Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kondisi Geopolitik Dapat Rapuhkan Ekonomi Dunia


Presiden AS Jimmy Carter, pada pidato saat menerima hadiah Nobel Perdamaian 2002, tampaknya juga ditepikan. Pesan Paus Johannes Paulus II-yang mengimbau perdamaian antara umat beragama dan antarkawasan-tampaknya juga tak digubris.

Suasana tenang selama dua pekan menjelang penutupan tahun 2002 dan awal tahun 2003 langsung disesaki dengan isu bernuansa selongsong peluru, yakni kemungkinan perang di kawasan Teluk. Serdadu sudah disiapkan di Teluk dan sebagian lagi dalam perjalanan menuju Teluk.

Permasalahannya bukan soal AS akan memenangkan atau tidak. Di atas kertas, AS hampir bisa dipastikan menang. Persoalan sebenarnya terletak pada legitimasi serangan tersebut. Dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disepakati bahwa legitimasi serangan akan didasarkan pada Resolusi PBB Nomor 1141. Resolusi itu menginginkan Irak bebas dari senjata perusak massal, kimia, dan biologi.

Kepala inspektur persenjataan PBB pun diutus ke Irak akhir tahun 2002. Sikap Irak lewat Saddam Hussein, yang menolak kehadiran inspektur PBB, melunak sejak tahun 1998. Lewat hasil tinjauan PBB itu legitimasi serangan akan diberikan, dengan syarat Irak gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan diri dari persenjataan perusak massal. Legitimasi serangan dan persetujuan yang genuine dari beberapa negara lain juga dibutuhkan. Hal itulah yang juga disuarakan mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Henry Kissinger, dan mantan Menteri Pertahanan AS William Cohen.

Selama beberapa pekan di Irak, dan bolak-balik mengecek keberadaan persenjataan, inspektur senjata tidak menemukan apa pun. Hal itu senada dengan pernyataan pejabat Irak sendiri bahwa Irak tidak memiliki apa yang dikhawatirkan AS. Legitimasi serangan AS pun menjadi kabur. AS tetap ngotot dengan mengatakan, ada hal yang berkaitan dengan persenjataan yang belum ditemukan tim PBB, namun diketahui oleh AS lewat satelit pengintainya.

Menlu AS Colin Powell berjanji akan memberikan informasi intelijen ke tim PBB. Namun, sejauh ini informasi itu tidak dirinci sehingga menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya misi serangan itu. Di sela itu muncul dugaan bahwa niat kuat AS menyerang Irak adalah kepentingan merebut bisnis perminyakan. Bush butuh selama sebulan lebih, menjawab tuduhan itu dengan mengatakan, "Tuduhan itu absurd."

Lalu apa? Kemudian alasan serangan berubah sedikit lagi. Misinya, menurut Bush, adalah membebaskan rakyat Irak dari cengkeraman Saddam Hussein, sebagaimana diutarakannya lagi saat mengumumkan paket stimulus ekonomi di hadapan Economic Club of Chicago tanggal 7 Januari 2003, di Chicago.

Anehnya lagi, tiba-tiba saja PBB menyatakan Irak tidak kooperatif, mendadak berubah dari pernyataan Inspektur Persenjataan PBB Hans Blix sebelumnya bahwa Irak sangat kooperatif. Namun, entah kenapa Hans Blix kemudian berubah sikap juga dengan mengatakan, "Ada banyak pertanyaan soal persenjataan yang tidak dijawab Irak." Lepas dari itu argumentasi dan komentar soal persiapan menyerang Irak menjadi tidak jelas. Anehnya, tak banyak media besar di AS dan Eropa yang memperlihatkan opini bahwa ada kejanggalan di balik niat AS untuk menyerang Irak.

HAL itulah yang sedang menjadi isu besar di dalam perekonomian, setidaknya di berbagai jenis pasar seperti di pasar minyak, emas, saham, uang, dan jenis pasar lainnya. Kondisi seperti di atas dianggap sebagai pemicu kacaunya kondisi geopolitik internasional yang memberikan ancaman pada perekonomian dunia. Geopolitik adalah dampak dari keberadaan lingkungan fisik (physical environment/lokasi tempat tinggal) terhadap masyarakat yang membentuk persepsi politik dari masyarakat tersebut.

Faktor utama yang diperlukan bagi keberadaan geopolitik yang baik adalah terjadinya komunikasi internal, di samping faktor lainnya. Faktor utama yang sangat diperlukan geopolitik adalah keberadaan negara tetangga yang ramah (tidak mengancam), meski berposisi lebih kuat atau lebih lemah. Kini ada kerapuhan yang sedang mengancam ketenangan kehidupan global yakni munculnya era kekuatan udara yang mengubah realitas geopolitik tradisional, munculnya geopolitik dari energi minyak, serta munculnya aksi terorisme sebagai sebuah bentuk kekuatan.

Tidak heran jika kini mencuat kekhawatiran perang di Kawasan Teluk, dan memberikan gejolak pada pasar uang dan bursa saham, bursa komoditas, dan aspek ekonomi mikro lainnya. Itu karena masyarakat dunia-tidak lagi terbatas pada yang berada di Timur Tengah, AS, dan Eropa-kini juga merasa tidak nyaman. Ada kekhawatiran yang mendalam soal kemungkinan adanya serangan terhadap Irak. Kekhawatiran itu juga semakin dipicu oleh rapuhnya legitimasi serangan yang membuat masyarakat dunia memiliki persepsi bahwa jika serangan terjadi, maka dampak baliknya akan semakin merunyamkan AS. Itu juga akan mengganggu ketenangan investasi di dunia.

Pasar khawatir akar dari terorisme justru bukan tercabut tetapi semakin mendalam. Dampak dari ketakutan seperti itu sudah terlihat jelas. Kurs dollar AS menyentuh titik terendah dalam tiga tahun terakhir terhadap mata uang Inggris (poundsterling). Dollar AS terus juga melemah terhadap frank (Swiss), euro, dan yen (lihat grafik).

Investor dibuat kelimpungan atas berita persiapan perang oleh AS dan Inggris. Ketegangan pasar meningkat setelah pidato Saddam Hussein. Saddam mengatakan, negaranya siap menghadapi serangan militer serta menuduh inspektur persenjataan PBB melakukan pekerjaan intelijen murni. Emas yang dipandang sebagai safe haven di saat terjadinya ketegangan internasional, menyentuh titik tertinggi sejak Maret 1997 (lihat grafik).

Kenaikan harga emas diikuti kenaikan harga minyak yang juga dianggap sebagai komoditas perang. Emas menyentuh level 356,25 dollar AS per ons. Harga bullion (julukan bagi emas) kini lebih tinggi 28 persen ketimbang tahun lalu. Harga minyak melejit juga, bervarasi tergantung pada jenisnya. Harga minyak mentah jenis Brent untuk penyerahan Februari 2003 (pada perdagangan berjangka) diperdagangkan pada level 30,55 dollar AS per barrel, setelah sempat menyentuh angka tertinggi dalam 15 bulan terakhir 31,02 dollar AS per barrel pekan lalu.

Harga minyak mentah AS diperdagangkan pada level 32,20 dollar AS per barrel, sedikit lebih rendah dari 33,65 dollar AS per barel yang tercatat pada tanggal 30 Desember 2002 lalu. Para analis menilai, investor kini bereaksi negatif atas kemungkinan konflik militer di Teluk. "Kekhawatiran akan kondisi geopolitik yang terus meningkat semakin menghajar kurs dollar AS," kata Kepala Riset Perdagangan Valuta Asing di Credit Agricole Indosuez Mitul Kotecha. "Pasar yakin, kita sedang menghadapi kemungkinan besar serangan AS atas Irak." "Sangat sulit bagi dollar AS menguat terhadap pounds, sehubungan dengan kekhawatiran pada Teluk," kata currencystrategist dari UBS Warburg di Stamford, Connectitut, AS.

Di Chechnya, setidaknya 48 orang terbunuh dalam aksi bom bunuh diri di markas pemerintahan Chechnya pro-Moskwa. Itu juga merupakan bagian dari kondisi geopolitik di Eropa yang tidak kondusif. "Ini hanya kelanjutan dari kelemahan dollar AS terhadap kekhawatiran geopolitik," ujar currency strategist Clyde Wardle, dari HSBC Securities di New York. "Jelas Anda mudah sekali mengaitkannya dengan isu Irak," kata David Solin dari Foreign Exchange Analytics di Essex, Connecticut, mengomentari kejatuhan dollar AS.
MINYAK adalah bagian dari taruhan kondisi geopolitik yang runyam itu. Harganya juga melejit dan mencapai angka tertinggi dalam dua tahun terakhir ini.

George L Perry, senior fellow economic studies dari The Brookings Institution (AS) memang menarik sebuah kesimpulan menyejukkan. "Sebuah krisis minyak tampaknya tidak akan menambah kesulitan bagi AS untuk memerangi terorisme." "Hal itu menjadi tidak terlalu mengkhawatirkan jika sukses serangan ke Irak menyerupai serangan ke Afganistan yang secara dini langsung ditandai dengan sukses militer. Kenyataan itu berbeda dengan perkiraan pesimis sebelumnya bahwa AS kemungkinan akan menghadapi kesulitan besar di Afganistan, sebagai kesulitan Uni Sovyet (kini sudah terpecah belah) saat menyerang Afganistan pada dekade 1980-an," kata Perry.

Akan tetapi, Perry tetap mengingatkan, "Pasokan minyak dari Teluk tetap berisiko, terutama jika kebencian pada Barat membara di negara-negara Arab. Jika pasokan minyak dunia terganggu, dan melejitkan harga minyak dunia, hanya sedikit yang bisa dilakukan AS untuk menghindari dampak negatifnya dari kenaikan harga minyak dan perekonomian," ujar Perry.

Argumentasi Perry juga didukung oleh Shibley Telhami, Anwar Sadat professor for peace and development dari University of Maryland dan juga senior fellow di Brookings Institution. Dia adalah penulis buku berjudul The Stakes: America and the Middle East.

Menurut dia, yang kini perlu dijaga AS adalah, bagaimana agar serangan terhadap Irak tidak menimbulkan riak besar hingga ke nagara-negara Arab yang menjadi teman dekat AS. Riak-riak seperti itu, kata Telhami, adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi.

Lepas dari itu, harga minyak sebagai buah dari kekacauan kondisi geopolitik sekarang, adalah contoh nyata yang paling ditakuti karena langsung berperan menaikkan harga produksi. Kenaikan harga minyak, menurut Perry, diperkirakan tidak akan seburuk yang pernah terjadi pada dekade 1970-an dan dekade 1980-an. Di sisi lain, kenaikan harga minyak juga akan memberikan kerusakan pada perekonomian. Contoh nyata adalah maskapai penerbangan sipil AS yang hingga kini terus dalam keadaan sakit, diperburuk oleh kenaikan harga minyak sejak Perang Teluk awal tahun 1990-an.

Yang ditakutkan dari serangan AS ke Irak bukan hanya soal harga minyak. Menurut Direktur IMF untuk Urusan Timur Tengah George Abed, serangan seperti itu akan menakutkan penduduk dunia bepergian, yang berarti akan memerosotkan industri turisme, menakutkan bagi investor dunia guna merealisasikan investasi baru yang berarti akan mengganggu aliran investasi global.



Lihatlah pesan Ketua Bank Sentral AS Alan Greenspan. "Ekonomi AS sedang menunjukkan gejala pemulihan. Akan tetapi, setiap penurunan tensi geopolitik dalam skala global akan terus memicu aliran investasi dan mendorong pertumbuhan," kata Greenspan di forum Economic Club of New York. Dalam bulan-bulan terakhir, ujar Greenspan, ketakutan akan perang Teluk telah menyebabkan volatilitas di bursa saham dan harga minyak.

"Ketidakpastian soal perekonomian telah menyebabkan perusahaan enggan merekrut karyawan baru atau melakukan investasi besar, dan selanjutnya menghambat pemulihan," kata Greenspan. Topik seperti kini terus saja mewarnai opini di berbagai media dunia dan dengan segala pengaruhnya terhadap perekonomian. Sebab itu, pesan yang disampaikan kepada George W Bush yang dijuluki CNN sebagai "war time president" itu adalah agar melakukan pendekatan yang paling pas terhadap masalah Irak. Dari sekian banyak pandangan, yang paling mencuat adalah agar AS tidak melakukan serangan sepihak tetapi berdasarkan pertimbangan matang yang bernuansa dialog, serta mempertimbangkan pendapat negara lain selain Inggris.

Kekompakan AS dengan Inggris, menurut CNN tidak cukup mendapatkan legitimasi untuk menyerang Irak. Kekompakan harus juga terjadi dengan sahabat-sahabat di Eropa, Asia, Timur Tengah. Hanya dengan cara itu maka persepsi komunitas global terhadap kondisi geopolitik bisa berkurang.

Belum jelas, apakah Bush mau mendengarkan, ataukah dia masih terus ingin perang semata tanpa peduli dengan orang lain. Jika itu terjadi, ekonomi dunia jelas terancam. Dan sejumlah negara termasuk Indonesia mau tidak mau akan ketiban getah dari sikap Bush seperti itu.

Posting Komentar

0 Komentar