Indonesia
tinggal menunggu waktu untuk segera bangkit. Ya bangkit dari tidur
panjangnya selama ini. Bangkit dari keterpurukuan dalam segala sektor
penunjang pembangunannya. Terlebih lagi, bangkit untuk segera menemukan
indentitas dirinya, yang dari hari ke hari kian terkikis, tipis, bahkan
nyaris habis, tenggelam dalam lautan hipermodernitas yang dikatakan
Baudrillard (dikutip Yasraf Amir Piliang, 2006:232) sebagai kondisi
ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan
menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana (ekonomi, seni, seksual)
bertumbuh ke arah ekstrim.
Lalu,
sebenarnya dimanakah orang-orang Indonesia kini? Orang-orang ini sedang
sibuk mondar-mandir, sikat-sikut mencari-cari identitas dirinya
diantara identitas-identitas lain yang menyilaukan. Atau bahkan, mereka
sedang sibuk bercermin, memposisikan diri untuk menjadi para pengekor
yang siap-siap menjadi kamuflase atau tiruan orang lain.
Cermin
itu adalah refleksi dari pergeseran sendi-sendi utama yang membangun
peradaban nano-techno kita sekarang ini. Peradaban 1,5 jam di darat
antara Bandung-Jakarta, peradaban harga cabe di Pasar Kliwon dipengaruhi
senyum Ariel Sharon dan Mahmoud Abbas, peradaban 20 lebih stasiun TV
lokal di kamar tidur kita, peradaban yang mewajibkan kita mengganti
perangkat rumah tangga kita (komputer, jam tangan, handphone, hingga
mobil) setengah tahun, bahkan enam bulan sekali hanya untuk tidak
“ketinggalan zaman” (Dahana, 2007:82).
Pendek
kata lanjut Dahana, inilah pergeseran yang terjadi lantaran revolusi
komunikasi, transportasi, dan informasi. Tiga hal yang ternyata sangat
dinamis dan begitu substansial dalam peri hidup kita saat ini. Revolusi
tiga dimensi yang dihela oleh penampilan luar biasa pada sains dan
teknologi itu, yang membuat perubahan tidak dihitung kecepatannya.
Bahkan lanjut Bill Gates bahwa tidak hanya mengubah habis sistem dan
pranata sosial kita, tapi juga cara kita bereaksi, menyikapi lingkunan
sekitar, dan mengidentifikasi diri sendiri.
Itu
memprihatinkan dan kita butuh menyadarinya sebagai keprihatinan, karena
kita sungguh-sungguh ingin berbuat sesuatu untuk persoalan mendasar
ini. Pada saat yang sama keadaan itu patut disyukuri: semua gejala itu
jujur secara sejarah. Itulah anak jaman kita apa adanya.
Dalam perspektif jaman dajjal
kata Emha (1995:44), anak-anak muda merasa diri berada dalam kurungan
imperium raksasa di amana ‘atas’ menginjak ‘bawah’, di mana ‘utara’
menguasai ’selatan’, di mana ‘barat’ mengalahkan ‘timur’, meskipun yang
terakhir ini mulai cenderung pupus karena lewat kebudayaan, orang lebih
mampu antisipatif dibanding kalau mereka menghadapi kerajaan politik
atau dominasi ekonomi.
Kesadaran
ini pula yang membawa saya berusaha untuk membuat sebuah tulisan
tentang indentitas bangsa Indonesia. Sebuah kesadaran yang didasarkan
pada satu pemahaman bahwa Islam mengajarkan untuk senantiasa menciptakan
perubahan untuk mengatasi persoalan massal umat manusia (QS. Ar
Rad:11). Perubahan yang akan membawa manusia menemukan kembali jati
dirinya, siapa ia dan untuk apa ia diciptakan (QS. Al Baqoroh:30).
Mudah-mudahan
masyarakat Indonesia tidak terjebak kepada rutinitas jaman yang membuat
identitas dirinya hancur, musnah, bahkan sirna, menghilang dengan arus
modernitas. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra: “Barangsiapa yang menyerupai
sebuah kaum, maka dia menjadi bagian dari mereka” (HR. Abu Daud).
Politik Identitas Masyarakat Indonesia
Identitas
dalam konsepsi Jonathan Rutherford (dalam Piliang, 2006:279) merupakan
sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai social budaya masa
lalu dengan masa kini. Artinya identitas memiliki sejarahnya. Identitas
merupakan ihtisar dari masa lalu, yang membentuk masa kini, dan mungkin
juga masa mendatang.
Dalam
konteks sosialnya, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara
bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakattertentu,
yang sekaligus membedakan (difference) mereka dari komunitas
atau kelompok masyarakat lainnya. Identitas, dengan demikian memberikan
setiap individu di dalam sebuah masyarakat, pengertian mengenai posisi
social mereka diantara berbagai kelompok masyarakat lainnya.
Identitas
lanjutnya (2006:275) merupakan sebuah kunci dalam pembentukan realitas
social. Sekali sebuah identitas mengkristal, ia akan dipenjara
dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui berbagai bentuk hubungan
sosial. Identitas dengan demikian sangat dipengaruhi oleh struktur dan
perubahan sosial itu sendiri. Identitas
sendiri menjadi sebuah isu tatkala segala sesuatu yang telah dianggap
stabil sebagai warisan cultural masa lalu diambil alih oleh
pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya akibat berlangsungnya proses
globalisasi. Krisis identitas ini muncul ketika apa-apa yang telah
melekat di dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lagi dipertahankan,
oleh karena itu ia telah terenggut oleh nilai-nilai lain yang berasal
dari luar.
Jika
demikian, identitas manusia Indonesia kini sudah sampai tahap mana?
Mengkristal? Mengkarat? Atau masih labil? Padahal, 90% manusia Indonesia
adalah pemeluk Islam, lalu identitas keislamannya sudah sampai tahap
mana?
Nah. Baiklah,
jika kita berpijak pada asumsi Fuad Amsyari (1995:174) bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang berpotensi menjadi bangsa yang besar. Suatu
bangsa disebut sebagai bangsa yang besar bila mayoritas bangsa itu
menunjukan cirri manusia berkualitas, yakni manusia yang kuat ibadahnya,
sehingga memiliki kepribadian teguh, kuat ekonominya, kuat
kesehatannya, dan kuat teknologinya.
Ada
tiga pilar yang menunjukan bahwa suatu bangsa memiliki potensi menjadi
bangsa yang besar, yakni: 1), Bangsa itu besar jumlah penduduknya, 2).
Bangsa itu memiliki sumber daya alam yang kaya, dan 3). Bangsa itu
memiliki akhlak terpuji serta meningkat kemampuan teknologinya. Diantara
semua pilar itu, yang saling berperan adalah kualitas sumber daya
manusianya, khususnya kualitas generasi mudanya yang memilikikesungguhan
hati untuk membenahi kelemahan-kelemahan bangsa itu sendiri. Mayoritas
bangsa Indonesia adalah muslim, sehingga masa depan bangsa ini
benar-benar berada di tangan generasi muda muslim.
Bagaimana
bangsa ini bisa bersaing dalam pergulatan politik, ilmu pengetahuan,
ekonomi, budaya dengan bangsa-bangsa lin. Untuk sekedar menemukan
identitas dirinya saja begitu susah, sulit, dan resah. Bagaimana bisa
umat Islam terbesar di dunia yang ada di republic ini, jika
sedikit-sedikit tergerus arus modernitas jaman, sedikit-sedikit
menyalahkan jaman; ini sudah tuntutan, ini mode, ini tren, tanpa bisa
punya diffen yang kuat.
Dunia
sekarang lanjut Fuad (1995:175) jelas berada dalam situasi ‘perang’
peradaban, antara peradaban ilahiyah melawan peradaban syetaniah.
Peradaban Ilahiyah akan menghantar manusia ke arah keharmonisan sosial,
sopan, indah, anggun, dan penuh kerukunan serta kesetiakawanan sosial.
Sedangkan peradaban syetaniah akan membawa manusia ke jurang malapetaka
karena masyarakat itu memiliki banyak manusia yang individualistik,
hedonis, sombong, eksploitatif, kriminal, rusak akhlaknya, dan
melahirkan generasi penerus manusia yang berkualitas makin buruk.
Gaya Hidup Alternatif: Desakan Membangkitkan Prestasi
Apa
itu gaya hidup? Dalam pengertian umum gaya hidup berarti karakteristik
seseorang yang dapat diamati, yang menandai system nilai setiap sikap
terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik tersebut
berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek
yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan,
cara berbicara, kebiasaan di rumah, kebiasaan di kantor, kebiasaan
berbelanja, pilihan teman, restoran, hiburan, tata ruang, tata rambut,
dan sebagainya. Gaya hidup dengan demikian merupakan kombinasi dan
totalitas dari cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang
mendukungnya, yang pelasanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem
kepercayaan tertentu (Piliang, 2006:300).
Dalam
menyoroti perubahan gaya hidup di Indonesia lanjutnya, khususnya yang
berkembang sebagai akibat globalisasi ekonomi dan informasi sejak dua
dasawarsa terakhir, setidaknya kita bisa melihat empat pengaruh ideology
yang melandasi gaya-gaya hidup. Keempat pengaruh ini berasal dari
gerakan empat ideologis yang berkembang secara global sejak decade
70-an, yaitu : 1). Gerakan etnik dan subkultur, 2). Gerakan pecinta
lingkungan dan ekologis, 3). Gerakan spiritual dan keagamaan, 4).
Kegiatan ekonomi kapitalisme global sebagai satu bentuk ideologi.
Semakin
banyak gaya hidup yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi, informasi
dan kebudayaan, di satu pihak telah membuka cakrawala yang tak terbatas
dan kreatif bagi setiap individu untuk menentukan pilihan dan seleranya;
namun di lain pihak telah menggiring masyarakat kontemporer kita kearah
krisis identitas, krisis kebudayaan, bahkan krisis kepercayaan.
Krisis
inilah yang sedang melanda umat Muslim Indonesia. Sejatinya umat Islam
terbesar ini tidak memiliki imunitas kuat untuk menghalau virus negative dari budaya luar. Kita malah terjebak pada rutinitas yang mengikis habis indentitas ke-Indonesiaan, ke-Islamannya.
Padahal,
umat Islam telah mempunyai pijakan dalam mengantisipasi perubahan
jaman. Mereka jangan mengikuti pola hidup umat di luar Islam karena
landasan dan tujuan mereka sangat bertentangan dengan landasan kita.
Bahkan ada larangan untuk mengikuti pola hidup masyarakat jahili atau
kelompok muslim yang senang memperolok-olok Islam: “Dan tinggalkanlah
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda
gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia” (QS. Al An’am :70)
(Hsubky, 1995:135).
Ajaran
Islam dalam hal ini bukan mengekslusifkan, mengkotak-kotakan,
memisahkan diri dari peradaban dunia. Dalam terminologi Sunda kita
kenal: kudu akur jeng batur-batur tapi ulah campur baur.
Artinya kita tetap bergaul, berbaur dengan modernitas jaman, namun tidak
tergerus efek yang menyesatkan. Memiliki jati diri identitas kuat
sebagai ciri yang khas. Nah itulah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Maka
dalam amanah-Nya, Allah hanya menuntut manusia untuk mampu menampilkan
peradaban yang layak dan pantas mewakili Asma-Nya. Untuk itu, Allah
memesan tampilnya suatu ummah (kelompok manusia dalam satu kesatuan sistem hidup Robbani –berdasar Kalimatullah- bukan kelompok manusia dalam kesamaan identitas atau ciri-ciri budaya tertentu), sebagaimana dinyatakan dalam Kalam-Nya : “Dan
kamu hendaklah menjadi suatu ummat yang mengajak kepada yang lebih
baik, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Dan itulah
mereka orang-orang yang beruntung” (Ali Imron:104).
Dari
ayat di atas tampak jelas bahwa ummat yang dipandang mulia di sisi
Allah adalah suatu kelompok atau tatanan masyakat beradab yang :
1) Mengajak
kepada yang lebih baik. Artinya selalu berusaha ke arah kemajuan
peradaban. Suatu tingkat kemajuan yang tidak diketahui batas puncaknya.
2) Memerintahkan yang ma’ruf, yaitu nilai-nilai yang layak dan diterima baik dan terpuji, dalam tata nilai moral dan budaya masyarakat yang bersangkutan.
3) Mencegah
atau melarang kemungkaran, yaitu nilai-nilai yang tertolak, tidak
diterima atau bertentangan dengan tata hukum dan peraturan yang berlaku
Ketiga
kriteria di atas sejalan benar dengan arah dari misi khilafah yang
diamanahkan Allah sebagaimana dikemukakan dalam Al Quran. Dengan
demikian, peradaban Islam hanya memberi batasan menyangkut ketiga nilai
dasar tersebut di atas, dan sama sekali tidak memberi batasan tentang
corak atau model tertentu dari unsur manapun pada budaya yang dibangun
dan dikembangkan manusia.
Tidak
ada satu corak atau model budaya tertentu yang dipandang lebih dekat
atau lebih pantas dipandang sebagai budaya Isalam (atau “Islami”) baik
itu bahasa, model busana, kesenian, model arsitektur dan sebagainya.
Karena keanekaragaman itu sendiri adalah bagian dari program Allah,
bagian dari misi khilafah yang diamanahkan Allah.
Dengan
demikian gaya hidup alternatif adalah tawaran yang disuguhkan ajaran
Islam untuk mengobati luka Indonesia untuk segera bangkit, bangun, dan
sembuh dari penyakit menahunnya. Kebangkitan yang diharapkan akan
membantu daya persaingan Indonesia di mata dunia. Kebangkitan yang sudah
tak perlu menunggu waktu lagi untuk bergeliat, merangsak, bahkan
berlari. Saat itu sudah datang, mendesak, sekarang juga.
Penutup
Kebangkitan
itu sedang ditunggu. Kebangkitan yang diharapkan akan membawa Indonesia
bersaing dengan semua negara-negara di dunia. Kebangkitan yang akan
mengobati penyakit menahun negeri ini. Penyakit yang jika tidak segera
diobati akan mengikis habis habitat identitas manusia Indonesia.
Islam
menawarkan sebuah alternatif gaya hidup. Ia bukan saja akan
menyelamatkan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berdaulat yang mampu
bersaing dengan bangsa lain. Tetapi akan mampu melahirkan generasi
penerus yang memiliki identitas kuat. Menjadi Dasei dalam bahasanya Heidegger (Audifax dalam Alfathri
Adlin, dkk, 2006: 114) yaitu manusia yang larut dalam kehidupan tapi
tak membiarkan dirinya larut, sesekali ia menyembul ke permukaan,
menemukan dirinya, merenungkan dirinya. Bukan menjadi das man yakni sosok yang larut dalam kehidupan dan tak merenungkan serta mempertanyakan lagi dirinya, Ada-nya di dunia ini.
Overall,
semoga cita-cita ini akan segera terwujud jika semua manusia Indonesia
menyadari kekeliruan selama ini dan mencoba untuk segera merubahkanya.
Semoga.
Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Al Quran dan terjemahnya.
Alfathri Aldin, dkk, 2006, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Bandung, Jalasutra.
Badruddin Hsubky, 1995, Dilema Ulama dalam perubahan Zaman, Jakarta, Gema Insani Press.
Emha Ainun Nadjip, 1995, Nasionalisme Muhammad, Yogyakarta, SIPRESS.
Fuad Amsyari, 1995, Islam Kaafah Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press.
Nurcholish Madjid, 1997, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina.
Radhar Panca dahana, 2007, Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia, Yogyakarta, Resist Book.
Yasraf Amir Piliang, 2006, Dunia yang Dilipat tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Bandung, Jalasutra.
0 Komentar