukar-menukar barang tanpa harus menggunakan uang sebagai alat
tukar. Kembali mengambil contoh masyarakat Kanekes terutama yang tinggal
di Tri Tantu, praktek barter tersebut senantiasa bertahan, walaupun mata uang telah dikenal.
Beberapa kepandaian lain misalnya
astronomi, navigasi, dan penataan masyarakat tentunya juga telah dikenal
oleh orang Sunda Kuno pra-Tarumanagara. Orang-orang tua di pedesaan
mendapat warisan pengetahuan tentang ilmu perbintangan praktis untuk
mulai mengerjakan lahan pertanian, menanam, dan panen. Ilmu perbintangan
juga dapat digunakan untuk menandai musim kemarau atau mulainya
penghujan. Navigasi dikembangkan secara tradisional oleh para nelayan
Sunda Kuno hingga sekarang. Para nelayan di pantai selatan Jawa Barat
adalah mereka yang sangat mungkin mewarisi kepandaian navigasi dari masa
kuno yang cukup jauh, sedangkan nelayan yang tinggal di pantai utara
Jawa bagian barat, kebanyakan pendatang dari wilayah pantura Jawa
Tengah, Timur, dan pulau-pulau lainnya.
Panataan masyarakat pasti sudah
berlangsung dengan baik, sebab tidak mungkin institusi kerajaan akan
dapat berkembang di suatu wilayah jika penduduknya sukar diatur. Maka
dapat ditafsirkan bahwa ketika Tarumanagara didirikan masyarakat masa
itu sudah dapat diatur dengan baik, telah tertata dalam
golongan-golongan dan terbuka kepada anasir budaya baru.
IV
Wilayah Jawa bagian barat jauh sebelum
Tarumanagara berdiri telah dihuni oleh masyarakat yang beradab dengan
beberapa kepandaiannya. Dalam kajian para ahli arkeologi dan sejarah
masyarakat tersebut pendukung kebudayaan prasejarah. Berdasarkan kajian
yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa penduduk prasejarah Jawa
bagian barat tersebut adalah mereka yang mendukung kebudayaan
Austronesia, dan bukan berasal dari mana-mana, melainkan penghuni asli
kepulauan Nusantara.
Ketika pengaruh budaya India datang
mereka telah berada dalam zaman protosejarah, penduduk Jawa bagian barat
bersama penduduk sezaman di Asia Tenggara lainnya telah mengenal 10
kepandaian dan ditambah dengan kepandaian lainnya yang juga secara umum
dikenal di masa awal tarikh Masehi. Kemudian nenek moyang orang Sunda
itu ada yang berinteraksi dan menerima anasir baru tersebut, lalu
dibentuklah Kerajaan pertama di Jawa bagian barat, Tarumanagara. Akan
tetapi tidak seluruh penduduk kemudian secara langsung menerima pengaruh
kebudayaan India, tentunya banyak di antara mereka yang terus
melanjutkan tradisi leluhur mereka, mempertahankan kebudayaan
Austronesia yang telah disesuaikan dengan lingkungan alam di Jawa bagian
barat. Tafsiran yang mengemuka adalah bahwa mereka yang mempertahankan
tradisi pra-Tarumanagara tersebut yang bermukim di pedalaman, di daerah
pegunungan, dan daerah berhutan di gunung-gunung Jawa bagian barat.
Tarumanagara pun lalu berdiri sekitar
abad ke-4 M, meninggalkan prasasti-prasastinya yang agaknya hanya
dikeluarkan oleh seorang raja Purnnawarmman. Hingga sekarang belum
dijumpai lagi prasasti dari Tarumanagara yang menyebutkan adanya nama
raja lain, namun berita Cina menyebutkan bahwa kerajaan tersebut masih
mengirimkan utusan-utusannya ke Cina hingga pertengahan abad ke-7 M
(Sumadio 1984: 44). Dengan demikian setidaknya Tarumanagara agaknya
berkembang lebih dari 200 tahun lamanya.
BAGAN I: Perkembangan kebudayaan di Jawa bagian barat
Setelah itu berita tentang Tarumanagara tidak ada lagi, justru yang tampil menurut sumber yang layak dipercaya, yaitu naskah Fragmen Carita Parahyangan,
muncul Kerajaan Sunda dengan raja pertamanya Trarusbawa (Darsa &
Edi S.Ekadjati 2003). Trarusbawa pula yang mendirikan kedaton Sunda di
Pakwan yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Ia
menghuni kedaton tersebut hingga kemudian digantikan oleh Maharaja
Harisdarma (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 188). Dalam naskah Carita Parahyangan
dinyatakan bahwa Rakryan Jambri atau Sanjaya pergi ke barat sampai di
Kerajaan Sunda, diangkat menantu oleh Tohaan di Sunda. Dialah yang
disebut dengan Harisdarma dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan yang agaknya bagian awal dari Carita Parahyangan yang ditemukan lebih belakangan dari Carita Parahyangan.
Dapat ditafsirkan bahwa setelah Tarumanagara runtuh berdirilah banyak
kerajaan kecil di Tatar Sunda, antara lain Sunda yang berkuasa di bagian
barat Tatar Sunda, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Tatar
Sunda bagian timur, antara lain Galuh, Denuh, Surawulan, Rawunglangit,
Mananggul, Tepus dan lain-lain (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 192).
Sanjaya kemudian berhasil mempersatukan
seluruh wilayah Jawa bagian barat bahkan wilayah kuasanya sampai
meliputi Jawa bagian tengah. Sanjaya pula yang mengeluarkan prasasti
Canggal tahun 732 M yang ditulis dengan bahasa Sansekerta, bukan Sunda
Kuno dan bukan pula Jawa Kuno. Agaknya ia menyadari bahwa rakyatnya ada
yang sebagian berbahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno, maka ia memilih bahasa
resmi kaum pendeta brahmana India, yaitu Sansekerta untuk mengukuhkan
bahwa ia raja yang telah memeluk agama Hindu-saiwa. Nama kerajaannya
yang disebut Mataram sangat mungkin berasal dari dua kata, yaitu parama + taruma, kemudian diambil kata ma + taruma, lalu menjadi matarum dan akhirnya menjelma menjadi Mataram. Raja Sanjaya agaknya memang mengakui dan melanjutkan kerajaan Tarumanagara yang pernah berdiri di masa sebelumnya, parama + taruma dapat
diartikan sebagai Taruma yang bersifat tertinggi, unggul, atas, puncak,
dan seterusnya yang menunjukkan paling puncak atau paling utama.
Mataram adalah penerus Tarumanagara, namun tidak hanya sebagai penerus
melainkan juga Kerajaan Mataram harus lebih unggul dari kerajaan
Tarumanagara. Demikian kiranya harapan para pendiri Mataram dengan
memilih nama itu untuk kerajaan yang baru berkembang di Pulau Jawa
bagian barat dan tengah sekitar pertengahan abad ke-8 M.
Apabila keadaan Tatar Sunda
pasca-Tarumanagara dapat diterangkan secara agak jelas, walupun belum
jelas benar, hal lain yang menarik untuk diperbincangkan adalah gambaran
masyarakat Sunda Kuno pra-Tarumanagara atau masyarakat Sunda dalam era
proto-sejarah. Masa itu orang Sunda telah mengenal peradaban, namun yang
belum dikenal adalah 3 anasir dari budaya India, yaitu aksara Pallawa,
agama Hindu-Buddha, dan sistem penghitungan tahun (kalender Saka).
Apabila gambaran peradaban Sunda proto-sejarah tersebut disesuaikan
dengan kehidupan tradisi orang Sunda secara hati-hati, maka akan
ditemukan pandanan yang luar biasa miripnya. Kehidupan masyarakat Sunda
Kuno proto-sejarah yang telah mengenal 10 kepandaian, memuliakan leluhur
dan tradisinya, menghormati tempat-tempat tinggi (puncak bukit, lereng,
gunung), menggunakan peralatan logam, mengenal pembagian secara binary (konsep pembagian dua), dan sebagainya dapat dijumpai dalam masyarakat Kanekes sampai sekarang.
Dalam kehidupan masyarakat Kanekes,
10 kepandaian yang dimiliki oleh orang-orang Austronesia dalam zaman
proto-sejarah tetap dipertahankan hingga sekarang. Mungkin kepandaian
navigasi kurang dikembangkan lagi setelah mereka bermukim lama di
daerah pedalaman, akan tetapi pengetahuan tentang seluk beluk sungai,
anak sungai, arus sungai, lubuk di sungai, dan mencari dangkal atau
dalamnya sungai untuk diseberangi dikenal oleh orang Kanekes secara
baik. Dalam pada itu tentang penataan masyarakat yang teratur jelas
tergambarkan dalam masayarakat, dengan adanya Telu Tantu yang meliputi
puun dari ketiga permukiman mereka. Puun Cikeusik adalah Puun rama, Puun Cikartawana adalah Puun resi, dan Puun Cibeo adalah Puun Ponggawa
(Danasasmita & Anis Djatisunda 1986: 12). Itulah penataan
masyarakat asli Kanekes, bahwa mereka mengenal 3 pemimpin dalam
masyarakatnya, yaitu
- Rama adalah istilah asli Jawa/Sunda Kuno yang bukan dari Sansekerta artinya pemimpin wilayah tertentu, pemimpin yang langsung berurusan dengan masyarakat.
- Resi adalah istilah dari bahasa Sansekerta rsi, yang artinya orang-orang suci karena tekun bertapa mendekatkan diri kepada dewa-dewa. Dalam masyarakat Kanekes Resi dapat berarti orang yang dituakan karena pengetahuan spiritualnya yang tinggi.
- Ponggawa dari kata Sansekerta punggawa arti sebenarnya pemimpin atau ketua, kerapkali istilah ponggawa mengacu kepada pemimpin kemiliteran, komandan militer atau pengawal keamanan.
Akan halnya pembagian 3 pimpinan
dalam masyarakat menjadi pemimpin wilayah, pemimpin spiritual, dan
pemimpin bidang keamanan tidak pernah dijumpai dalam kebudayaan Jawa
Kuno manapun, sejak Mataram kuno hingga Majapahit, juga tidak pernah
dijumpai di lingkungan kebudayaan Hindu-Bali. Apabila ditelusuri hingga
kebudayaan India, maka pembagian 3 pimpinan masyarakat tersebut tiada
pernah dijumpai juga. Maka dapat ditafsirkan bahwa aslinya pembagian 3
pimpinan tersebut adalah temuan masyarakat Sunda masa proto-sejarah,
kemudian ketika anasir budaya India datang, istilah-istilah dalam
penyebutannya diganti dengan kata Sansekerta, kecuali kata rama yang tetap bertahan.
Ketika Kerajaan Sunda berkembang
pembagian 3 pimpinan dalam masyarakat tetap dikenal sebagaimana yang
diuraikan dalam Kropak 632 (Amanat Galunggung) yang berbunyi: “Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (“dunia
bimbingan berada di tangan sang rama, dunia kesejahteraan berada di
tangan sang resi, dunia pemerintahan berada di tangan sang raja)
(Danasasmita & Anis Djatisunda 1986: 13). Hal itu jelas merupakan
pengembangan cakupan tugas dari para pimpinan masyarakat Sunda Kuno
ketika pengaruh India telah masuk.
Sampai sekarang masyarakat Kanekes mengenal pembagian binary, ada urang Tantu (Baduy jero) dan ada urang Panamping (Baduy luar), ada warna putih untuk urang Tantu dan ada warna hitam/biru tua untuk urang Panamping, ada huma puun ada pula huma serang
dan seterusnya. Jika masyarakat Austronesia mengenal kebudayaan
perunggu Dong-son dengan menghargai benda-benda perunggu, seperti
nekara, moko, kapak dan bejana perunggu, masyarakat Kanekes juga
menghargai benda peralatan rumah tangga yang terbuat dari tembaga,
misalnya dandang (seeng), teko, dan lainnya. Konon dalam
masyarakat Kanekes orang yang berada dan berhasil dalam panenan padinya,
dapat diketahui dari jumlah dandang yang dimilikinya. Dandang dapat
dijadikan tolok ukur sepintas perihal “kekayaan” seorang waraga
Kanekes. Bahkan di beberapa tempat di Tatar Sunda masih ada tradisi
seni “Parebut Seeng” yang sebenarnya sarat dengan makna. Seeng dapat diartikan sebagai benda yang dihormati dengan berbagai caranya oleh karena itu harus diperebutkan, seeng adalah benda untuk memasak nasi, bahan makanan utama maka patut dimuliakan, seeng juga merupakan simbol berkat dari para karuhun karena dalam pembuatannya diperlukan kemahiran khusus dari para pande.
Berdasarkan data yang masih ditemukan
dalam masyarakat Kanekes, maka dapat ditafsirkan bahwa orang Kanekes
yang sangat mempertahankan adat/tradisi leluhur adalah keturunan dari
masyarakat Sunda Kuno pra-Tarumanagara ketika mereka masih mengembangkan
kebudayaan Austronesianya. Secara hipotetis dapat dikemukakan bahwa
sebelum pengaruh kebudayaan India datang ke Jawa bagian barat,
masyarakat masa itu tentunya mengembangkan kebudayaan Austronesia yang
dikenal meluas di wilayah Asia Tenggara. Sekitar abad ke-3—4 diterimalah
anasir budaya India oleh masyarakat Sunda Kuno Awal tersebut, lalu
sebagiannya ada yang beralih untuk menerima agama dari budaya India.
Sejatinya agama yang dikembangkan oleh Purnnawarmman di Kerajaan
Tarumanagara adalah Weda-brahmana, bukanlah agama Hindu.; Hindu-saiwa
baru berkembang dalam masa Mataram sesuai dengan berita Prasasti Canggal
(732 M) yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Selanjutnya ecara
berangsur-angsur masyarakat mulai mengenal kebudayaan India, setelah
Tarumanagara runtuh, kemudian disusul dengan tumbuh kembangnya Kerajaan
Sunda dan Galuh. Walaupun masa itu telah banyak anasir kebudayaan India
yang diterima oleh masyarakat, akan tetapi dapat diketahui bahwa
masyarakat Sunda Kuno zaman Sunda, Galuh, dan Pakwan-Pajajaran tidak
sepenuhnya menerima agama Hindu-Buddha. Banyak kajian yang telah
dilakukan menyimpulkan bahwa agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Sunda
zaman Galuh dan Pakwan Pajajaran hanyalah penutup bagian luar saja,
akan tetapi inti di dalamnya masih melanjutkan tradisi pemujaan leluhur
yang diseru dengan Hyang.
Dalam pada itu terdapat masyarakat
yang tinggal di pedalaman Jawa bagian barat, di lokasi yang jauh di
pelosok pegunungan, di balik bukit-bukit yang jarang dikunjungi orang
luar, yang tetap mempertahankan tradisi kebudayaan Austronesianya.
Merekalah leluhur masyarakat Kanekes. Maka sebenarnya masyarakat Kanekes
dewasa ini adalah keturunan dari orang Kanekes kuno yang telah ada di
lokasi tersebut sebelum Kerajaan Tarumanagara berdiri. Ketika kerajaan
demi kerajaan silih berganti berkembang dan runtuh, mereka tetap
mempertahankan adat tradisi leluhurnya hingga sekarang.
Ketika penduduk lainnya di Tatar
Sunda menerima pengaruh budaya India baik dalam masa Tarumanagara
ataupun kemudian dalam era Kerajaan Sunda, orang Kanekes hanya menerima
sedikit saja pengaruh tersebut. Begitupun ketika agama Islam mulai
berkembang hingga sekarang, pengaruh itu pun diterima sedikit pula.
Mereka tetap mempertahankan sebagian besar tradisi dari karuhunnya yang sejatinya adalah warisan dari kebudayaan Austronesia purba.
Permasalahan yang menarik adalah
apabila keberadaan orang Kanekes dihubungkan dengan pandangan dari Gorys
Keraf, bahwa bangsa Austronesia purba tersebut menyebar ke berbagai
arah dari tempat kelahirannya di kepulauan Nusantara ketika masih
menyatu dengan daratan Asia Tenggara. Tempat asal yang asli dari orang
Austronesia tersebut tenggelam bersamaan dengan berakhirnya zaman es,
hal inilah yang akhir-akhir ini dirujukan dengan peristiwa tenggelamnya
Atlantis. Pada akhirnya muncul pertanyaan yang menunggu jawabnya lebih
lanjut melalui penelitian-penelitian mendalam di masa mendatang, jika
demikian kebudayaan orang Kanekes tersebut sejatinya mewarisi kebudayaan
purba Austronesia yang telah tenggelam itu? (ed.ays)
Demikianlah penjelasan Dr. Agus Aris Munandar, ttg sejarah awla sunda dan pengaruh India (hinduisme).
Sundaland sebagai awal sejarah Perabadaban Umat Manusia
Posisi strategis dan potensi peran
yang terpendam dalam kebudayaan serta peradaban Sunda, saat ini semakin
penting mengingat bahwa Era Globalisasi saat ini telah menggiring banyak
bangsa dan kelompok warga dunia untuk menerima begitu saja nilai-nilai
pandangan dunia dan budaya serta gaya hidup dari negara-bangsa pemenang
Perang Dunia II (Barat: Amerika & Eropa) yang ditunjang oleh
perkembangan sains dan teknologi.
Namun kemilau kemajuan material dan
kesejahteraan ekonomi yang dijanjikan oleh peradaban moderen Barat,
ternyata semakin terbukti rapuh dan mengabaikan kesejahteraan bersama
lahir dan batin, serta melukai keadilan sosial. Gerakan massal protes
sosial “Occupy Wall Street” dan “99% fight to 1 %”, [6]
yang saat ini semakin menggelora di seantero kota-kota besar di Amerika
dan Eropa, serta revolusi di beberapa negera Timur Tengah dan Afrika,
menjadi bukti kepalsuan dan kegagalan filsafat ideologi
materialisme-kapitalisme-individualisme yang sekular dan antrophosentrik
bahkan anti Tuhan YME dan anti tradisi agama-agama dan budaya lokal.
Krisis multi-dimensional
(ipoleksosbudhankamnas) yang diakibatkan oleh efek negatif filsafat
Barat Materialisme-Moderenisme itu, akhirnya mulai menyadarkan minoritas
cendikiawan dan tokoh Barat, untuk berpaling dan menoleh kepada warisan
kearifan lokal Timur dan agama-agama Timur. Bahkan, sebagai suatu
contoh, Prof.Dr. George Mc. Lean, seorang akademisi filsafat dari
Chatolik Washington University USA, pada tahun 2009, pernah sengaja
berusaha keras membawa rombongan para pemikir dari Barat dan Asia, untuk
bekerja sama dengan para ilmuwan dan sarjana filsafat-budaya di
Indonesia (saya juga terlibat di alam upaya ini) mengali kearifan Timur
Nusantara dengan menyelengarakan National Research Seminars di 10
Universitas di Pulau Jawa tentang “Philosophy Emerging from Culture”[7].
Sebagai salah satu unsur terbesar
penyusun Budaya Nusantara, Sejarah & Budaya Sunda mendapat porsi
perhatian yang penting dari para sarjana dan cendikiawan nasional dan
dunia. Negeri Indonesia, pada dekade belakangan ini menjadi perhatian
dunia, antara lain karena publikasi penelitian beberapa sarjana tingkat
dunia semisal Prof.Dr. Arisyio Nunes Dos Santos yang mempublikasikan
hasil penelitiannya selama 30 tahun dan menulis buku berjudul: Atlantis, The Lost Continent Finnally Found, The Definitive Location of Plato’s Lost Civilization, yang terbit tahun 2005, (terjemahan
Indonesianya diterbitkan oleh Ufuk Jakarta tahun 2010, berjudul yang
sama, dengan tambahan anak judul: “Indonesia ternyata Tempat Lahir
Peradaban Dunia.”
Indonesia ternyata Tempat Lahir dan Sumber Peradaban Dunia.
Teori dan Hipotesis Prof. Santos yang
sangat kontroversial dan menyentak kesadaran publik dunia itu tak urung
juga menyentak kesadaran sebagian rakyat Indonesia, yang selama ini
sebagian besarnya seperti terjangkiti penyakit mental rendah diri dan
kurang percaya diri bahkan “tidak tahu diri.” Padahal ternyata Indonesia
bukanlah negara pinggiran, terkebelakang dan pariah. Ternyata Indonesia
memiliki warisan sejarah peradaban kuno yang unggul dan cemerlang.
Sentakan kesadaran itu bertambah lagi frekuensinya setelah Prof.Dr. Stephen James Oppenheimer, dokter ahli Human Genom
(Genetika & DNA) dari Oxford University, London, Inggris,
mempublikasikan hasil penelitian DNA-nya selama 20 tahun lebih di
Indonesia & Asia Tenggara serta Papua Nugini.
Buku Oppenheimer berjudul: Eden in The East, The Drowned Continent in South East Asia, menyimpulan teorinya bahwa Asia Tenggara atau tepatnya Paparan Benua Sunda (Sunda Land) adalah lokasi “Syurga Aden” (Eden)-nya
keluarga “Manusia Pertama“ Nabi Adam as. & Siti Hawa, tempat
lahirnya peradaban umat manusia sedunia, pada kurun waktu 80.000 – 6.000
tahun yang lalu. Induk Peradaban di Nusantara yang unggul itu menjadi
inspirator yang melahirkan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti
Sumeria, Mohenjodaro-Harrapa-India, Mesir, Indian Maya & Aztek di
benua Amerika Selatan, Yunani dan Eropa serta Persia. Namun kemudian
Induk Peradaban di Nusantara itu musnah terkena bencana banjir besar
kolosal global 3 kali pada sekitar 12.000 – 6.000 tahun yang lalu, yang
salah satunya, menurut Oppenheimer terkait dengan legenda/mitos banjir
besar Nabi Nuh as. Mitos dan legenda banjir besar itu ternyata ada
(banyak yang mirip) dan hidup ceritanya di beberapa sejarah peradaban
besar lainnya, seperti Sumeria, India, Mesir, Yunani, Eropa dan penduduk
asli Amerika (indian Maya & Aztek, dll.) yang terekam pada
kitab-kitab /inskripsi sucinya, prasasti dan artefak tinggalan budaya
mereka.
Prof. Santos sampai pada kesimpulan
peenelitiannya bahwa Peradaban Atlantis yang hilang, yang diceritakan
Plato (427-347 SM) dalam bukunya Critias dan Timeaus, itu, dia temukan tenyata berlokasi di Nusantara/Indonesia (Sunda Land).
Kesimpulan atau teorinya ini begitu diyakini oleh Santos dan para
pengikutnya, karena detail-detail 32 ciri geografis-ekologis dan
ciri-ciri sosio-antropologis-budaya yang diceritakan oleh Plato itu,
100% terpenuhi di Nusantara (Sunda Land), berbeda dengan 10
lokasi lainnya yang menjadi objek studi banding Santos, seperti: Pulau
Thera/Creta di Yunani, Inca di Peru, Indian Maya di Mexico, Pulau
tenggelam di Samudra Atlantik, Benua Antartika, Skandinavia di Laut
Utara, Troy (Hisarlik), Celtiberia, Afria Barat Daya (Selat
Giblartar/Spanyol) danTartasos, yang sangat kecil presentasi keberadaan
ciri-ciri tersebut. Santos juga banyak mendapat petunjuk tentang lokasi
Atlantis tersbut dari berbagai mitos, legenda dan informasi kitab-kitab
suci Hindu-Budha (India), inskripsi di situs arkeologis Mesir, Sumeria,
dll.
Temuan-temua ilmiah dan historis dari
kedua sarjana kelas dunia tersebut, semakin meyakinkan lagi, karena
kemudian, banyak sarjana, sejarawan, budayawan-filosof dan peneliti lain
yang menemukan banyak fakta dan bukti-bukti lain yang memperkuat
teorinya Santos maupun Oppenheimer, baik dari dalam negeri Indonesia
sendiri maupun dari luar negeri. Dari University of Canterbury,
Christchurch, New Zealand, Dr. Edwina Palmer menemukan banyak bukti
bahwa ternyata bangsa Jepang itu berasal dari Sundaland. Dia menulis 2
artikel ilmiah hasil penelitiannya yang berjudul: “Out of Sunda? Provenance of the Jomom Japanese” dan “Out of Sundaland: The Provenance of Selected Japanese Myths”. [8] Begitu
pula, ada para peneliti dari Korea yang yakin bahwa nenek moyang bangsa
Korea berasal dari lembah Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan,
sebagaimana yang dikatakan oleh arkeolog Indonesia yang bergabung dengan
para peneliti dari Korea tersebut: Dr. Retno Purwanti, dari Balai
Arkeologi Palembang.[9]
Bahkan Oppenheimer pun dengan tak ragu-ragu mengatakan dalam
wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris edisi 8 Febuary
2011, bahwa “Southeast Asia is The Source of Western Civilization”.
Dari dalam negeri, sampai kini telah
bermunculan kelompok swadaya masyarakat dan para aktifis pencinta dan
peneliti sejarah Peradaban Nusantara dan budaya etnis Nusantara, yang
kemudian menemukan beberapa petunjuk dari berbagai situs purbakala yang
kemungkinan besar terkait dengan sejarah Induk Peradaban di Nusantara
kuno, yang bisa membuktikan keberadaan peradaban Lemuria maupun Atlantis
di Nusantara. Misalnya kelompok Turangga Seta (TS) atau Greget
Nuswantoro (GN), yang mengklaim menemukan petunjuk tersebut di relief
dan bangunan Candi Cetho & Candi Sukuh di Gunung Lawu, Surakarta;
Candi Penataran di Blitar, lalu mempublikasikan lewat berbagai media.
Dari petunjuk itu TS/GN lalu menemukan keberadaan bukit yang diduga
Piramida yang ditimbun di Bukit Lalakon, Soreang-Cililin, Bandung, Juga
Bukit Piramida Sadahurip di desa Pangatikan, Sukawening Garut.
Penemuan dan penelitian TS itu kemudian
ditindaklanjuti oleh beberapa kelompok peneliti swasta/LSM seperti Grup
Atlantis Indonesia dan Great Pandora Nuswantara (di mana saya aktif
sebagai pembinanya), bahkan juga oleh Lembaga semi pemerintah, seperti
Team Survey Penelitian Bencana Katastropik Purba dari Staf Khusus
Kepresidenan RI (SBY), yang dipimpin oleh Andi Arif. Temuan-temuan Team
pimpinan Andi Arif ini, bahkan lebih spektakuler lagi, karena didukung
oleh biaya yang cukup, peralatan teknologi dan para ahli yang kompeten
yang dihimpunnya.[10]
Team Andi Arif ini mengumumkan telah menemukan lagi 3 Piramida atau
Candi Punden Berundak di Garut, dan telah menemukan beberapa situs yang
diduga Piramida Klotok di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, serta situs
bekas kota tenggelam di Laut Selatan Provinsi Banten (berita tentang hal
ini dapat dilihat di Blog Bayt al-Hikmah Institute atau Blog Atlantis
Sunda yang saya kelola), atau di berbagai media online lainnya. Saat
ini, mulai bulan november 2012, penelitian terhadap Situs Piramidal
Gunung Padang Cianjur, mulai digarap oleh Puslit Arkenas Indonesia.
Berbagai kelompok pegiat dan peneliti
sejarah budaya dan Peradaban Nusantara Kuno ini, pun tumbuh semakin
banyak, dan semakin aktif kegiatannya. Termasuk Kelompok peneliti dari
Australia yang dipimpin oleh Hans Berekoven dengan Kapal beradar sonar
bawah laut bernama Southern Sun, Atlantis Sunda Archaelogical Research Project
yang telah berusaha mengajak LIPI dan Bakorsurtanal untuk meneliti
sisa-sisa keberadaan Atlantis/lemuria di Perairan Laut Jawa dan
sekitarnya.
Temuan Jejak Sejarah Para Nabi Allah di Nusantara dan Agama-agama Dunia.
Dari sisi lain, yaitu dimensi kajian
sejarah filsafat, ilmu kebahasaan dan sejarah agama-agama, saya sendiri
(ahmad Y. Samantho) telah menemukan banyak sumber informasi yang
memperkuat keyakinan bahwa Peradaban Atlantis dan Lemuria (yang lebih
dahulu eksis) di Nusantara dan wilayah sekitarnya {dari
Madagaskar-pantai Afrika Timur, sampai ke Pulau Easter/Rapanui di
Samudra Pasifik Timur, Dari New Zealand di selatan sampai Hawai (Hawa Iki/Jawa Iki)
di Utara Pasifik}. Peradaban Atlantis dan Lemuria itu identik atau
paralel dengan sebaran ras dan bahasa Austronesia, sebagaimana yang
diteliti oleh Prof.Dr. Sangkot Marzuki, direktur lembaga Eikjman
Institute, bersama sekitar 98 ilmuwan Asia lainnya yang bergabung dalam
the Pan-Asia Single Nucleotide Polymorphism Consortium under the
Auspices of The Human Genome Organization (Mapping Human Genetic
Dicersity in Asia).
Peradaban Austronesia atau Sunda Land,
atau Lemuria dan Atlantis, atau Kerajaan Rama & Alengkapura (?) di
Nusantara, itu saya temukan (hipotesisnya) sebagai tempat persemaian
awal peradaban umat manusia (The cradle of Civilization) dan
tempat lahir agama-agama dunia yang terkait dengan sejarah para Rasul
Allah SWT, sejak Nabi Adam as, Nabi Syist, Idris as (Hermes
Trimegistus), Nabi Nuh as, sampai Nabi Ibrahim as (Abraham/Brahman).
Kesamaan inti ajaran agama Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu, Budha, Yahudi,
Kristen dan Islam. Bahkan ada temuan informasi yang mungkin masih sulit
diterima oleh kebanyakan umat Islam awam, bahwa ternyata, Agama Sunda
Wiwitan, Kejawen, atau Kaharingan dari Kalimantan, serta Hindu, Budha,
Taoisme itu pada awalnya berkarakter Tauhid (Monotheis) sebagaimana yang
dimiliki agama terakhir: Islam. Ini misalnya terlihat pada tulisan Dr.
Zakir Abdul Karim Naik: Kesamaan antara Hindu dan Islam[11], Juga hal ini saya tulis dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara di Bab 11 Warisan Filosofis dan Spiritual Atlantis: Konteks Keindonesia (p.339-356), dan Bab 12: Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban: Sebuah Perspektif Islam
(p.357-468).
Ini semakin memperkuat landasan dan latar belakang kenapa
muncul motto “Bhineka Tunggal Ika” dalam lambang negara kita Garuda
Pancasila. Dalam sumber aslinya motto Bhineka Tunggal Ika itu berlanjut
dengan kalimat: Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang artinya: “Tak ada Kebenaran (al-Haqq) yang mendua.”
Peradaban Agama Sunda Wiwitan di Sekitar Lokasi Gunung (Supervolcano) Sunda Purba hingga Krakatoa
Penemuan fosil dan artefak
tahun-tahun terakhir ini disekitar Gua Pawon sampai Gunung Padang
(Kab Bandung Barat sampai Cianjur) memang cukup mengejutkan. Ada
sejumlah fosil mammoth dan sejumlah peninggalan dari jaman megalitikum.
Sejumlah peneliti dari IAGI dan Wanadri yang setia menyusuri DAS Citarum
menjumpai beberapa situs seperti di bawah ini:
Situs Desa Gunung Padang,
di Campaka Cianjur
Gunung Sunda Purba sendiri pernah meletus
serta menjadi tiga gunung anakan Gn Burangrang, Gn Tangkubanperahu dan
Gn Bukit Tunggul. Puncaknya ada di atas Gn Tangkubanperahu dengan
perkiraan ketinggina sampai 4.000 mdpl. Konon letusannya membuka
Sanghyang Tikoro, sehingga Danau Purba Bandung menjadi daratan.
Nama Gn. Sunda Purba pun adalah bahasa
lokal yang sama dengan penulisan geologist jaman pertengahan yang
memperkirakan Sundaland (Paparan Sunda) berdiri di atas Sunda Plate
(Lempeng Sunda tektonis). Douwess Dekker lah yang merubah nama Sundaland
menjadi Nusantara, sehingga orang Malaysia pun sekarang merasa menjadi
orang Nusantara. Bahkan mereka merasa sebagai sebuah kekaisaran (lebih
tinggi darikerajaan dan negara) dengan nama Kekaisaran Sunda Nusantara,
berkedudukan di Kuala Lumpur.
Penemuan-penemuan baru piramida di
Indonesia bahkan cukup menakutkan bagi kelompok tertentu yang seolah
akan mengembalikan keberadaan agama Sunda Wiwitan. Ini pendapat-pendapat
dari masing-masing sumber, bukan saya, dan mohon maaf, hanya sekedar
sharing bacaan.
Orang Pasundan merasa Sunda bukanlah
hanya etnis rakyat di Jawa Barat melainkan orang-orang se-Paparan Sunda
yang berkumpul di pusat peradaban (Luckky Hendrawan). Agama yang
dianutnya pun adalah Sunda Wiwitan. Beberapa penganut Kejawen mengakui
Sunda Wiwitan sebagai sumber “ke-jawa-an”, di mana agama Sunda yang
monotheisme adalah ajaran “Islam dari Brahma” (Abhram menurut Taurat,
Abraham menurut Injil dan Ibrahim menurut Quran), serta ajaran-ajaran
sebelum Brahma (mungkin ajaran Islam sejak Nabi Adam as), di mana ajaran
yang diusung adalah garis Habil dengan musuh ajaran Qabil.
Gunung Krakatoa berkali-kali meletus
dahsyat (dan diduga menjadi salah satu penyebab bencana besar katastopik
yang memusnahkan peradaban Atlantis Nusantara dengan banjir dan Gempa
serta Letusan Vulkanik raksasa menurut Santos, dan lokasinya dekat
dengan suku Kanekes Banten (Baduy), yang sangat mempertahankan Agama
Sunda Wiwitan dan mengaku bahwa Nabi panutan mereka adalah langsung Nabi
Adam as.
Sunda Wiwitan yang berkembang dan disempurnakan oleh ajaran Al-Quran menjadi agama yang menurut faham Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti
yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan-nya. Perspektif ajaran Kejawen
berdimensi tasawuf percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Budha
yang dianggap orang kurang menghargai aspek fiqh syariat dengan
hukum-hukum agama Islam, alasannya adalah bahwa penyebar agama Islam
pada waktu itu lebih mementingkan Islam diterima dahulu walau harus
menyesuaikan dengan adat Jawa. Kejawen sendiri bukanlah berasal dari
kata Jawa, melainkan dari “jawi” atau bermakna kesederhanaan. Tetapi orang Jawa sudah menggunakan atau memakai gelar “Sayidina Panatagama”, “Khalifatullah”, “Ajaran agama ageming aji” (perhiasan) untuk raja-raja Jawa, karena raja adalah dianggap wakil Allah di dunia.
Kitab Mahabarata dan Ramayana serta
takwil Al-Qur’an merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang
mengandung ajaran moral dan karakter prilaku tuntunan hidup dengan pola
pemahaman kajian pikiran Jawa yang lebih terfokus pada aspek indra batin
dan prilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari
pendekatan (taqorub) kepada Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) dan analisanya bersifat batiniah.
Sunda Wiwitan di Jawa Barat menjadi agama Sunda yang cenderung melengkapinya dengan ajaran Al-Quran al-Karim dalam bentuk tajalli (manifestasi Ilahiyah) dan Nga-Hyang (Fana Fillah),
mirip dengan kejawen, tetapi tetap melaksanakan syariat secara hakiki.
Penyatuan diri dengan Allah secara fisikal adalah tidak mungkin karena
manusia berbeda zat dengan Allah, tetapi manusia harus mampu mencapai
dimensi maqomat ketuhanan sesuai kemampuan akalnya. Maka secara tasawuf,
tajalli adalah menyatukan diri kepada penampakan Diri Tuhan yang
bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini
berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya
“menyatakan/mewujudkan diri”. Tidak mengherankan, pada 1576M, Raja Sunda
Galuh (atau dikenal dengan raja Pakuan Pajajaran karena berkantor di
Pa-kuwu-an (Pakuan)yang berjajar, yaitu Prabu Siliwangi (Sribaduga
Maharaja, karena raja adalah mandataris dari board of director raja-raja dari trias politica pemerintahan Paparan Sunda ala kearifan lokal: Tri Tantu di Buana )
lebih suka mengalah dan menghilang (raib atau tilem/fana/moksa)
ketimbang harus berperang sesama bangsanya yang dikepalai oleh
panglima-panglima perang asal Gujarat dan China yang menjadi wakil
Kerajaan Demak, Cirebon, Bali dan Banten. Hal yang sama juga terjadi
kepada raja majapahit terakhir: Prabu Brawijaya V, yang memilih moksa di
Gunung Lawu (lokasi Candi Cetho dan Sukuh) ketimbang terus
mempertahankan kekuasaan politiknya yang diperebutkan kalangan istananya
dan keluarganya.
Oleh sebagian kalangan Islam kaum santri Indonesia berwarna Islam Saudi Arabia yang literal-harfiyah (Wahabiyin),
konsep penyatuan manusia dengan Tuhan dalam Kejawen dan agama Sunda
dianggap mengarah kepada penyekutuan Tuhan atau prilaku Syirik. Anehnya
banyak ahli-ahli spiritual Islam Timur Tengah (juga Persia) bahkan
banyak belajar kepada agama Islam Sunda ini. Apakah karena pola pikir
tasawuf Jawa/Sunda/Nusantara pada waktu itu sudah lebih maju ketimbang
tasawuf Arab? Di mana Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakan
tingkat-tingkat di atas syariat seperti tarekat, hakekat dan marifat.
Kemudian untuk menjadi marifatullah seseorang harus mengikuti sunnah
Rasul dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fatonah? Memang ajaran
tasawuf Islam (Islamic Mysticism) itu lebih leluasa berkembang di kalangan para pengkikut Ahlu Bayt Nabi (baik
dari kalangan Syiah pada khususnya maupun kalangan Sunni pada umumnya,
Di pulau Jawa (Jawa Barat & Jawa Timur), kita mengenal tokoh Syekh
Siti Jenar yang mengajarkan kesederhanaan hidup, ketulusan-kejujuran dan
penyatuan diri dengan kehendak Tuhan YME (Manunggaling Kawulo lan Gusti) serta “Hamemayu Hayuning Bawono”(jawa) /”Ngertakeun Bhumi Lamda”(Sunda) / Rahmatan lil Alamin, dalam bahasa al-Qur’an.
Dari sudut pandang Tasawuf, gambar
relief-relief dan pesan moral di Candi Borobudur yang merupakan
peninggalan kerajaan Budha, itu pun ternyata dapat dipahami dan sangat
sejalan dengan pola suluk (perjalanan) dan pembinaan spiritual dalam
tasawuf, menuju kesempurnaan tauhid dan makrifatullah. Begitu juga di
Jawa barat telah diketemukan Komplek Candi Jiwa dan Blandongan di Batu
Jaya Karawang yang merupakan peninggalan Kerajan Budha era Taruma
Negara, dan kerajaan Sunda sebelumnya.
Masih banyak warisan ajaran mulia
dari para leluhur nusantara, khususnya dari Sunda Wiwitan maupun Kejawen
serta masukan dari berbagai agama dan tradisi suci yang pernah tumbuh
dan masih hidup di Nusantara ini yang masih sangat relevan dan perlu
digali lebih dalam lagi serta dididikan kepada para putra bangsa
Nusantara karena akan bermanfaat bagi kebangkitan spiritual dunia di
millenium ketiga ini, di mana Nusantara pada umumnya dan urang Bogor
(Sunda) pada khususnya, akan berperan penting dan strategis dalam proses
maha hebat di akhir zaman ini, sebagaimana diramalkan dalam Uga Wangsit
Prabu Siliwangi, atau ramalan Pandita Ronggowarsito dan Ramalan Jangka
Jaya Baya tentang Satrio Piningit Sinihan Wahyu yang akan menjadi atau
menegakkan Sistem Pemerintahan Ratu Adil di akhir zaman ini, serta
ramalan atau prediksi para pujangga waskita lainnya. Dalam hal ini, saya
rasa para budayawan, sesepuh dan para cendikiawan ilmuwan lain yang
hadir di sini mungkin lebih tahu dan lebih paham daripada saya yang baru
belajar ini.
Salah satu tokoh Budaya Sunda, yang
sudah meninggalkan kita belum lama ini, yaitu almarhum Abah Hidayat
Suryalaga, dari Bandung, sangat berjasa kepada kesundaan dan pernah
memberikan beberapa copy bukunya yang belum diterbitkan kepada saya yang
berjudul: Rawayan Jati Kasundaan, dan Falsafah Sunda. Begitu
juga Almarhum Anis Jati Sunda. Keduanya masih sempat penulis temui di
Konferensi Internasional Budaya Sunda Kuno: Alam, Filsafat dan Budayanya
di Hotel Salak, Bogor 25-26 Oktober 2010. Semoga Sang Hyang Widhi Wasa,
Sang Hyang Pangersa, Tuhan YME/Allah SWT melapangkan jalanNya menuju
Kebahagiaan dan Kesempurnaan bersama-Nya. Dan kita yang menjadi muridnya
dapat mengikuti jejak amal salehnya serta ajaran kemuliaan dan
keluhuran ajaran kasajatian hirup.
Demikian sedikit pengantar diskusi pada
Semiloka Pengaruh Hindu dan Islam pada Kebudayaan Sunda kali ini, semoga
bisa menjadi pemicu diskusi konstruktif-progresif dan mendorong
penelitian lebih lanjut, demi membangkitkan national character building bangsa Nusantara/Indonesia para umumnya dan khususnya komunitas Budaya Sunda di Tatar Sunda.*** (AYS).
[1]
Makalah yang disajikan pada “Workshop/Semiloka Pengembangan Seni Budaya
Islam”, yang diselenggrakan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia,
di Andara Resort Hotel and Convention, Cipari-Cisarua Puncak Bogor, 5-7
November 2012.
[2]
Akademisi (dosen) & Peneliti Sejarah, Filsafat, Budaya-Peradaban
dan Agama-agama, di PMIAI Universitas Paramadina – Islamic College for
Advaced Studies (ICAS) Jakarta; Penulis buku PERADABAN ATLANTIS
NUSANTARA, terbitan Ufuk, Jakarta, 2011; anggota Pengurus ISIP
(International Society for Islamic Philosophy) cabang Indonesia,
Philipina, Australia & New Zealand; Pembina Grup Atlantis Indonesia
& Great Pandora Nuswantoro di FB; Pengelola Situs Bayt al-Hikmah
Institute di http://www.ahmadsamantho.wordpress.com, dan situs Atlantis Sunda di http://www.atlantissunda.wordpress.com
[3]
Diadaptasi dari makalah berjudul “Agama Islam dan Budaya Sunda” oleh
Prof.Dr. Dadang Kahmad, M.Si, yang disajikan dalam rangkaian
International Seminar on Philosophy Emerging From Culture: Islamic
Thought and Indonesian Culture, Islamic Thought and Sundanese Values,
January 5, -15, 2009, di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
[4] Nama Zulkifli adalam penyebutan orang Arab terhadap seorang tokoh suci dari Kifl
atau Kapilavastu (Kapilawastu), kota tempat kelahiran Sidharta Gautama.
Dr. Haidar Bagir menulis : “Beberapa Muslim juga berpendapat bahwa
pendiri agama Budha adalah Nabi Yehezkiel. Pada pertengahan abad ke-20,
seorang sarjana Muslim Pakistan, Abdul Kalam Azzad, dalam bukunya
tentang penafsiran Al-Qur’an berjudul Tafsir Surah al-Fatihah
(Interpretasi dari bab pembukaan), berpendapat bahwa Nabi Yehezkiel
(atau diucapkan dalam bahasa Arab sebagai Zulkifli) berarti sesorang
dari Kifl yang telah disebutkan dua kali dalam al-Qur’an sebagai
orang yang sangat sabar dan saleh, mungkin merujuk kepada Syakyamuni
Buddha. Azad menjelaskan bahwa kata “Kifl” adalah sebenarnya merupakan bentuk Arabisasi dari kata “Kapila”, sebagai singkatan dari “Kapilavastu”.
(Haidar Bagir, dalam bab 12: “Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial
Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban” dari Buku karya Ahmad Yanuana
Samantho: “Peradaban Atlantis Nusantara, Berbagai Penemuan Spektakuler
yang Semakin Meyakinkan Keberadaanya.” Hal.365-366, penerbit Ufuk
Jakarta.
[5]
Haidar Bagir, dalam bab 12: “Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial
Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban” dari Buku karya Ahmad Yanuana
Samantho: “Peradaban Atlantis Nusantara, Berbagai Penemuan Spektakuler
yang Semakin Meyakinkan Keberadaanya.” Hal.366, penerbit Ufuk Jakarta
[7] Lihat laporannya di: http://isipindonesia.wordpress.com/2011/01/04/special-report-on-philosophy-emerging-from-culture-islamic-thought-and-indonesian-culture/
0 Komentar