Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membangun Jiwa Entrepreneurship Sebagai Jiwa Interdependen

Syaykh Al-Zaytun Dr Abdussalam Panji Gumilang, yang juga Rektor Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia, mengatakan, membangun jiwa Entrepreneurship adalah sebuah perkara besar, terutama bagi generasi muda untuk membangunkan jiwa dan raganya. Menurutnya, jiwa Entrepreneur adalah jiwa yang tak dependen tetapi sekaligus juga tidak independen, melainkan jiwa interdependen.
Syaykh menguraikan pengalamannya tatkala berdialog di awal tahun 1960-an dengan tokoh-tokoh yang dahulu dikagumi. Tokoh itu selalu berpesan kepada Syaykh, agar jangan mau menjadi pegawai melainkan jadilah orang yang memiliki pegawai. Ternyata, pesan itu, dalam bahasa kekinian adalah penanaman jiwa Entrepreneur sebuah jiwa yang tak dependen dan juga tidak independen.
Sebabnya, jiwa dependen adalah jiwa budak yang tidak mampu membangun walaupun dirinya sendiri. Tetapi jiwa independen pun adalah jiwa liar yang tidak sanggup mengontrol dirinya sendiri.
Karena itu, para pembangun yang dikehendaki negeri ini haruslah mempunyai satu jiwa, yakni jiwa enterprener, sebuah jiwa yang memiliki seribu satu akal untuk maju dan interdependen.
Pemilik jiwa Entrepreneurship adalah manusia yang memiliki pemikiran jauh ke depan. Ia akan selalu hidup berdampingan secara interdependen dengan sesamanya. Jiwa interdependen akan membawa kejayaan kepada orang per orang sesuai fitrah, harkat dan martabat manusia yang diciptakan untuk saling memiliki saling ketergantungan, dan mampu memanfaatkan setiap apapun yang ada di dunia.
Pernyataan Syaykh demikian itu disampaikan sebagai pengantar menjelang kuliah umum atau stadium general, yang disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI HM Aksa Mahmud di hadapan civitas akademika Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia, Sabtu 25 November 2006.
Kuliah umum bertempat di Auditorium Mini Zeteso Al-Zaytun, itu sekaligus pula sebagai Silaturahim Idul Fitri 1427 H, antara Keluarga Besar Universitas Al-Zaytun dengan Aksa Mahmud, yang juga pengusaha terkemuka pendiri dan pemilik Grup Bosowa. Aksa Mahmud yang juga Wali Amanah Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta, ini adalah salah seorang figur turut berperan di belakang layar hingga terbentuknya Universitas Al-Zaytun Indonesia.
Kehadiran Aksa Mahmud ke Sandrem Kecamatan Gantar, Indramayu, Jawa Barat kali ini adalah yang kedua setelah kunjungan pertama persis saat peresmian pendirian UAZ Indonesia Agustus 2005, bersama rombongan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Kini, Aksa hadir di tengah-tengah ratusan mahasiswa angkatan pertama dan kedua UAZ Indonesia, untuk menularkan jurus-jurus menjadi pengusaha yang sukses. Kiatnya ternyata sangat jitu.
Kehilangan Modal EntrepreneurshipDalam sambutan pengantarnya Rektor Universitas Al-Zaytun Indonesia Syaykh AS Panji Gumilang mengatakan, hidup di dunia adalah hidup interdependen sebagai satu kultur. Modal kultur tidak bisa berdiri sendiri ia perlu modal kedua yaitu modal sosial. Modal sosial adalah keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Modal ketiga adalah kepribadian.
Mahasiswa UAZ Indonesia menyambut H.M Aksa Mahmud dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Universitas Al-Zaytun IndonesiaKetiga modal tersebut sangat dibutuhkan untuk hidup di dunia. Ketiganya harus saling mengikat. Setiap Entrepreneur harus mampu menerjemahkan antara kultur, sosial, dan kepribadian. Manusia selama hidup di dunia dibatasi oleh ketiga modal itu, membuatnya tak bisa dibandingkan dengan hidup di akhirat yang tidak memiliki batasan-batasan.
Menurut Syaykh, bangsa Indonesia sudah memiliki berbagai kapital untuk maju. Paling tidak kapital pertama berupa kultur, kedua sosial, dan yang ketiga modal ekonomi. Modal keempat yang juga sudah dimiliki adalah kapital simbolik.
Keempat modal itu diyakini Syaykh akan mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan kuat. Namun rupanya masih ada sesuatu yang hilang dari antaranya. Yaitu modal Entrepreneursip bangsa yang belum dipersiapkan secara matang.
Sesungguhnya, kata Syaykh, di awal kemerdekaan bangsa Indonesia sudah memiliki Entrepreneursip yang tinggi. Dan pelopor modal ini justru disponsori oleh orang-orang yang hidup di lingkungan pesantren.
Pada tahun 1945 hingga 1960-an para entreprener dari lingkungan pondok pesantren sangat menguasai betul usaha perbatikan, hingga melahirkan apa yang disebut GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Demikian pula penguasaan atas perusahaan rokok, perkapalan, armada darat, armada laut, hingga percetakan. Semuanya disponsori oleh kalangan pondok pesantren.
Akan tetapi mereka mulai hilang dari peredaran karena jiwa Entrepreneurship mereka yang tinggi tidak didukung oleh profesionalitas.
Kendati berhasil mencapai kemajuan yang begitu tinggi para enterperenur tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga selepas tahun 1965-an hilanglah pengaruhnya. Sebagai misal, GKBI hilang lantas digantikan oleh Batik Keris. Rokok Cap Jangkar hilang digantikan oleh Gudang Garam dari Kediri. Demikian pula Sarung Pelikat keluaran santri tulen, atau sarung Cap Padi dari Garut, semua hilang digantikan oleh bermacam-macam cap saat ini.
Pengusahanya bukan lagi berasal dari lingkungan pondok pesantren, sebab mereka itu tidak memiliki profesionalitas sehingga rontok semua habis dari peredaran.
Kini, Bangunkan KembaliKesadaran untuk mengembalikan kejayaan para Entrepreneur lama dari pondok pesantren untungnya sudah muncul kembali, belum begitu terlambat memang. Syaykh mengatakan barulah sejak tahun 1999 Al-Zaytun tampil memelopori kebangkitan kembali Entrepreneur dari kalangan pondok pesantren ini.
Akan tetapi, rupanya membangun kejayaan baru tidak boleh berdiri di atas kejayaan lama. Sebab tidak bakal bangkit-bangkit nantinya. Manajemenlah yang harus mengubah untuk tak lagi kembali ke kejayaan lama.
Semua lingkungan sudah berubah, mengembalikan kejayaan lama haruslah dengan membangun di atas dasar profesionalitas yang kuat.
Manajem Al-ZaytunSementara itu, HM Aksa Mahmud, Wakil Ketua MPR RI yang sudah puluhan tahun malang melintang sebagai Entrepreneur sukses, sangat mengerti betul bahwa Al-Zaytun adalah sebuah pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pusat pengembangan budaya perdamaian yang pengelolaannya murni seperti layaknya sebuah institusi wirausaha. Semua biaya pengelolaan pendidikan dihitung rinci untuk tak menyisakan sedikitpun material terbuang percuma.
Sementara dari sisi keseimbangan lain tak ada sejengkal tanah pun yang dibiarkan percuma tak berproduksi. Di Al-Zaytun setiap mahasiswa bukan dididik menjadi guru sandaran, melainkan, bersama santri, ustad, serta seluruh eksponen bahu-membahu membangun kewirausahaan khas ala lembaga pendidikan terpadu.
Di Al-Zaytun inilah Aksa Mahmud menyaksikan sendiri bagaimana ilmu dan penerapan aplikatifnya berjalan seiring sejalan. Karena sasaran yang hendak dicapai di tahun 2020, yakni menciptakan Indonesia yang kuat harus sudah merupakan sebuah cita-cita yang wujudnya seolah sudah berada di hadapan mata. Aksa Mahmud mengagumi betul bagaimana pola pendidikan terpadu dengan sistem satu pipa, itu sangat mendukung realisasi cita-cita menciptakan Indonesia yang kuat tersebut.
Karena itulah jurus-jurus bagaimana menjadi Entrepreneur yang sejati, yang ditebarkan oleh HM Aksa Mahmud seorang “Saudagar Bugis Yang Cerdas”, seolah menjadi enerji baru yang menghinggapi seluruh civitas akademika Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia. Maklum, penyajinya sudah terbukti jitu menyiasati peta perjalanan pasang-surut sebuah dunia usaha.
Enerji itu kini mulai membuat seluruh civitas akademika UAZ Indoneisai semakin melek akan semangat membangun kewirausahaan secara mandiri, untuk mengembalikan kejayaan jiwa Entrepreneur di lingkungan pondok pesantren.
“Saya melihat, saya keliling, dan saya mendengar dari Syaykh tadi, guru enterprenur itu ada di sini yaitu Syaykh. Saya membayangkan lahan yang ada di sini tanah yang kering, dari tidak ada air menjadi ada air, dari yang tidak bisa hujan bisa dibikin menjadi hijau, dan semuanya menjadi bisa berproduksi,” kata Aksa.
Aksa menyebutkan problem semua pondok pesantren di seluruh Indonesia sama saja. Yakni, kendati memiliki aset yang besar tetapi manajemennya tidak dikelola secara profesional. Banyak sekali pondok pesantren di Indonesia tidak dikelola oleh Entrepreneur, tetapi dikelola secara lillahi taala (semua terserah Tuhan).
Aksa Mahmud berharap bangsa ini harus menciptakan banyak pengusaha. Mahasiswa UAZ Indonesia pun diharapkannya, kalau sudah tamat harus menjadi pengusaha untuk menggantikan pengusaha dari pondok pesantren yang sempat menghilang.
Aksa berkisah dahulu sewaktu era awal kemerdekaan di Indonesia banyak tersebar Entrepreneur. Mereka ada di setiap desa dan di setiap pelosok. Tetapi mereka semua mati karena di era pemerintahan lalu, yang bertahan hingga 32 tahun terjadi kerusakan Entrepreneur. Para Entrepreneur hilang dari permukaan dan tidak berkembang. Semua pengusaha yang lahir saat itu adalah produk penguasa.
Aksa memastikan era pemerintahan saat ini sudah berbeda. Pemerintah membuka kesempatan lebar kepada siapa saja yang mau maju dan berkembang untuk menjadi pengusaha.
“Inilah harapan kita, mudah-mudahan menjadi konsistensi pemerintah, bahwa para alumni yang masih mahasiswa sekarang ini, setiap tahunnya agar diberi kesempatan untuk berusaha. Untuk diberi berusaha ini harus ada persiapan. Tidak ada negara yang maju tanpa keberpihakan kepada perusahaan dan pengusaha pribuminya. Harus diantar keberpihakan dulu, setelah siap bersaing baru dilepas,” kata Aksa Mahmud.HT/Am/MS (Berita Indonesia 27)

Posting Komentar

0 Komentar