Tahukah kita, sungguh, jika ditimbang, novel Umberto Eco The Name of the Rose
(edisi terjemahan, Jalasutra, 2004) beratnya sekitar 925 gram? Atau
tahukah kita bahwa mestinya jumlah halaman novel itu (xliv = 731
halaman), dan dimensi bukunya (210 mm x 150 mm x 385 mm), namun patinya
tak semua orang tahu kalu kertas buku itu terdiri dari serat polimer
linier beta-D-glucopyranose, berlapis CaCO3, tintanya bercampur
molekul TiO2, 3BaSO4, dan larutan petrokimia. Kecil kemungkinan banyak
yang tahu, kalau ada sekitar 1.317.748 kalimat dalam 3.529 paragraf.
Lebih kecil lagi kemungkinan kita tahu jumlah statistik setiap huruf
dalam buku itu, dari 254.579 huruf A (19,32 %) hingga 543 huruf Z
(0,04%), yang jika diurutkan bakal membentuk distribusi statistik multifraktal (Capra, 2000:i).
Lalu,
tahukah kita jika ahli Fisika dari Mesir bernama DR. Mansour El Naby
telah berhasil membuktikan berdasarkan petunjuk Al Quran (QS. Surat
Sajadah:5), bahwa kecepatan cahaya dapat dengan tepat sekali terukur
dengan hasil pengukuran secara ilmu fisika modern (A New Astronomical Method for The Determination of The Greates Speed dalam http://www.islamicity.org/Science/960703A.HTM).
Bahkan dalam Encyclopedi Britannica
mencatat: pada tahun 1676, Olas Romer mengajukan bukti pertama dalam
sejarah bahwa kecepatan cahaya sangat tinggi. Sejumlah upaya pengukuran
pun dilakukan selama tiga abad hingga akhirnya muncul kesepakatan
internasional di Paris pada tahun 1983 mengenai angka kecepatan cahaya
dalam vakum yang dikalkulasi sebesar 299.792.458 m/ detik. Sebagaimana
kita lihat, fakta ini baru diketahui oleh kalangan sains modern pada
akhir abad ke-20 (Al Hajj Ahmad:169).
Padahal, jika merujuk pada Al Quran, maka bisa kita lihat bahwa Al Quran jauh sebelumnya telah memberikan equation (persamaan)
akurat yang menegaskan kepada kita kebenaran konklusi yang dicapai oleh
Kongres Internasional tentang Standar Ukuran di Paris tahun 1983.
Nah. Dalam
interpretasi para ahli tafsir dalam surat tersebut: “Dia mengatur
urusan dari langit ke Bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam
satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu”, (QS As Sajadah:5), berpendapat bahwa ayat ini sebagai
fenomena yang berlaku di dunia (Al Hajj Ahmad, 2006:167). Saking
cepatnya daya tempuh (benda langit), maka jarak perjalanan seribu tahun
(sama dengan seribu tahun cahaya) pun bisa ditempuh hanya dalam waktu
sehari versi kalian. Penafsiran ini dilansir oleh Ath Thabrari, Al
Qurthubi dan Az Zamakhsari.
Bahkan,
setelah kecepatan cahaya ini bisa dihitung, banyak para ahli fisika
modern, terlebih mereka adalah kaum Muslimin, mampu menafsirkan ayat kauniyah yang digabung dengan ayat kauliyah.
Sehingga, lanjut DR. El Naby ia mampu menghitung kecepatan terbang
malaikat Jibril, kecepatan terbang Nabi Sulaeman, dan pemindahan
singgasana Ratu Bilqish.
Nah
syukurlah, jika kini kita sudah mengetahui informasi tadi walaupun
hanya dalam sekedar risert empirik saintifik belaka. Hanya tahu tanpa
bisa sangat bermanfaat dengan eksplorasi lebih jauh dan penghayatan yang
dalam. Ya, penghayatan. Sebab, akal yang diberikan Tuhan untuk manusia
harus dioptimalkan. Namun, tentu saja penghayatan itu perlu interpretasi
yang dalam untuk ‘mengeja’, ‘membaca’,’menerjemahkan’ ayat-ayat Tuhan
di muka bumi.
Jika
diibaratkan ilmu adalah sebuah lautan, maka ia tak akan berhenti pada
ujung tepian dan menemukan akhir. Dialah lautan ilmu Tuhan yang sedang
dan harus terus kita gali dalam kepamampuan sekaligus keterbatasan
manusia dalam menghyati teks-teks Tuhan yang tersirat maupun tersurat.
Sebab Tuhan, tak terbatas dengan tempat, ruang, bahkan waktu sekalipun.
Ia adalah Maha dalam kerajaan ilmunya yang tak bertepi (QS. Maryam:109).
Sungguh, manusia harus bisa mereguk lautan itu walau hanya sedikit.
Nah, dalam pertimbangan semacam itulah, saya mencoba untuk memberi sebuah tulisan tentang ilmu Tuhan yang tak bertepi.
0 Komentar