Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dekonstruksi Nasionalisme Ekonomi Retorika

Oleh: Wijen Pontus S. S. S., Mahasiswa Institut Teknologi Bandung.
“Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)”
- Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah)
  1. Pendahuluan
Nasionalisme ekonomi -yang definisinya dijelaskan pada subbab ini-, telanjur diidentikkan sebagai upaya menggunakan produk dalam negeri -apapun bentuknya-, mengurangi impor secara drastis, dan nasionalisasi BUMN. Pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk menyuarakan nasionalisme ekonomi ini. Sebagai contoh, pada awal tahun 2009 ini, pemerintah menggalakkan kembali program penggunaan produk dalam negeri yang disebut Aku Cinta Produk Indonesia. Program ini digulirkan seiring keluarnya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Program sejenis sebenarnya pernah bergulir beberapa kali. Tentu kita tidak lupa akan kampanye calon presiden Jusuf Kalla beberapa waktu silam, yang mengatakan bahwa beliau menggunakan sepatu produksi Cibaduyut. Selain itu, pada masa orde baru, program serupa pernah digalakkan dengan nama “Aku Cinta Indonesia”. Entah kenapa, sampai sekarang program-program seperti ini tidak pernah berhasil dengan baik.
Bukan hanya program penggunaan produk dalam negeri saja yang kurang berhasil, tetapi retorika-retorika mengenai nasionalisme ekonomi lain -termasuk nasionalisasi ex-BUMN, mengurangi impor secara drastis, dll- juga berguguran di tengah jalan. Ironisnya, semua kegagalan ini dianggap sebagai kesalahan dari pemerintah. Ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menimpakan hampir semua tanggung jawab nasionalisme ekonomi pada pemerintah. Padahal, sebagai komponen penyusun sebuah negara, peran bangsa untuk menentukan arah pergerakan nasionalisme sangat besar. Pada tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk mendekonstruksi konsep nasionalisme ekonomi yang selama ini terkesan hanya berpusat pada pemerintah. Penulis menilai, jika paradigma semacam itu dapat terdekonstruksi, bangsa Indonesia bahkan dapat memiliki nasionalisme ekonomi yang jauh lebih visioner. Sudah semestinya, bangsa ini tidak melulu mengedepankan konsep penggunaan produk dalam negeri tanpa berusaha meningkatkan kualitas produk dalam negeri dengan harga seefisien mungkin. Sudah semestinya pula, bangsa ini tidak hanya beretorika menentang kebijakan impor, sementara China dapat memanfaatkan barang impor untuk ditiru dan diproduksi ulang dengan harga yang jauh lebih murah. Atau sudah sepantasnya, bangsa Indonesia bertanggung jawab -bukan hanya pemerintah- mengambil alih eks-BUMN yang dijual, dengan ikut serta dalam pembelian saham eks-BUMN tersebut melalui pasar bursa saham.
1. Dekonstruksi
Kata dekonstruksi awalnya diperkenalkan oleh filsuf kelahiran Aljazair, Jacques Derrida[1]. Dekonstruksi berdasarkan The Cambridge Dictionary of Philosophy, mempunyai definisi sebagai demonstrasi dari ketidakkomplitan atau ketidakkoherenan dari sudut pandang filosofi yang menggunakan prinsip argumen di mana makna dan kegunaannya terlegitimasi oleh sudut pandang itu sendiri. Dekonstruksi, secara sederhana didefinisikan sebagai suatu cara untuk menampilkan kembali kontradiksi-kontradiksi tersembunyi di dalam konsep dan keyakinan yang telah melekat dalam diri kita selama ini[2]. Dekonstruksi perlu dibedakan dari analisis yang mengisyaratkan adanya reduksi entitas dari suatu elemen sederhana atau esensial, di mana elemen itu sendiri perlu didekonstruksi. Sejatinya, dekonstruksi bukanlah suatu metode atau cara yang diikuti oleh penginterpretasian. Secara mendalam, dekonstruksi memang sulit, tetapi untuk menerapkannya secara praktis, dirasa akan lebih mudah. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan definisi dekonstruksi secara praktis dan yang paling sederhana. Dekonstruksi akan digunakan untuk membahas bagaimana paradigma nasionalisme ekonomi yang banyak berkembang di masyarakat selama ini, pada kenyataannya kurang mendukung perkembangan dari nasionalisme ekonomi itu sendiri.
2. Paradigma Nasionalisme Ekonomi
Nasionalisme merupakan suatu pernyataan dan ideologi kebangsaan sebagai rasa memiliki bersama dan kebernegaraan dalam suatu negara. Menurut pendapat Smith (2002:26), pernyataan-ideologi nasionalis semacam itu mempunyai sasaran untuk mencapai pemerintahan kolektif sendiri, penyatuan wilayah dan identitas budaya. Tiga faktor fundamental untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional. Nasionalisme dapat dijumpai dalam berbagai aspek, salah satunya adalah nasionalisme ekonomi. Jadi, berdasarkan pendapat Smith, dalam nasionalisme ekonomi juga terkandung adanya otoritas (self regulatory), kesatuan, dan identitas nasional. Ekonomi yang berotoritas berarti ekonomi yang memiliki blueprint tanpa tergantung oleh pihak asing dan bersifat mandiri, sehingga kendala dan tekanan pihak internasional tidak lagi menjadi momok. Di sini jelas tersirat bahwa stigma mengenai kerja sama dengan pihak internasional (one sided profit, tidak nasionalis, dll) sama sekali tidak berdasar. Hal ini disebabkan, jika kita memiliki nasionalisme ekonomi, sudah semestinya juga kita memiliki self determination, -penentuan nasib tanpa tekanan dan ketergantungan asing-. Selain otoritas, nasionalisme ekonomi juga harus memiliki kesatuan nasiona dalam berekonomi yang dapat tercapai dengan menyatukan berbagai kepentingan dan sentimen banyak pihak dalam sebuah sistem ekonomi mandiri. Faktor fundamental terakhir dalam nasionalisme ekonomi, yaitu identitas nasional, dapat tercapai ketika sistem ekonomi menggunakan segenap sumber daya pribumi -sumber daya yang memang asli dari Indonesia-.
3. Bangsa Konsumen
Pengeluaran konsumsi rumah tangga seluruh keluarga Indonesia rata-rata pada kuartal pertama dan kedua tahun 2009 adalah sebesar 1.852.743 milyar3. Pengeluaran ini meningkat sebesar 14 % jika dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun 2008 (1.624.389 milyar), sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2008 meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun 2007, yaitu sebesar 20, 986 %. Data yang penulis dapati pada situs http://data.un.org malah paling besar, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, Inggris, China, dan India. Perlu digarisbawahi, bahwa tahun 2007 belum terjadi krisis global, sehingga negara-negara maju dan berkembang lainnya masih belum terlalu terkena dampak krisis. Pada saat krisis global terjadi, Indonesia dan Filipina merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki pertumbuhan ekonomi masih positif pada kuartal pertama dan kedua tahun 2009 (Sumber : Bank Indonesia), sedangkan negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, China, dan India malah menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang negatif. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan jika bangsa Indonesia memang bangsa konsumen.
  1. Selayang Pandang Perjalanan Ekonomi Indonesia
Sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka, tetapi bukan berarti Indonesia sudah merdeka dari imperialisme dan ketergantungan ekonomi asing (Todaro, 1977). Ironisnya, negara ini didirikan oleh founding fathers atas dasar Pancasila yang menjunjung kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Tetapi fakta sejarah mengatakan bahwa negara ini banyak memiliki masalah kesejahteraan, mulai dari kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, hingga masalah makro ekonomi lainnya. Padahal, sejumlah agenda globalisasi dan liberalisasi pasar telah menunggu Indonesia, dalam global village di mana ruang dan waktu bukan lagi sebuah hambatan (The World is Flat). Makin mengenaskan, ketika mendapati realita bahwa bangsa ini kerap kali lebih senang mengkambinghitamkan pihak lain atas penderitaan yang dialami, daripada introspeksi dan berbenah diri. Simak saja demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang selalu menyalahkan pihak asing dan lembaga moneter asing atas penderitaan ekonomi Indonesia sekarang ini.
Perekonomian yang mapan memang merupakan pilar penting tegaknya negara ini. Begitu pentingnya perekonomian hingga Presiden Soekarno, Sang Proklamator, harus rela kehilangan integritas rakyatnya tatkala perekonomian Indonesia saat itu dilanda stagflasi (stagnasi pertumbuhan dan inflasi yang tinggi). Saat itu, inflasi meroket hingga 600 % dan pendapatan per kapita rakyat Indonesia rata-rata turun sebesar 4 %. Tentu saja, Indonesia yang dikenal sebagai macam Asia menjadi ompong dan tidak berdaya. Soeharto yang menggantikan Soekarno, menitikberatkan visi untuk menstabilkan ekonomi dan politik. Dengan berbekal amunisi anggaran berimbang dan dinamis, Soeharto mampu menurunkan angka inflasi hingga menjadi 7,7 % (Seda, 2004). Tetapi, apa lacur, kebijakan fiskal zaman pemerintahan beliau terlalu menganakemaskan hutang luar negeri. Defisit APBN ditutup tidak dengan mencetak uang baru, melainkan meminjam dari luar negeri. Hutang yang terlalu banyak dan kerapkali menjadi sasaran empuk koruptor, lagi-lagi menyebabkan perekonomian rapuh. Fondasi yang dibangun selama ini melalui kebijakan hutang dalam negeri tidaklah sekuat yang dibayangkan. Perekonomian menjadi labil saat dilanda krisis ekonomi 1998. Contagious effect akibat jatuhnya mata uang regional akhirnya menjatuhkan nilai tukar rupiah terhadap dollar US, bahkan hingga menyentuh angka Rp. 17.000, 00 per dollar US. Jatuhnya rupiah ini menyebabkan systemic distress[3],sehingga fungsi intermediasi bank terganggu, penurunan investasi, penarikan dana besar-besaran, inflasi tinggi, dan pelarian modal ke luar negeri. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)[4] yang dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank -baik jangka pendek maupun panjang- malah semakin memperparah keadaan perekonomian, mengingat banyaknya penyalahgunaan dari privilege tersebut. Akibat itu semua, pada akhir tahun 1998, perekonomian Indonesia berkontraksi hingga level 13 %.
Semenjak Soeharto lengser, recovery ekonomi yang dipimpin oleh 4 presiden berbeda tetap berjalan lambat. Misalnya, Korea Selatan, Malaysia, Thailand sudah bangkit dari keterpurukan sejak beberapa tahun lalu. Pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya sebesar 5,1 persen, sementara negara-negara lain sudah mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Ekonomi China mampu tumbuh 9,5%, lalu Singapura mencatat pertumbuhan sebesar 8,4%. Malaysia dan Thailand yang diklaim sebagai “sumber penyakit” krisis ekonomi mampu tumbuh sebesar 7,1% dan 6,1%. Sebagai catatan, lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini disebabkan oleh minimnya aktivitas ekonomi, terutama produksi dan investasi.
  1. Mendekonstruksi Paradigma Lama
Nasionalisme ekonomi yang kita kenal selama ini telanjur memiliki paradigma yang menurut hemat penulis kurang tepat. Sebagai contoh, anjuran penggunaan produk dalam negeri. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan anjuran ini. Tidak dapat disangkal lagi jika nasionalisme dapat dipupuk dengan menggunakan produk lokal. Tetapi, ini akan menjadi suatu paradoks bagi nasionalisme itu sendiri, tatkala anjuran ini tidak disertai dengan insentif dari pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang bagus, seperti simplifikasi birokrasi sehingga tidak berbelit-belit, pemberian kemudahan kredit bagi pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), sehingga kualitas produk meningkat dan harga dapat ditekan. penulis sengaja berpihak kepada pelaku UMKM karena pelaku usaha yang memiliki kapitalisasi besar cenderung untuk memasarkan produknya ke luar negeri (ekspor), belum lagi ditambah kenyataan bahwa pelaku usaha semacam ini kerapkali memonopoli dan akhirnya malah mematikan pelaku usaha lainnya. Tetapi, ironisnya, sekalipun pemerintah sekarang telah memberikan insentif -walaupun menurut penulis masih kurang-, pertumbuhan UMKM masih terlalu lambat[5].Apa pasal ? Hal ini disebabkan minimnya mental pengusaha terutama yang berbasiskan ekonomi kreatif. Mental bangsa Indonesia sebagian besar adalah mental pekerja bukan pengusaha. Ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan orang terhadap mahasiswa yang sudah lulus, seperti “Bekerja di perusahaan apa ?”, atau terhadap mahasiswa yang belum lulus, “Nanti Anda mau bekerja di mana ?”. Yang lebih ironis, bahkan, orang yang bekerja pada perusahaan asing dan pegawai negeri dinilai membanggakan, sedangkan pengusaha -terutama yang baru merintis- telanjur mendapatkan stigma tidak mapan, masa depan tidak menjamin, atau sejenisnya. Belum lagi, kalau penulis ambil contoh di institusi pendidikan terkemuka -seperti universitas penulis-. Masih banyak institusi-institusi pendidikan yang memang mengarahkan murid didiknya menjadi seorang pekerja. Kalau sudah begini, apa kita masih layak menyalahkan pemerintah semata ? Bukankah kita, sebagai rakyat yang menjadi bagian dari pemerintahan juga semestinya turut serta dalam tanggung jawab besar ini ?
Seperti yang telah dipaparkan penulis pada paragraf sebelumnya, selain memang bangsa ini lebih menyukai menjadi pekerja daripada seorang pengusaha, bangsa ini sepertinya juga lebih menyukai konsumsi daripada produksi. Sungguh mengenaskan mendapati kenyataan ini diajarkan sejak kita masih baru belajar membaca. Tentu kita masih ingat apa yang diajarkan oleh guru kita tempo dulu. “Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang belanja di pasar. Ibu Budi sedang membeli …”, kalimat itulah yang hampir selalu diajarkan di setiap sekolah dasar. Terlihat sepele memang, tetapi dari hal sepele inilah muncul mental konsumtif di masyarakat kita. Sedari kecil kita memang secara tidak sadar dan tidak langsung diajarkan bagaimana membeli suatu barang (konsumsi), bukan membuat suatu barang, atau bahkan berinvestasi. Mental konsumtif inilah yang menyebabkan kebijakan impor menjadi suatu kesalahan. Padahal, coba kita tilik RRC, apakah mereka pada awalnya memproduksi barang mereka sendiri ? Tentu saja tidak. Mereka sama dengan Indonesia, mereka dulu adalah salah satu negara pengimpor terbesar. Tetapi, barang impor tersebut tidak serta merta hanya menjadi barang konsumsi, sebaliknya, barang impor tadi dijadikan inspirasi untuk memproduksi barang serupa dengan harga yang jauh lebih murah. Walaupun banyak kontroversi terhadap RRC, toh tetap saja mental produktif mereka lebih bagus daripada mental kita -yang lagi-lagi lebih senang mengkonsumsi-. Penulis menilai, kebijakan impor tidak selamanya salah, asalkan kita bisa menggunakannya lebih bijak lagi, untuk mengembangkan perekonomian nasional atau menciptakan suatu produk lokal yang lebih murah sehingga dapat dikonsumsi oleh bangsa kita sendiri.
Salah satu paradigma lain dalam konsep nasionalisme ekonomi, adalah nasionalisasi BUMN yang dijual -ke siapapun-, baik kepada asing, melalui private placement. Pada kenyataannya, sebagian besar BUMN tidak dijual kepada asing melalui private placement, melainkan melalui IPO. Tidak banyak masyarakat yang paham betul, bagaimana sulitnya proses buyback saham -untuk menasionalisasi-, belum lagi ditambah mahalnya harga saham yang ditawarkan oleh stakeholder. Indosat dibeli oleh SingTel Singapura pada tahun 2002 dari Indonesia dengan nilai total 5,62 trilyun atau sebesar 41,94 %[6]. Sedangkan pada bulan Juni 2008 yang lalu, Qatar Telecom membeli saham Indosat dari SingTel dengan nilai 16,92 trilyun atau sebesar 40,8 %. Ini berarti Qatar Telecom harus membayar 11,3 trilyun lebih mahal hanya dalam kurun waktu 6 tahun. Andaikata Indonesia melakukan buyback saham Indosat, negara ini harus merelakan hampir 2 kali PDB untuk membayar selisih harga itu. Tidak banyak BUMN yang diprivatisasi melalui private placement seperti Indosat. Sebagian besar lainnya diprivatisasi melalui IPO. Kepemilikan asing terhadap saham-saham BUMN yang telah IPO ini juga lumayan besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya jumlah transaksi asing pada bursa saham Indonesia, yaitu hampir 40 % dari total transaksi rata-rata per tahunnya [7]. Padahal, data tadi baru merupakan data pada IDX trading system[8], yaitu data dari sekuritas asing, sedangkan -sudah menjadi rahasia umum- masih banyak rekening-rekening asing yang singgah di sekuritas-sekuritas lokal. Hal inilah yang menyebabkan kepemilikan asing pada eks-BUMN menjadi besar.
Oleh karena itu, setelah mendekonstruksi paradigma nasionalisme ekonomi, penulis mengusulkan agar masyarakat juga turut serta aktif dalam menjunjung nasionalisme, sehingga tidak hanya pemerintah saja yang bertanggungjawab terhadapnya. Berikut ini beberapa hal sederhana yang diusulkan oleh penulis.
1. Program Kewirausahaan Berbasis Ekonomi Kreatif
Pada dasarnya, program ini bertujuan untuk menanamkan jiwa pengusaha sejak dini. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa jumlah pengusaha Indonesia sangat rendah[9]. Penulis mengusulkan untuk memulainya dari hal sederhana, seperti membentuk mindset pada anak kecil sehingga nantinya tidak ada lagi kalimat “Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang berbelanja di pasar”, melainkan kalimat “Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang berdagang di pasar”. Setelah memulainya dari anak kecil, mental kewirausahaan dapat diterapkan di lingkungan keluarga terlebih dahulu, seperti mengajarkan anak untuk mulai berbisnis sejak dini. Selanjutnya, penulis mengusulkan agar kewirausahaan -secara praktek- menjadi kurikulum wajib dalam setiap lembaga pendidikan formal (apapun jenjangnya). Penerapan kewirausahaan dalam setiap kurikulum lembaga pendidikan formal, seyogyanya didasarkan pada ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dapat diartikan sebagai proses ekonomi yang input dan outputnya berupa gagasan (ide)[10]. Gagasan ini berupa sesuatu yang orisinil dan dapat diproteksi oleh HKI (Hak Kekayaan Intelektual), seperti pencipta lagu, pembuat software, peneliti, atau analis. Sedangkan menurut visi pemerintah, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang mengandalkan kreatifitas individu, keterampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan penciptaan tenaga kerja melalui penciptaan (gagasan) dan eksploitasi HKI. Dengan adanya mental kewirausahaan berbasis ekonomi kreatif, niscaya ilmu yang didapatkan pelajar dan mahasiswa dapat digunakan semaksimal mungkin untuk menciptakan lapangan kerja baru, sehingga nasionalisme ekonomi akan makin kukuh berdiri.
2. Program Investor
Program investor ini bertujuan untuk menumbuhkan jiwa seorang investor. Tentunya, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan edukasi yang benar mengenai dasar investasi, peraturan perundang-undangan investasi, dan instrumen investasi. Investasi dapat dikategorikan menajdi dua, yaitu investasi riil dan non riil. Untuk berperan serta dalam menasionalisasi eks-BUMN yang sudah dijual melalui IPO, penulis menyarankan agar program investor lebih difokuskan kepada investasi non riil, terutama di bidang pasar modal, khususnya saham. Berdasarkan data dari KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia), jumlah rekening saham yang terdaftar selama ini baru sebanyak 339.352 buah, atau sebesar 0,15 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 231 juta jiwa[11]. Coba bandingkan dengan negara India, yang memiliki jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak dari Indonesia. India, dengan penduduk sebanyak 1,07 milyar jiwa[12], memiliki jumlah rekening saham yang terdaftar sebanyak 10.071.001[13] , atau sebesar 0,94 % dari total populasi. Minimnya jumlah investor di bursa saham inilah yang menyebabkan porsi kepemilikan asing pada eks-BUMN terlampau besar. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan di bidang pasar modal sangat diperlukan, agar investor mengerti betul instrumen investasi yang akan mereka beli. Tantangan terbesar kita selama ini adalah minimnya edukasi mengenai pasar modal secara intensif dan terjangkau secara finansial. Edukasi pasar modal selama ini telanjur dicap sebagai edukasi yang mahal, padahal, kalau mau sedikit berusaha, edukasi tersebut dapat diperoleh secara cuma-cuma melalui situs-situs pemerintah, seperti situs IDX[14] dan KSEI[15], atau melalui situs-situs lainnya. Apalagi, jika tiap institusi pendidikan mau memasukkan pendidikan pasar modal ke dalam kurikulum mereka. Penulis berpendapat, edukasi pasar modal akan berjalan baik jika dilaksanakan secara bottom-up, bukan secara top-down. Berawal dari institusi pendidikan yang memberikan insentif dan fasilitas untuk mengembangkan edukasi pasar modal, dan pada akhirnya akan berkembang dengan sendirinya.
Tantangan kedua dalam menciptakan investor adalah adanya stigma bahwa berinvestasi itu mahal. Padahal, dana minimum yang dibutuhkan untuk membuka sebuah rekening saham, hanya tiga juta rupiah. Dana sebesar ini, jika memang dirasa masih terlalu besar, dapat diperoleh melalui fasilitas investment club, yaitu semacam kelompok yang anggotanya mengumpulkan dana untuk berinvestasi dan hasil investasi dibagi secara merata berdasarkan kesepakatan. Investment club ini sangat cocok diterapkan terutama kepada kalangan pelajar dan mahasiswa. Lagi-lagi, sebelum investment club ini dapat terbentuk, dibutuhkan edukasi tentang pasar modal dan insentif dari institusi terkait. Peran Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal) dalam menjadikan investasi murah juga sangat menentukan. Sampai sekarang, tidak ada aturan yang mengatur jumlah minimum pembukaan rekening saham. Penulis mengusulkan agar Bapepam mewajibkan setiap sekuritas agar mengizinkan limit minimum pembukaan rekening saham di bawah satu juta rupiah.
3. Insentif Pemerintah
Mau tidak mau, pemerintah juga harus turut campur dalam memberikan insentif untuk mengembangkan kewirausahaan dan jiwa investor. Pemerintah hendaknya mengatur kurikulum edukasi kewirausahaan dan investasi melalui perundang-undangan, minimalnya keppres. Khusus untuk pasar modal, pemerintah cukup memberikan arahan kepada Bapepam-LK -sebagai perpanjangan tangannya- agar memberikan kemudahan bagi investor di bidang ini. Bersama dengan undang-undang, pemerintah diharapkan mampu memberikan insentif langsung, seperti kredit mikro tanpa agunan untuk pelajar, mahasiswa, dan masyarakat pedesaan, atau semacam kredit lunak investasi (pinjaman dari pemerintah khusus untuk berinvestasi, dengan bunga yang sesuai). Kalau pemerintah bisa mengatur moral bangsa selama ini melalui UU Pornografi dan lainnya, pasti pemerintah pasti juga bisa mengatur kewirausahaan dan investasi dalam sebuah undang-undang.
Selain melalui perundangan-undangan, pemerintah -menurut hemat penulis- sudah semestinya mereformasi birokrasi, agar lebih cepat dan mengurangi biaya[16]. Unit Pelayanan Terpadu (UPT) birokrasi yang ada selama ini dirasakan masih kurang maksimal. Berbagai pungutan liar masih dijumpai di sana-sini, belum lagi rumitnya proses birokrasi. Khusus mengenai masalah birokrasi ini, sebaiknya pemerintah menjadi pemerintah yang katalis terhadap birokrasi, memberdayakan masyarakat, dan menjadikan birokrasi menjadi kompetitif[17]. Pemerintah yang katalis memiliki pengertian bahwa pemerintah -melalui birokrasi- sebaiknya tidak menyetir, tetapi mendayung dan mendorong. Birokrasi hanya diberlakukan jika masyarakat tidak mampu melakukannya sendiri (birokrasi terhadap hal sepele sudah tidak diperlukan). Pemerintah juga berperan dalam memberdayakan masyarakat, agar mereka dapat mandiri dan dapat menyelesaikan urusannya sendiri, sehingga tidak ada ketergantungan terhadap pemerintah. Yang terakhir, pemerintah mampu menjadikan birokrasi di berbagai bidang menjadi kompetitif, sehingga efisiensi birokrasi akan terbentuk dengan sendirinya.
Lebih daripada itu, hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan sosialisasi semaksimal mungkin, agar program-program kewirausahaan dan investor dapat diketahui masyarakat luas. Selama ini, program-program yang digulirkan pemerintah terasa kurang terdengar gaungnya. Informasi hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja, sedangkan kalangan menengah bawah (seperti di pedesaan), tidak dapat mengakses informasi ini. Sosialisasi dapat dilakukan melalui iklan televisi, iklan radio lokal, atau melalui perangkat-perangkat desa setempat. Lagipula, apa gunanya program yang bagus tanpa sosialisasi yang bagus, di mana semua lapisan masyarakat dapat mengakses informasi tentangnya.
  1. Kesimpulan
Kalau bangsa ini masih memegang paradigma nasionalisme yang lama, apa lacur, sampai kapanpun, bangsa ini akan sulit maju. Terbukti bahwa paradigma nasionalisme ekonomi yang selama ini dipahami, setelah didekonstruksi dan dianalisis reflektif filosofis, malah taklebih sebagai bumerang bagi nasionalisme itu sendiri -sewaktu-waktu dapat berbalik dan menghancurkannya. Nasionalisme ekonomi yang selama ini diyakini, ternyata minim peran serta masyarakat secara langsung. Ironisnya, tidak banyak masyarakat yang tahu, bahwa mereka dapat berpartisipasi dalam mengembangkan nasionalisme ekonomi secara luas dan berkesinambungan, bukan sekedar retorika belaka, tetapi aksi nyata. Paradigma nasionalisme ekonomi baru adalah nasionalisme yang tidak sekedar bergantung pada kebijakan pemerintah. Nasionalisme ekonomi baru adalah nasionalisme mandiri; nasionalisme yang menggunakan produk dalam negeri dengan tetap menjaga kualitas serta efisiensi. Nasionalisme ekonomi baru tidak menjadikan bangsa sendiri sebagai bangsa konsumen, tetapi sebagai bangsa produsen berbasiskan ekonomi kreatif dan kewirausahaan. Nasionalisme ekonomi baru tidak sekedar menentang impor -apapun bentuknya-, tetapi nasionalisme yang mampu mendayagunakan produk impor untuk diproduksi kembali. Nasionalisme ekonomi baru bukan nasionalisme retorika untuk menekan pemerintah menasionalisasi eks-BUMN, tetapi nasionalisme masyarakat mandiri yang menasionalisasi eks-BUMN melalui partisipasi di dalam bidang pasar modal. Sudah saatnya kita bangun bersama nasionalisme ekonomi baru yang mandiri dan bukan retorika !
Daftar Pustaka
Audi, Robert. 1995. The Cambridge Dictionary Of Philosophy. Cambridge University Press
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, berbagai edisi
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, berbagai edisi
Bahar, S. (1998). Sumbangan Daerah Dalam Proses Nation-Building Dalam Regionalisme, Nasionalisme, Dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, berbagai edisi
Boediono. 2001. The Fund-Supported Program In Indonesia : Comparing Its Implementation
Fearn, Nicholas. 2002. Zeno And The Tortoise, How To Think Like A Philosopher. Atlantic Books. London
Florida, Richard. 2005. Cities and the Creative Class. Routledge New York-London
Goeltom, Miranda. Under Three Regimes. Paper was presented at the IMF Seminar on Conditionally, Tokyo
Hill, Hall. 2000. The Indonesian Economy, Second Edition. Cambridge Univerity Press
Howkins, John. 2001. The Creative Economy: How People Make Money from Ideas. Penguin Publisher
Kearney, Richard. 2005. Routledge History Of Philosophy – Volume 8 – Twentieth Century Continental Philosophy. Routledge. London
Kuncoro, Mudrajad. Mengkaji Ulang Nasionalisme Ekonomi, Sebuah Esai
Lembaga Penelitian Ekonomi IBII. 2005. Makro Ekonomi Indonesia: Perkembangan Terkini dan Prospek 2006, Penanggulangan Kemiskinan, Arah Pengembangan Industri Manufaktur. Jakarta. IBII
Majalah FOKUSS, Forum Kustodian Sentral Efek Indonesia, edisi 4 tahun 2009. Kustodian Sentral Efek Indonesia
Presentasi Menteri BUMN. 30 Oktober 2008. Peranan BUMN dalam Menunjang Perekonomian Nasional.
Seda, Frans. 2004. Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Berimbang dan Dinamis
Smith. A.D. (1972). Theories of nationalism.New York: Harper & Row Publishers
Todaro, Michael P. 1997. Economic Development, Sixth Edition. Longman


[1] Jacques Derrida adalah seorang filsuf pos modern. Filsafatnya banyak dipengaruhi oleh Hegel, Freud, Heidegger, dan Sartre
[2] Sebetulnya, Derrida sendiri mengakui jika konsep dekonstruksi ini tidak mudah untuk dipahami. Di dalam suratnya pada tahun 1983, “Letter To A Japanese Friend”, ia menyatakan bahwa dekonstruksi tidak berdefinisi negatif -dan bukan berarti dekonstruksi langsung berdefinisi positif juga- dan bukan suatu proses penghancuran konsep, melainkan lebih kepada penyingkapan (revelation).
[3] Kegagalan bank yang bersifat sistemik ditandai yang dengan beberapa hal misalnya merger bank yang bersifat rescue program (demi penyelamatan kesehatan bank), penutupan bank-bank bermasalah (likuidasi), bank take over dan bank runs
[4] Untuk mengantisipasi adanya tekanan besar dari pasar mata uang yg spekulatif, pemerintah bersama IMF mengantisipasi dengan mengintervensi nilai rupiah dan memberikan likuiditas sebesar Rp 62,9 T pada Desember 1997 (10,1 % GDP)
[5] Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi, Sandiaga Salahuddin Uno, pernah mengatakan pada Lokakarya “Akselerasi Pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit Guna Mewujudkan Kesejahteraan Petani” di Menara Kadin Jakarta bulan Juli lalu, bahwa, pertumbuhan UMKM terkoreksi menjadi dibawah 15 persen, dari realisasi pertumbuhan antara 15-20 persen setiap tahunnya.
[6] Berdasarkan data dari situs http://www.vibiznews.com/news_financial.php?id=392&sub=news&page=bondsmutual
[7] Total transaksi jual dan beli dari pihak asing pada tahun 2008 sebesar 570.667 milyar atau hampir 50 % dari total transaksi (IDX Yearly Statistics 2008)
[8] Dulu dikenal sebagai JATS (Jakarta Automated Trading System)
[9] Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah wirausahawan di Indonesia hanya berkisar 0,18 persen dari seluruh jumlah penduduk di tanah air. Padahal idealnya, jumlah wirausahawan di suatu negara adalah lebih dari 2 persen jumlah penduduk.
[10] Definisi ini diambil dari pencetus gagasan ekonomi kreatif untuk pertama kalinya, yaitu John Howkins, penulis buku “Creative Economy, How People Make Money from Ideas
[11] http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=12&id=1060
[12] http://www.learningpartnership.org/en/partners/india
[13] https://nsdl.co.in/index.php(Data per 12 September 2009)
[14] http://www.idx.co.id/MainMenu/Education/MengenalPasarModal/tabid/137/lang/id-ID/language/id-ID/Default.aspx
[15] http://www.ksei.co.id
[16] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation, Indonesia memiliki birokrasi yang buruk. Sebagai perbandingan, Amerika hanya ada empat prosedur yang harus dilalui oleh pengusaha untuk mendaftarkan usahanya, yang hanya membutuhkan waktu empat hari. Di Thailand, ada tujuh macam prosedur yang rata-rata memakan waktu 22 hari, sedangkan pengusaha Indonesia harus melalui rata-rata 11 prosedur yang memakan waktu 128 hari.
[17] Lihat David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government, 1992, hlm. Ix. Buku ini dialibahasakan ke dalam bahasa Indonesia: David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995.

Posting Komentar

0 Komentar