Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hidup Sejati Bangsa Berwatak

Sebagai bangsa, kita harus memiliki kemauan hidup yang kuat sehingga existensi kehidupan bangsa ini terus berkelanjutan. Namun berkelanjutan hidup saja pun belumlah cukup. Hidup bangsa barulah dinamakan hidup sejati jika hidupnya memiliki arah dan mempunyai isi. Hidup bangsa barulah sejati jika hidupnya tidak kosong, namun memiliki tujuan yang jelas, sehingga menjadi bangsa yang berwatak.
Syaykh Al-Zaytun Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang mengemukakan hal itu dalam Seminar Nasional Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diselenggarakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti, Tegal, Sabtu, 27 November 2010 di kampus universitas tersebut di Jln. Halmahera KM 1 Tegal.
Seminar bertema “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam Menjawab Tuntunan Penuntasan Reformasi Menuju Terciptanya Masyarakat Madani” itu diikuti 600 peserta terdiri dari para dosen, mahasiswa dan guru-guru sekitar Kota Tegal. Dalam seminar tersebut ada tiga nara sumber yang memaparkan makalah yakni Prof. Drs. H. Suwarma Al-Muhtar SH M.Pd dari UPI Bandung, Prof Drs. H. Kaelan M.Si. dari UGM Jogyakarta dan Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang dari Al-Zaytun.
Syaykh AS Panji Gumilang tampil sebagai pembicara terakhir (ketiga) yang oleh panitia menyebutnya sebagai ‘gongnya’. Syaykh al-Zaytun memaparkan makalah dengan tema “Membangun Character Bangsa Implementasi Nilai-nilai Dasar dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia dalam Menjawab Tuntutan Zaman.” Syaykh didampingi moderator Dr. H. Basukiyanto M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti.
Syaykh mengawali dengan ucapan salam, dilanjutkan salom, salom, salom serta menyanyikan sebuah lagu dari Mazmur “ Henne mattov umannaim syevet akhim gam yakhad’, Henne mattov syevet akhim gam yakhad’. Alangkah indah kita dapat bertemu di tempat seperti ini bisa bersatu, indah sekali, dari segala macam suku, segala macam budaya segala macam agama, kita bertemu dalam satu rumah dan rumah itu adalah Indonesia. Maka mari kita katakan di sini Indonesia rumahku, Asia halaman rumahku, Australia, Amerika, Eropa dan Afrika, tempat rekreasiku,” seru Syaykh pada awal penyampaian makalahnya yang mendapat sambutan hangat dari peserta seminar.
“Jadi kalau kita ingin dihitung orang di dunia, di mana rumahku, jawabnya Indonesia. Saya cinta Indonesia sampai kapan pun,” tambah Syaykh dengan suara lebih tegas membangkitkan semangat para peserta seminar. Para peserta pun tampak makin antusias menyimak pemaparan Syaykh Panji Gumilang. Tak satu pun yang kelihatan ngantuk apalagi meninggalkan tempat duduknya. “Biasanya kalau seminar, pesertanya banyak yang sudah keluar sebelum acara selesai. Tapi kali ini lain, Syaykh Panji Gumilang mampu menyajikan sesuatu yang baru, terbukti acara yang dimulai pada pk 09.00 sampai dengan pk 14.00 itu diikuti dengan serius oleh seluruh peserta seminar sampai dengan selesai,” ujar seorang panitia.
Apalagi dalam sesi tanya jawab, Syaykh menyajikan suatu hal yang baru. Biasanya para peserta (audience) yang diberi kesempatan bertanya oleh moderator dan pemakalah (narasumber) yang menjawab. Tapi kali ini, kebalikannya, justru Syaykh (pemakalah) yang bertanya dan audience yang dipersilahkan menjawab. Sehingga para peserta berkesempatan mengemukakan pikiran-pikiran segarnya. Makanya, gairah dan konsentrasi mengikuti seminar tersebut pun tetap penuh sampai akhir. Tidak seorang pun dari 600 orang lebih peserta itu yang bergeser dari tempat duduknya, mereka dengan penuh antusias mengikuti acara diskusi tersebut.
Selesai memaparkan makalah, Syaykh mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama: Mengapa nilai-nilai dasar Indonesia (Pancasila) sekarang ini menjadi tidak populer? Dengan antusias peserta memberikan jawaban sesuai dengan sudut pandangnya. Dilanjutkan dengan pertanyaan kedua: UUD 1945 hari ini, benarkah itu UUD 1945? Peserta pun dengan antusias menjawab pertanyaan tersebut dengan visi masing-masing si penjawab. Seterusnya dilanjutkan dengan pertanyaan ke tiga: Sisi mana UUD 1945 hari ini yang paling tidak sesuai dengan Pancasila? Disudahi dengan pertanyaan, keempat: Perlukah kita kembali kepada UUD 1945 yang diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945?
Syaykh AS Panji Gumilang sebagai narasumber didampingi moderator Dr. H. Basukiyanto M.PdSemua pertanyaan itu dijawab dengan antusias, baik dari mahasiswa, guru maupun dosen yang menjadi peserta seminar tersebut. Menurut peserta maupun panitia, cara ini adalah cara yang baru, dan materinya dapat direspon dengan baik. Semua peserta merasa puas. Kata Syaykh, inilah yang dimaksud dengan metoda: Learning action in action.
Suasana seminar itu pun, secara langsung, telah menunjukkan sebuah proses (buah) pembinaan watak yang penuh semangat, kemauan hidup dan kegigihan, yang merupakan bagian penting dari tema seminar, khususnya makalah yang disampaikan Syaykh al-Zaytun.
Sebagai bangsa, kata Syaykh, kita harus memiliki kemauan hidup yang kuat sehingga eksistensi kehidupan bangsa ini terus berkelanjutan. “Namun berkelanjutan hidup saja pun belumlah cukup. Hidup bangsa barulah dinamakan hidup sejati jika hidupnya memiliki arah dan mempunyai isi. Hidup bangsa barulah sejati jika hidupnya tidak kosong, namun memiliki tujuan yang jelas sehingga menjadi bangsa yang berwatak,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Syaykh, diperlukan suatu pembinaan watak bangsa, yakni character building, yaitu membina watak, membina rokh, membina semangat, yang kaitannya adalah membangun batin manusia, yang memengaruhi segenap pikir dan tingkah laku, budipekerti maupun tabiat.
Menurut Syaykh al-Zaytun, membangun character menjadi sangat diperlukan dalam memaknai kehidupan merdeka yang telah dicapai oleh bangsa kita atas karunia Allah. “Pendahulu kita telah menghantarkan Hidup Merdeka dari kehidupan kolonialis dan imperialis penjajah, karena mereka memiliki kegigihan. Gigih telah menjadi watak mereka, sehingga mampu menghantar dan mewujudkan kemerdekaan kepada bangsanya, mereka itulah para pahlawan,” papar Syaykh.
Introspeksi Nurani
Syaykh mengatakan, hari ini, alangkah baiknya jika kita lebih banyak melihat ke dalam hati nurani masing-masing, menyatakan introspeksi, bertanya kepada diri masing-masing: untuk apa sebenarnya kita dilahirkan ke dunia ini?
Syaykh AS Panji Gumilang, Prof. Kaelan dan Prof. Suwarma saat sebelum seminar dimulaiSyaykh menjawab sendiri pertanyaan itu: “Kita dilahirkan bukan untuk yang lain-lain, kita dilahirkan dan dihidupkan di dunia ini, untuk mengabdi kepada Pencipta kita, mengabdi kepada Pembuat sesama hidup, yaitu Tuhan Robbul’alamin.”
Kemudian, Syaykh lanjut bertanya, dapatkah kita mengabdi kepada Tuhan Robbul’alamin kalau kita tidak memiliki moral hidup terhadap sesama, sesama mahluk, sesama renik-penik yang hidup di semesta alam ini? Menurut Syaykh, pengabdian kepada Tuhan Robbul’alamin mengandung makna: Rukun damai sesama manusia dan sesama bangsa, karena pengabdian kepada Tuhan Robbul’alamin kita mengajak semua manusia hidup rukun damai, saling kerjasama, membantu satu sama lainnya, saling mengangkat derajat hidup masing-masing, baik lahir maupun batin, jasmani maupun ruhani.
Dalam kaitan inilah Syaykh menekankan kita harus memiliki kemauan hidup sebagai bangsa yang kuat, memiliki hidup sejati sebagai bangsa yang berwatak, sebagaimana telah dikutip pada bagian awal (lead).
Syaykh memaparkan bahwa para pahlawan telah membangun gegap gempita kertaning bumi Indonesia (kegigihan). Diwujudkan dalam bentuk Proclamation of Independence dan Declaration of Independence sekaligus! “Mengapa mereka bisa?” tanya Syaykh. “Karena jasad mereka memiliki batin yang penuh semangat, memiliki roh yang gilang gemilang dan watak yang gigih,” paparnya.
Dalam pandangan Syaykh, membangun character bangsa adalah membangun pandangan hidup, tujuan hidup, falsafah hidup, rahasia hidup serta pegangan hidup suatu bangsa. Sebagai bangsa, bangsa Indonesia telah memiliki pegangan hidup yang jelas. Dimulai sejak dikumandangkannya Proclamation of Independence Indonesia dan dicetuskannya Declaration of Independence daripada Indonesia, sebagai cetusan kemerdekaan dan dasar kemerdekaan, sekaligus menghidupkan kepribadian bangsa Indonesia dalam arti kata yang seluas-luasnya, meliputi kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, kepribadian kebudayaan atau kepribadian nasional.
Menurut tokoh pembawa damai dan toleransi ini, untuk mendalami nilai-nilai yang terkandung di dalam Declaration of Independence Indonesia, ada baiknya kita membandingkan dengan Declaration of Independence Amerika, yang dicetuskan oleh Thomas Jefferson, dan Manifesto Komunis yang dicetuskan oleh Karl Marx dan Frederich Engles, yang semuanya itu adalah sangat progresiif pada zamannya masing-masing. Declaration of Independence Amerika menuntut: Hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan bagi semua manusia. Dan Manifesto Komunis mengatakan bahwa: Jikalau kaum proletar di seluruh dunia bersatu padu dan menghancurkan kapitalisme, mereka tak akan kehilangan barang lain daripada rantai belenggunya sendiri, dan sebaliknya akan memperoleh satu dunia yang baru.
“Kita bangsa Indonesia melihat bahwa Declaration of Independence Amerika itu tidak mengandung keadilan sosial atau sosialisme, dan kita melihat bahwa Manifesto Komunis itu masih harus dipertinggi jiwanya dengan Ketuhanan YME,” kata Syaykh.
Para peserta seminar terdiri para dosen, mahasiswa dan guru sebayak 600 orangOleh itu, menurut Syaykh, kita hormat kepada para pahlawan bangsa yang telah meletakkan nilai-nilai kemerdekaan dan nilai-nilai Declaration of Independence Indonesia, sehingga dengannya mampu mengikat Bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberitahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu.
Prinsip-prinsip itu, kata Syaykh, dihimpun oleh pernyataan kemerdekaan dan ketegasan jawab, untuk apa merdeka! Untuk apa kemerdekaan itu? Jawabannya tegas. Kemerdekaan untuk Bersatu. Kemerdekaan untuk Berdaulat. Kemerdekaan untuk Adil dan Makmur. Kemerdekaan untuk Memajukan Kesejahtraan Umum. Kemerdekaan untuk Mercerdaskan Kehidupan Bangsa.
Kemerdekaan untuk Ketertiban Dunia. Kemerdekaan untuk Perdamaian Abadi. Kemerdekaan untuk Keadilan Sosial. Kemerdekaan yang Berkedaulatan Rakyat. Kemerdekaan yang didasari oleh Iman kepada Tuhan YME. Kemerdekaan yang Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemerdekaan yang berdasar kepada Persatuan Indonesia. Kemerdekaan yang berdasar Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kemerdekaan yang mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua itu tercantum di dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar Negara Indonesia (Declaration of Independence of Indonesia).
Prinsip-prinsip tersebut telah jelas! Semua itu harus menjadi kepribadian Bangsa Indonesia, menjadi sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang Indonesia, atau bangsa Indonesia, yang dapat membedakannya dari orang atau bangsa lain. Yakni watak yang menonjol yang ada pada banyak warga suatu kesatuan bangsa Indonesia, yakni kepribadian Nasional Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut, merupakan Amanat Kemerdekaan Indonesia, Amanat Rakyat Indonesia, Amanat Bangsa Indonesia, yakni mereka yang telah tiada, mereka yang hari ini ada dan mereka yang akan ada dikemudian hari, yang sering disebut oleh Bangsa Indonesia sebagai “Amanat Penderitaan Rakyat.”
Syaykh menyerukan, di saat bangsa Indonesia dalam suasana memperingati Hari Pahlawan 10 November, marilah kita sebagai bangsa, bercermin, dan kaca cermin yang kita gunakan adalah cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni: Merdeka untuk Bersatu, Berdaulat, Adil Makmur, Memajukan Kesejahtraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Ketertiban Dunia, Perdamaian Abadi, Keadilan Sosial, Berkedaulatan Rakyat, Iman kepada Tuhan YME. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Dari cermin tersebut kita dapat bertanya, sudah seperti yang dikehendaki oleh amanat kemerdekaankah Kepribadian Nasional Bangsa Indonesia? Kepribadian Nasional yang meliputi kepribadian politik kepribadian sosial kepribadian kebudayaan, semua semestinya berkiblat kepada cita-cita utama atau amanat kemerdekaan dan deklarasi kemerdekaan Indonesia yang jelas tersebut.
Oleh karenanya, lanjut Syaykh, menciptakan dan mewujudkan kesadaran terhadap jiwa kemerdekaan dan deklarasi kemerdekaan itu, harus terus diusahakan, dalam bentuk program nasional, dituangkan dalam bentuk pendidikan yang jelas, yang dapat dijiwai oleh segala lapisan rakyat Indonesia. Diberikan sejak usia dini, dibangku sekolah, di kancah organisasi massa, di arena partai politik di segala kesempatan pelaksanaan kaderisasi, sehingga dapat dijiwai oleh segenap warga negara.
Rujukan Karakter Bangsa
Syaykh al-Zaytun menegaskan bahwa membangun character bangsa rujukannya pun jelas yakni merujuk kepada jiwa proklamasi dan deklarasi kemerdekaan. “Kita sebagai bangsa harus yakin dan meyakini bahwa jiwa tersebut tetap relevan dengan perubahan zaman yang sekarang terjadi,” katanya. Sebab, menurut Syaykh, cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sangat universal, manusiawi adanya, sehingga tidak akan terhambat oleh kemajuan zaman apa pun bentuknya.
Syaykh Al-Zaytun beserta sahabat berpose di samping makam HM Soeharto“Adapun bila di saat-saat ini, terjadi kesunyisenyapan bangsa Indonesia terhadap cita-cita kemerdekaan dan deklarasi kemerdekaannya, itulah suatu kelengahan, yang harus segera disadarkan kembali, digugah kembali, diyakinkan kembali, tidak ada kata terlambat dalam membangun suasana sadar,” Syaykh mengingatkan.
Adapun bentuk perubahan dunia, menurut Syaykh, seluruh ummat manusia di dunia ini tetap mendambakan perikemanusiaan, perdamaian, persahatan antar bangsa bebas dari penindasan antar sesama maupun antar negara, dan hal itu merupakan kandungan cita-cita kemerdekaan dan deklarasi kemerdekaan Indonesia.
Syaykh pun mengingatkan pesan yang terkandung dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya terdapat satu diktum kalimat yang berbunyi “Hiduplah Indonesia Raya”. Negara kita Indonesia Raya, hidup dan akan terus hidup serta tegak berdiri di atas dasar: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Untuk kesekian kalinya, Syaykh menjelaskan bahwa nilai-nilai dasar negara Indonesia ini, sepenuhnya merupakan ajaran Ilahi, yang dapat berlaku untuk semua rakyat dan bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar negara ini merupakan ideologi modern, untuk masyarakat majemuk yang modern, yakni masyarakat Indonesia. Semuanya adalah manifestasi daripada taqwa.
Menurut Syaykh, negara adalah sebuah wahana Darma Bhakti, pengabdian dan ibadah. “Maka pengabdian dalam sebuah negara asasnya adalah taqwa. Kalau dianalogkan, negara analoginya adalah masjid, tempat sujud (pengabdian). Maka masjid itu harus didirikan di atas asas landasan taqwa,” jelasnya. Lalu mengutip QS At Taubah 108: “Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.”
Kemudian, lanjut Syaykh, negara yang merupakan wahana aktivitas dan interaksi sesama warga (bergotong royong), maka segala aktivitas dan interaksi mereka (gotong royong) harus dilakukan di atas taqwa juga. Dalam kaitan ini, Syaykh mengutip QS Al-Maidah: 2: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Karenanya, Syaykh memaparkan, sebagai nilai-nilai dasar yang modern, juga menjadi ideologi yang dinamis; dimana watak ideologi dinamis itu adalah terbuka. Konsekuensinya, seluruh nilai yang terkandung di dalam konstitusi (UUD) negara sepenuhnya harus berlandaskan ideologi dan nilai-nilai dasar negara tersebut. Tafsir daripada nilai-nilai dasar negara yang baku sesungguhnya adalah konstitusi atau UUD negara. Karenanya, UUD menjadi tidak relevan bahkan tidak valid bila bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara.
“Karena tafsir nilai-nilai dasar negara yang paling baku adalah konstitusi/UUD, maka jika individu, kelompok, lembaga non pemerintah maupun pemerintah yang bertindak, berlaku konstitusional, maka ia adalah penjunjung dan pengamal nilai-nilai dasar negara, harus dihormati oleh siapa pun warga bangsa ini,” kata Syaykh, lalu menguraikan pemahaman dan tafsir atas lima nilai-nilai dasar negara RI.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Memahami substansi nilai-nilai dasar negara adalah menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara. Tatkala memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup ini maknanya: mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni masyarakat yang anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai ridlo Tuhan/Mardlatillah, melalui perbuatan-perbuatan baik bagi sesama manusia dan kepada seluruh makhluk.
Karenanya, membangun Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ini pula menyatakan bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka.
Selanjutnya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sejarah adalah wujud pengalaman manusia untuk berperadaban dan berkebudayaan, karenanya, peradaban, politik, dan kebudayaan adalah bagian dari pada kehidupan manusia.
Kemanusiaan, sangat erat hubungannya dengan ketuhanan. Ajaran Illahi menjadi tidak dapat diimplementasikan jika tidak wujud sikap kemanusiaan yang hakiki. Struktur pemerintahan tidak sepenting semangat perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab yang jauh dari pada pendendam dan egoistik/ananiyah.
Demokrasi yang paling menyeluruh sekalipun akan membawa sengsara, jika rakyat tidak memiliki sikap kemanusiaan yang adil dan beradab/jujur, apapun sistem pemerintahan yang ditempuh, tanpa semangat kemanusiaan yang adil dan beradab sengsara jua ujungnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab memerlukan kesetiaan pada diri ketika menjalani kehidupan, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sebuah semangat dan kegigihan mengajak masyarakat agar kembali ke pangkal jalan dan membangun kembali revolusi bathin masing-masing, mendisiplinkan diri dengan baik, untuk menemukan kendali dan penguasaan diri.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu kemampuan untuk menyeimbangkan antara kemakmuran lahiriyah dengan kehidupan ruhaniyah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah semangat mempersiapkan generasi penerus yang mampu melihat lebih dari kepentingan diri sendiri serta memiliki perspektif yang jelas untuk kemajuan masyarakatnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yakni manusia yang berperadaban. Manusia yang berperadaban tentunya lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, dan lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, yang mengenal hukum. Hidup dengan hukum dan peraturan adalah ciri masyarakat berperadaban dan berkebudayaan.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah semangat membangun pandangan tentang kehidupan masyarakat dan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih.
Kemanusiaan yang adil dan beradab menimbulkan semangat universal yang mewujudkan sikap bahwa semua bangsa dapat dan harus hidup dalam harmoni penuh toleransi dan damai.
Kemanusiaan yang adil dan beradab akan menghantar kehidupan menjadi bermakna, karena dicapai dengan berbakti tanpa mementingkan diri sendiri demi kebaikan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu sikap revitalisasi diri, untuk memupuk dinamisme kreatif kehidupan, yang menghantarkan seseorang menjadi selalu dinamis, selalu sensitif dan peka pada gerak perubahan dan pembaharuan.
Revitalisasi diri sebagai buah kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak terbatas bagi pemeluk agama tertentu siapapun dengan agama apapun dapat melakukannya. Semakin teguh seseorang menempuh kemanusiaan yang adil dan beradab, semakin rendah hati, dan semakin teguh keyakinannya semakin murah hati pula. Dalam hal ini, misi tulen agama adalah untuk memupuk pembentukan sifat dan menggalakkan usaha menguasai diri, yakni toleran dan damai.
Persatuan Indonesia
Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian yang telah bersatu. Persatuan Indonesia adalah suatu landasan hidup bangsa atau sistem, yang selalu mementingkan silaturahim, kesetiakawanan, kesetiaan, dan keberanian.
Kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Indonesia wujud dan hidup untuk mewujudkan kasih sayang sesama bangsa maupun antarbangsa.
Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dengan dunia luar. Suatu upaya untuk mengimbangi kepentingan diri dengan kepentingan bangsa lain, atau dalam tataran yang lebih mendalam antara individu bangsa dan alam sejagad, yang merupakan suatu ciri yang diinginkan sebagai warga dunia.
Dalam jangka panjang, prinsip persatuan Indonesia harus menjadi asas ruhaniah suatu peraturan-peraturan dan struktur membangun satu orde antarbangsa yang adil.
Persatuan Indonesia harus mampu menanamkan pemikiran terbuka dan pandangan jauh bagi bangsa Indonesia, sebab hanya mereka yang berpandangan jauh dan berpikiran terbuka yang dapat mendukung aspirasi ke arah internasionalisme maupun globalisme.
Persatuan Indonesia seperti ini, akan mengantar rakyat Indonesia memiliki kebanggaan yang tulus tentang identitas mereka sebagai warga negara maupun warga dunia. Pandangan dan sikap seperti ini tidak akan melenyapkan ciri-ciri unggul suatu bangsa, malahan akan dapat memantapkan ciri-ciri unik sebuah masyarakat bangsa, yakni masyarakat bangsa yang sadar terhadap tanggung jawab global, bersatu dalam mewujudkan persatuan universal, masing-masing menyumbangkan keistimewaannya.
Persatuan Indonesia seperti ini akan mampu menyingkirkan permusuhan internal bangsa, sebab pencapaiannya tidak melalui kekuatan militer, melainkan melalui tuntutan ilmu, dan peradaban yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Persatuan Indonesia yang berpegang pada prinsip bahwa kemajuan kebudayaan dapat menyamai nilai-nilai universal, sehingga dapat menjadi kekuatan yang dapat mengangkat harkat martabat rakyat untuk menjadi warga negara dan seterusnya warga dunia yang baik.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Suatu landasan yang harus mampu mengantar kepada prinsip-prinsip republikanisme, populisme, rasionalisme, demokratisme, dan reformisme yang diperteguh oleh semangat keterbukaan, dan usaha ke arah kerakyatan universal. Prinsip-prinsip kerakyatan seperti ini, harus menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia meyadari potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaruan.
Yakni kerakyatan yang selalu memberi nafas baru kepada bangsa dan negara dalam menciptakan suatu kehidupan yang penuh persaingan sehat.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan adalah kerakyatan yang dipimpin oleh pendidikan yang mumpuni. Sebab pendidikan merupakan prasyarat untuk menyatukan rohaniah.
Pendidikan adalah tonggak utama makna daripada hikmah kebijaksanaan. Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan akan mewarnai kerakyatan yang penuh harmoni, toleransi dan damai, jauh daripada sikap radikalisme apalagi terorisme.
Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan, mampu menciptakan interaksi dan rangsangan interdependensi antar manusia dalam lingkungan bangsa yang multikultural dan majemuk. Sebab manusia berpendidikan akan selalu menghormati suatu proses dalam segala hal.
Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan menjadi pedoman kerakyatan, sebab ia merupakan cara yang paling lurus dan pasti, menuju ke arah harmoni, toleransi dan damai. Pendidikanlah yang memungkinkan kita selaku rakyat suatu bangsa dapat bersikap toleran atas wujud kemajemukan bangsa.
Hikmah kebijaksanaan menampilkan rakyat berpikir pada tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri daripada belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
Karenanya membangun hikmah kebijaksanaan adalah membangun pendidikan, dan itulah hakekat membangun kerakyatan yang berperadaban yang kaya akan kebudayaan, yakni kerakyatan yang terhindar dari saling curiga dan permusuhan.
Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial
Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah merupakan tujuan dari cita-cita bernegara dan berbangsa, menyangkut keilmuan, keikhlasan pemikiran, kelapangan hati, peradaban, kesejahteraan keluarga, keadilan masyarakat dan kedamaian.
Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik yang setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Dengan mewujudkan segala usaha yang berarti yang diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat sehingga memiliki pendirian dan moral yang tegas.
Mewujudkan suatu keadilan sosial, juga berarti mewujudkan azas masyarakat yang stabil yang ditumbuhkan oleh warga masyarakat itu sendiri, mengarah pada terciptanya suatu sistem teratur yang menyeluruh melalui penyempurnaan pribadi anggota masyarakat, sehingga wujud suatu cara yang benar bagi setiap individu untuk membawa diri dan suatu cara yang benar untuk memperlakukan orang lain.
Karenanya, mewujudkan suatu keadilan harus menjadi suatu gerakan kemanusiaan yang serius, dan sungguh-sungguh dilakukan oleh rakyat, dengan metoda dan pengorganisasian yang jitu sehingga tujuan mulia ini tidak berbalik menjadi paradoks dan kontradiktif yakni menjadi gerakan pemerkosaan terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Demikian Syaykh Panji Gumilang.
Ziarah ke Makam HM Soeharto
Setelah tampil sebagai pembicara penutup pada Seminar Nasional Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diselenggarakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti, Tegal, Sabtu, 27 November 2010 di kampus universitas tersebut di Jln. Halmahera KM 1 Tegal, Syaykh al-Zaytun bersama beberapa eksponen Al-Zaytun berziarah ke Maham Jendral Besar HM. Soeharto di Astana Giri Bangun di desa Karang Bangun Kecamatan Matese Karanganyar, Jawa Tengah.
Syaykh bersama para sahabat mendapat sambutan hangat dari penjaga makam. Petugas penjaga Makam pun memberi penjelasan tentang beberapa hal di Makam Astana Giri Bangun tersebut. Pada kesempatan ziarah tersebut Syaykh dan para sahabat berdoa dengan khusuk. Almarhum HM Soeharto, Presiden RI Kedua, pada hari-hari akhir hidupnya, sangat berbahagia dengan eksistensi, visi dan misi Al-Zaytun sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian.
Dalam kondisi kesehatan yang sudah sangat menurun, HM Soeharto masih menyempatkan diri berkunjung, bahkan menginap di Kampus Al-Zaytun, di Indramayu. Sebagaimana para tokoh (sahabat) lainnya, HM Soeharto selalu mendapat sambutan hangat dari segenap civitas Al-Zaytun, baik tatkala beliau dihujat banyak orang maupun saat-saat akhir hidupnya. Nama HM Soeharto pun diabadikan di Kampus Al-Zaytun, dengan pemberian nama gedung perkuliahan Universitas Al-Zaytun Indonesia, Gedung HM Soeharto.BI/Tim AZ (Berita Indonesia 81)

Posting Komentar

0 Komentar