Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fiqih Politik Kontemporer

A. Mukadimah
Dalam era kontemporer perpolitikan umat membutuhkan upaya-upaya pembaruan dalam semua konsep dan prilaku berpolitik, agar istilah politik secara paradigma mengandung istilah kekhilafahan secara substantive bagi para pelaku politik praktis. Oleh karena itu agar istilah politik mengandung substansi kekhilafahan umat maka sudah sangat wajib untuk menambah istilah politik menjadi fikih politik. Karena dengan istilah fikih politik, otomatis nilai politik menjadi lebih beretika dan lebih sesuai dengan koridor syar’i tidak hanya dalam tataran konsep, tetapi yang lebih penting adalah dapat diamalkan oleh pelaku politik praktis.
Maka untuk memperbaharui pemahaman politik menuju fikih politik maka dibutuhkan pembaruan konsep politik dengan wasilah reorentasi politik praktis yang merujuk pada Al-Quran dan Sunnah, dengan dalih agar cara berpolitik dan wasilah-wasilah yang dipergunakannya tidak terlepas dari koridor Al-Quran dan Sunnah dan inilah yang disebut dengan“Ta’shîlu al-Fiqhi as-Siyâsiy” (Orisinalitas Fikih Politik).
Maka dalam upaya konsep politik dan berpolitik praktis nilai standar yang dijadikan ukuran adalah al-Quran dan Sunnah bukan kepentingan dan kemaslahatan pribadi untuk mengeruk kepentingan duniawi. Dengan demikian reorentasi politik adalah meruju’ pada al-Quran dan Sunnah yang berorentasi akhirat. Sehingga dalam tataran politik praktis usaha yang dilakukan tidak hanya untuk mencapai kursi kekuasaan, akan tetapi bagaimana dengan kekuasaan dapat mencapai tujuan kemajuan pembangunan dunia dan akhirat umat, yaitu: tentunya dengan cara-cara yang benar sesuai dengan koridor syariah sebagai ladang amal untuk hari akhirat, dan inilah yang disebut dengan “ Ta’shîl al-Fiqh li at-Tanmiyah as-Siyâsiyyah” (Orisinilitas Fikih Pembangunan Politik).
Maka landasan amal Orisinilitas Pembangunan Fikih Politik adalah ikhlâsh, jiddiyyah (serius), itqân (optimal), syûrâ (musyawarah), ’adâlah (keadilan), ukhuwwah (persaudaraan) syar’iyyah (agamis) dan tanâzur (sinergis) menuju cita-cita pembangunan politik yang berkeadilan, damai, aman dan sejahtera lahir dan batin yang rahmatan li al-alamin. Inilah yang disebut dengan tujuan emas Pembangunan Fikih Politik dalam memberikan kontribusi kemajuan peradaban umat di dunia.
Maka dalam hal ini bahasan fikih pembangunan politik meliputi konsep politik dan berpolitik sejarah penetrasi politik dalam konsep kekhilafahan, fikih Pemilihan Umum dan tujuan politik dan berpolitik praktis, secara tafsilnya akan kita bahas secara terperinci sebagai berikut:
B. Konsep Politik dan Berpolitik Praktis
Untuk memahami konsep politik yang benar dalam bingkai negara yang berkeadilan maka akan lebih baik merujuk secara dasar yang kita kenal dengan istilah ta’shil al-fiqh as-siyâsiy (orisinilitas fikih politik) agar media dan piranti untuk berpolitik praktis sesuai dengan koridor syar’i yang bertujuan untuk membangun basis manusia dalam dua dimensi dunia dan akhirat, maka tidak lain yang akan kita bahas dalam hal ini meliputi: konsep politik secara esoteris dan eksoteris, konsep politik dalam al-Quran, konsep politik dalam as-Sunnah an-Nabawiyyah, dan konsep politik dalam pemikiran fikih kontemporer, yaitu sebagai berikut:
1. Konsep Politik Secara Esoteris dan Eksoteris:
Politik dalam bahasa Arab secara esoteris disebut dengan: “Sâsa -yasûsu – siyasatan[1]” yang berarti: Menguasai, mengendalikan, mengatur dan memperbaiki. Sedangkan secara eksoteris, fuqahâ’ menyatakan: memperbaiki masalah-masalah yang dihadapi rakyat dan mengatur perkara-perkara mereka[2]. Dari definisi ini terdapat dua makna dalam istiah politik menurut ulama salaf (qudamâ’):
Pertama; makna umum adalah; mengatur permasalahan manusia dan urusan mereka dengan syariat-syariat agama, dan dalam hal inilah mereka mendefinisikan khilâfah adalah mengganti Rasulullah s.a.w. dalam menjaga agama dan menyiasati dunia.
Kedua; makna khusus adalah; apa yang menjadi pendapat pemimpin atau dia mengeluarkan hukum-hukum dan keputusan-keputusan untuk menolak kerusakan atau menjaga kerusakan atau memberikan solusi dalam problematika-problematika yang terjadi dalam masyarakat[3].
2. Konsep Politik Dalam al-Quran
Dalam al-Quran secara esoteris politik tidak pernah disebut dalam ayat-ayatnya, akan tetapi secara substantive istilah politik disebut dalam Al-Quran dengan khalîfah[4], khalâif[5], khulafâ’[6] dan mustakhlafîn[7]. Dalam hal ini kita dapat mengambil salah satu permisalan QS al-Baqarah, 2: 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka pun berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”. Tuhan pun berfirman:”Ssesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. 2:30).
Dari ayat-ayat di atas, para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjadikan manusia di bumi ini untuk menjadikan khalifah, artinya adalah untuk mengatur bumi ini baik untuk mengatur alamnya maupun untuk mengatur sesama umat manusia[8]. Dalam konteks khalifah dalam bahasa sekarang bisa disebut dengan politik, karena dua kata khalifah dan politik semestinya mengandung substansi yang sama akan tetapi karena dua kata ini mengalami distorsi penerapan konsep maka istilah khalifah yang notabenenya cendrung menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat, sedangkan istilah politik dalam penerapannya hanya mementingkan masalah dunia saja. Maka agar dapat memperbarui paradigma metodologi berfikir politik substansi dari kekhilafahan agar dimasukkan adalam substansi yang ada dalam berfikir politik. Maka substansi kekhalifahan yang bisa dimasukkan dalam substansi cara berfikir politik adalah[9]:
Pertama: Membangun dan memakmurkan, sebagaimana QS Hûd, 11: 61,
”Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memberikan perintah kepada manusia untuk membangun bumi. Dalam ayat di atas adanya huruf sin dan ta’ menunjukkan perintah dan perintah dari Allah ini menunjukkan kewajiban[10]. Jadi perintah untuk membangun bumi merupakan kewajiban bagi manusia baik hal itu dalam konteks membangun alamnya maupun membangun hubungan sesama manusia.
Kedua; substansi mencegah kerusakan di bumi. Hal ini sebagaimana dijelaskan QS al-Baqarah, 2: 205, QS al-Mâidah, 5: 64, QS al-A’râf, 7: 56 dan 85, QS Hûd, 11: 116. Lihat QS al-A’râf, 7: 56, yang mengatakan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS al-A’râf, 7: 56).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak memperbolehkan kepada manusia untuk berbuat kerusakan, dan larangan ini adalah bentuk perintah larangan yang menunjukkan haram apabila dilanggar sebagaimana dalam kaedah al-ashlu fi an-nahyi yadullu alâ al-hurmah (hukum asal dalam larangan menunjukkan keharaman). Dengan demikian merusak bumi dan merusak hubungan sesama manusia dalam agama jelas dilarang (diharamkan), maka dalam konteks ini cara berfikir politik yang benar adalah apabila sebuah agenda politik dalam realita lapangan merusak hubungan vertical (hubungan manusia kepada Allah) dan hubungan horizontal (hubungan sesama manusia) dan hubungan dengan alam, maka hukumnya tidak boleh. Dan hal itu sudah keluar dari substansi garis politik yang benar.
Jadi kesimpulannya: berpikir politik yang benar adalah apabila dalam berpolitik praktis agenda yang diusung adalah mencakup dua substansi politik, yaitu: politik yang membangun hubungan manusia dengan Allah (mematuhi perintah-Nya), Membangun hubungan manusia sesama manusia dan membangun manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Sedangkan substansi yang kedua adalah jangan sampai berpolitik itu merusak hubungan manusia dengan Allah (menjauhi larangan-Nya), hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan kata lain berpolitik yang benar adalah politik yang berorentasi pada bingkai maqâshid asy-syarî’ah (tujuan syariah) untuk menjaga agama, menjaga, jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, menjaga harta benda, menjaga keamanan masyarakat dan negara dan menjaga lingkungan sekitarnya.
3. Konsep Politik Dalam Sunnah Nabawiyah.
Dalam bahasa Sunnah istilah politik pernah diungkapkan dalam hadis Nabi, saw. “Mereka orang Bani Israil telah berpolitik bersama nabi-nabi mereka[11]”. Artinya: adalah mereka telah mengatur permasalahan mereka[12]. Dari sisi lain bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah figur terbaik dalam berpolitik yang pantas dijadikan teladan bagi para politikus kontemporer sekarang ini. Substansi politik dalam arti kekhilafahan telah Rasul amalkan dalam kehidupan nyata, sebagaimana beliau telah mendasari politiknya dengan ketaqwaan kepada Allah, swt. kita lihat Piagam Madinah[13] yang telah menyatukan semua umat untuk saling hormat-menghormati dalam hal yang benar dan mendakwahkan ke jalan yang baik dari jalan yang salah. Beliaulah khalifah sejati dalam bahasa al-Quran dan politikus teladan dalam bahasa sekarang dengan mendakwahkan dirinya dengan al-âmir bi al-ma’rûf wa an-nahy ’an al-munkar.
Maka dalam konteks politik secara umum dan kekhilafahan secara khusus banyak hadis yang mnejelaskan tentang hal itu sebagaimana Hadis Nabi, s.a.w. yang mengatakan: “Anda sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan perempuan adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya dan anda sekalian adalah pemimpin setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi). Dan hal ini juga diperjelas dengan hadis Nabi, s.a.w. yang mengatakan: “Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah telah menugaskan kamu menjadi khalifah di dalamnya, maka lihatlah apa yang anda sekalian perbuat”[14]. Maka sungguh Allah telah mewajibkan kepada manusia ketika Allah menempatkan di bumi agar mereka mena’ati perintahnya dan meninggalkan larangannya dan agar mereka tidak menyembah kecuali kepadanya dan agar mereka tidak takut selain Allah”[15].
Dari hadis-hadis ini menunjukkan bahwa kekhalifahan disini berbentuk pada gerakan politik baik personal, masyarakat maupun umat, sehingga sumber-sumber ini menentukan kaedah-kaedah dalam pergerakan politik. Maka kaedah-kaedah yang mendasari gerakan politik ini adalah: kepemilikan mutlak hanyalah Allah, penghambaan manusia hanya kepada Allah, komitmen terhadap ketentuan-ketentu syariah dan adanya evaluasi atas dosa dan pahala yang telah ia lakukan dalam gerakan politik[16].
4. Konsep Politik Dalam Pemikiran Fikih Kontemporer
Dalam pemikiran politik banyak pakar yang mendefinisikan masalah politik. Maka dalam hal ini Ibnu Khaldun membedakan antara politik syar’i dengan politik sipil. Sedangkan politik sipil adalah sebuah politik untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini Maqarizi berpendapat bahwa politik adalah sebuah produk hukum untuk mengatur tatanan syariah dan tatanan politik. Yang dimaksud dengan syariah adalah semua yang disyariatkan Allah dari agama seperti perintah shalat, puasa, haji, dan semua amalan kebaikan. Sedangkan politik merupakan perbuatan manusia[17]. Sedangkan politik (siyâsah) adalah; undang-undang tematis untuk menjaga adab dan maslahah serta keteraturan etika.
Dalam sejarah istilah politik terjadi penetrasi istilah yang dimulai ketika Mamalik memerintah –dan mereka berasal dari bangsa Tartar- terjadi peminjaman – yang pertama kali dalam sejarah peradaban Islam – sebagai undang-undang yang tidak islami dan mereka datang untuk menyaingi syari’ah Islam, walaupun dalam tempat yang terbatas yaitu; daerah “pengadilan militer” sebagai kelas penguasa dan militer dan “perkantoran kekuasaan” –institusi-institusi kekuasaan- dalam sejarah itu, ketika pemerintahan syari’ah dan islamisasi pembangunan menjaga peradilan umat, institusi-institusi dan dimensi-dimensi kehidupan lainnya[18].
Itulah awal dari terobosan terhadap pemerintahan syari’ah Islam dalam sejarah peradaban kita, ketika Mamalik menjadikan “yasah” Jengis Khan (562 – 624 H. = 1167 – 1227 M.) yaitu; kumpulan undang-undang –yang bercampur di dalamnya teologi paganisme dengan Kristen dan dengan Islam- sebagai undang-undang untuk pengadilan militer dan perkantoran kekuasaan. Dengan berjalannya waktu, masyarakat menyelewengkan ucapan kata “yasah” menjadi “siyasah” (politik). Maka dalam realita kita sekarang “siyasah” menjadi “siyâsah ghairu syar’iyyah” (politik yang tidak syar’i), yaitu; pengadilan militer dan kekuasaan. Sedangkan “siyâsah syar’iyyah” (politik syari’ah) tercermin pada pemerintahan syari’ah Islam atas umat dan institusi-institusi pembangunan di dalamnya.
Maka peristiwa itulah sebagai awal mula terobosan yaitu terobosan undang-undang konvensional untuk menghakimi syari’ah Islam kita dan islamisasi pembangunan kita. Maka hal inilah merupakan zona penerobosan yang dikabarkan kepada kita oleh sejarahwan pada masa itu Taqiuddin al-Muqrizy (769-845 H = 1365 – 1441 M) maka dia mengatakan: ketika berkata tentang substansi istilah “as-siyasah”sebagai berikut: “Saya tahu bahwa manusia di masa saya, bahkan sejak masa negara Turky –[Mamalik]- pada negara Mesir dan Syam, mereka berpendapat bahwa hukum-hukum itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Hukum Syar’i dan Hukum Politik (siyasah)[19].
Maka sejak abad ke-10 itulah (masa al-Farabi) sampai abad ke-14 (Ibnu Khaldun) Ibnu Khaldun mengelompokkan jenis gerakan politik dalam tiga bentuk: Pertama: Al-Mulk ath-Thabi’iy (raja yang mengikuti keinginannya) adalah bentuk pergerakan politik yang bertujuan untuk melampiaskan keinginan duniawi (syahwat dunia). Kedua: Al-Mulk as-Siyâsiy (Raja politik), yaitu: bentuk gerakan politik yang bersandarkan akal saja untuk kemaslahatan dunia saja, dan menolak kerusakan. Ketiga: al-Khilafah, mengatur semua permasalahan dunia dan akhirat, sebagai bekal menuju kehidupan akhirat dengan kata lain: “Menjaga kemaslahatan agama dan menyiasati permasalahan dunia[20]”.
Para Fuqaha sepakat bahwa politik dengan segala macam permasalahannya masuk di dalam kaedah syari’ah, jika tidak dinashkan secara khusus, maka politik tidak saja apa yang telah dikatakan syara’, karena syariah adalah tertentu dan tertulis dalam kaedah umum saja, sedangkan kejadian-kejadian dunia adalah serba baru dan terbarukan, dan semua hal yang menghasilkan keadilan maka hal itu adalah bagian dari agama selagi tidak bertentangan dengan kaedah syari’ah secara umum[21].
Maka landasan sistem politik dalam Islam adalah keadilan, musyawarah dan persamaan sehingga memberikan kesimpulan bahwa politik Islam adalah: Kebijakan dalam menata negara baik dalam permasalahan dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan undang-undang sesuai dengan koridor syar’i untuk mengatur rakyatnya dalam mencapai kemaslahatan umum yang berujung pada kesetabilan negara dan kemakmuran rakyat.
C. Fikih Pemilihan Umum Dalam Bingkai Fikih Demokrasi
Dalam permasalahan Pemilihan Umum baik hal ini bersangkutan dengan pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislative (DPR/MPR) atau lembaga utusan daerah semisal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berbentuk bikameral, Islam dalam menyoroti hal ini hanya sebatas pada kaedah umum. Sedangkan mekanisme yang tepat hal itu disesuaikan dengan kondisi negara setempat dengan tetap memperhatiakan kaedah syar’i yang benar. Maka dalam hal ini agak sulit untuk memberikan penjelasan fiqih tentang hal ini. Maka tidak lain jika kita mengaca kepada hadis Nabi s.a.w. yang mengatakan: “Jika anda pergi ke sebuah negara dan di dalamnya tidak ada penguasanya maka tinggalkanlah negara itu”[22]. Dan hal ini juga diperkuat hadis Rasul, saw. yang mengatakan: “Jika anda bertiga, maka diperintahkan salah satu dari kalian seorang pemimpin”[23]-[24].
Dari hadis ini menunjukkan bagaimana memilih seorang pemimpin adalah wajib hukumnya, karena tidak akan sempurna kemaslahatan umat kecuali telah ada dalam sebuah masayarakat yang memimpin masyarakatnya. Karena masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjaga akhlaq, keharaman, menjaga nilai-nilai yang bertujuan memerintah yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, karena sesungguhnya Allah akan menghukumi dengan kekuasan dan tidak dengan al-Quran[25]. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Ketahuilah bahwa syariah adalah ushul sedangkan raja (pemimpin) adalah penjaganya, maka jika tidak ada ushul maka akan hancur dan jika tidak ada penjaganya maka akan hilang”[26].
Maka dalam memilih sorang pemimpin harus memperhatikan hadis Nabi, s.a.w. yang mengatakan:
مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلَّهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وخانَ رَسُولَهُ وخانَ الْمُؤْمِنِينَ.
“Barang siapa yang memilih pemimpin karena fanatisme dan dia melihat di sana ada yang lebih mampu dari dia, maka sungguh dia telah menghianati Allah dan Rasul-Nya, dan menghianati orang-orang mu’min”[27]. (HR. Hakim dari Abdullah bin Abbas). Umar bin Khatab berkata: “Barang siapa yang mengangkat pemimpin umat muslimin dan dia mengangkatnya karena kekerabatan, kesayangan diantara keduanya, maka dia telah menghianati Allah dan Rasulnya dan orang-orang Muslimin”[28]-[29].
Dari penjelasan hadis di atas menunjukkan bahwa untuk memilih pemimpin harus memilih pemimpin yang kredibel, akuntabel. Maka dalam hal ini kriteria pemimpin yang wajib bagi masyarakat untuk memilihnya adalah pemimpin yang mempunyai syarat: 1). Islam[30], 2). Mampu, 3). Laki-laki[31], 4). Pemberani, 5). Merdeka, 6). Sehat Badan dan Tidak cacat. Sedangkan syarat-syarat yang menuai berbedaan pendapat: 1). harus Adalah (orang bersih lahir dan batin) 2). Ahli Ijtihad 3). Berketurunan Quraisy[32].
Maka dalam memilih pemimpin baik untuk memilih presiden maupun perwakilannya harus mengacu pada syarat-syarat diatas, walaupun tidak seratus persen, akan tetapi mayoritas yang layak untuk dapat memimpin mengatur permasalahan dunia dan akhirat. Maka dalam upaya memilih pimpinan di atas upaya yang tepat adalah dengan sistem musyawarah atau demokrasi yang bersubstansi syura.
Walaupun istilah demokrasi merupakan istilah yang klasik, akan tetapi hal ini masih dianggap mendekati kebenaran dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam istilah demokrasi yang relevan dengan kondisi sekarang adalah dengan sistem syûrâ (musyawarah). Kedua sistem ini mempunyai persamaan dan perbedaan: konsep demokrasi bersumber dari Barat melalui pencetusnya Socrates yang berasal dari kata demos dan cratos yang berarti: Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Sedangkan sistem syûrâ (musyawarah) berasal dari umat Islam yang diambil dari Al Quran (QS Âli ’Imrân, 3; 159, QS al-Baqarah, 2; 233, QS asy-Syûrâ, 42: 38). Yang berbunyi:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS asy-Syûrâ, 42: 38).
Dari ayat ini mengandung tiga hal dalam konsep syura: Pertama, dimensi ketuhanan, yaitu dengan mematuhi undang-undang (aturan-aturan) Tuhan dan implementasinya dimisalkan dalam bentuk shalat karena shalat adalah sebagai tiang agama dan juga merupakan jalur komunikasi langsung manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah dimensi kemanusiaan, yang diimplementasikan dengan sistem musyawarah antar manusia. Artinya, sistem musyawarah adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan semua permasalahan. Maka karena PEMILU adalah gawe semua masyarakat, maka pemilihan secara langsung dari semua lapisan masyarakat adalah sesuai dengan konsep syura, karena mereka lah yang akan merasakan dari semua kebijakan pemimpinnya. Dan konsep ini yang diambil dalam negara demokrasi. Ketiga, dimensi social manusia, hal ini tercermin dalam bentuk kerja sama, saling bantu-membantu dan takâful ijtimâ’iy yang dimisalkan zakat, sedekah dan lain sebagainya yang bertujuan pada kemakmuran rakyat baik secara mental spiritual maupun matriil, sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, karena pemberi kemakmuran ini adalah Allah maka kemakmuran ini digunakan untuk beribadah kepada Allah .
Setelah kita bandingkan dalam tataran nilai yang dikandung dalam dua konsep ini maka demokrasi konvensional hanya mengadopsi nilai yang kedua dan nilai kedua ini juga tidak diambil secara penuh dengan hati nurani kemanusiaan secara utuh yang akan berujung pada demokrasi merkantilisme (demokrasi dagang sapi) yang mengusung materiilisme, maka untuk memenangkan suatu permasalahan hanya dihitung dari dimensi materialisme sehingga nilai hati nurani musyawarah dan mufakat itu dimatikan oleh segelintir matrealisme tadi, inilah yang dikatakan oleh Morena Hertz dengan istilah “The Death Of Democracy”.sedangkan dalam Islam (syûrâ) lebih comprehensip yang mencakup tiga dimensi; nilai ketuhanan, kemanusiaan dan social kemanusiaan dalam bentuk takaful ijtima’i.
Kemudian apakah kita memakai istilah syura atau demokrasi? Dari sini boleh saja mengambil istilah syura atau demokrasi yang penting substansi tiga dimensi itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan sistem demokrasi atau syura.
D. Money Politics Dalam Sorotan Fikih
Dalam memobilisasi masa, agar masyarakat memilih pasangan dari para calon pemimpin yang bersaing, kebanyakan dari para kandidat membayar mahal baik pada pesaingnya maupun kepada masyarakat agar mendapatkan suara yang banyak. Maka dalam hal ini, realitas politik dalam masyarakat menggambarkan yang demikian itu. Maka bagaimana dalam pandangan fikih menanggapi permasalahan ini?.
Kalau dalam pandangan fikih bisa dilihat dalam bentuk akad yang ia pergunakan. Apabila hal itu bentuknya adalah jual-beli maka hal itu jelas tidak diperbolehkan. Karena dalam syarat jual beli sesuatu yang dibeli harus berupa barang yang jelas dan taqâbudh (bisa diserah-terimakan). sebab kalau barang yang dibeli itu tidak jelas dan tidak bisa diambil berarti tidak sah jual belinya. Kalau dalam pemilihan umum berarti suara lah yang diperjual-belikan dan suara merupakan suatu yang masih samar, karena hal itu tidak berupa barang yang tidak bisa diserah-terimakan. Jadi jelas tidak sah. Kalau akad yang dipakai adalah hadiyah atau hibah berarti terjebak dalam Bab Risywah (suap) dan suap-menyuap dalam Islam jelas tidak boleh, sebagaimana hadis Nabi, s.a.w.
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap[33]
Di sisi lain, kalau yang terjadi adalah suap-menyuap antar pasangan dengan maksud agar dalam pasangan yang lain gagal untuk bersaing dalam pemilihan umum, maka keduanya sudah terjebak dengan memakan harta dengan bathil[34] sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisâ’; 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ . . .
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. . . (QS an-Nisâ’; 29).
Dalam konteks ini, suap-menyuap adalah muamalah yang tidak berakhlaq dan hal itu akan berujung kepada keburukan yang berdampak kepada masyarakat. Karena dengan melimpahkan permasalahan umat kepada orang yang bukan ahlinya yaitu: kemenangan hasil pemilu adalah akibat suap-menyuap (money politics) berarti terjebak dalam larangan hadis Nabi, saw. yang berbunyi:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika perkara itu dilimpahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya”[35]. Artinya tunggulah masa kehancurannya.
Maka dari sini hendaklah masyarakat memilih pimpinan/presidennya sesuai dengan hati nurani, karena dengan memilih yang didasarkan pada hati nurani berarti sudah memilih pada suatu yang baik di sisi Allah, berarti ia sudah menjalankan amanah dengan baik di depan Allah. Maka untuk melihat siapa yang layak, lihatlah program yang akan digelindingkan dan track record yang baik dalam kehidupannya. Maka kalau sudah melihat calon dari berbagai kandidat, upayakan untuk memilih adalah petunjuk Allah yaitu dibarengi dengan shalat istiharah. Janganlah memilih karena imbalan materi, sebab imbalan materi manfaatnya tidak akan lama, justru kebijakan bertahun-tahun itulah yang menjadikan sakit di hati. tapi kalau hati nurani yang memilih berarti kesejahteraan dan keihlasanlah yang menuai pahala dunia dan akhirat. Maka pilihlah pemimpin dan presiden yang kuat, professional dan amanah di dunia dan di akhirat.
E. Penutup
Demikianlah pembahasan politik Islam dalam rangka memperbaharui pemahaman politik bagi para praktisi politik, agar politik yang dipahami tidak hanya sebatas amalan duniawi, tapi pilihan yang telah ia lakukan adalah bernuansa ukhrawi yang akan ditanyakan pertanggung jawabannya di hari kiamat nanti.
Dengan melihat pembaharuan konsep politik di atas maka, suasana kehidupan pun akan damai, adil dan takâful ijtimâ’iy karena semua didasarkan pada lingkungan yang saling bersaudara, adil, musyawarah sinergis yang berakibat pada hilangnya kezaliman- dalam kehidupan politik.
Dengan demikian masyarakat yang dibangun adalah masyarakat yang penuh cinta dan kasih sayang sesamanya menuju masyarakat yang adil, aman, damai dan sejahtera menuju cita-cita agama Islam yang memberikan kontribusi yang rahmanatan li al-’âlamîn. Yaitu dengan cara menghilangkan persaingan yang tidak sehat karena masih dalam bingkai ukhuwah islamiyah, menghilangkan sistem money politik karena hal itu tidak sesuai dengan syariah Islam dan juga tidak sesuai dengan akhlak yang akan menjerumuskan pada kerusakan umat.
Maka nilai-nilai Islam dalam gerakan politik harus mendarah daging dalam para praktisi politik, agar politik ini menjadi bagian dari ibadah yang berarti kita juga akan dilihat Allah dan akan dimintai pertanggungjawabkan di hari kiamat. Maka jargon yang dipakai adalah berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiqû al-Khairât), untuk memperoleh kenikmatan yang lebih di Surga-Nya.
Sumber : Millist Anggota ICMI dan dikutip serta diselaraskan dari tulisan Dipl. D.NP. Lathif Hakim, Lsq, B.Ec dalam http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/03/fikih-politik-kontemporer-menuju.html
[1]Majma’ al-Lughah al-’Arabiyyah, “Al-Mu’jam al-Wajîz”, cet. Khâshshah (Mesir: Wizârati at-Tarbiyah wa at-Ta’lîm t.t.), hal. 328.
[2]Sulaiman ibn Muhammad al-Bujairami, Hâsyiyah al-Bujairami, juz. II, hal. 178.
[3]Yusuf al-Qaradhawi, As-Siyâsah asy-Syar’yah Fî Dhau’ asy-Syarî’ah wa Maqâshidihâ, cet. I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), hal. 32.
[4]QS al-Baqarah, 2: 30 dan QS Shad, 38 ; 26.
[5]QS al-An’âm, 6; 165, QS Yûnus, 10: 14 dan 73, QS Fâthir, 35: 39.
[6]QS al-A’râf, 7: 69, dan 74 QS an-Naml, 27: 62.
[7]QS al-Hadîd, 57: 7.
[8]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghiy, cet. I, juz I (Kairo: Maktabah Wahbah, 1969), hal. 80.
[9]Sa’duddin Mas’ad al-Hilaliy, Qadhâyâ Fiqhiyyah Muâ’shirah: Takyîf al-Fiqhiy li an-Nizhâm al-Intikhâbiy, Juz II (Kairo: Universitas Al-Azhar), hal. 348.
[10]Al-Qurthuby, “Al-Jâmi’ Li Ahkâmi al-Qurân”, jilid. 5, hal. 3284.
[11]HR Muttafaq ’Alaih dari Abu Hurairah, HR Bukhari dalam “al-Anbiyâ’’’ dan Muslim dalam “al-Imârah”, dala Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi, al-Lu’Lu’ wa al-Marjân, hal. 1208.
[12]Yusuf al-Qaradawi, As-Siyâsah asy-Syar’yyah Fî Dhaui asy-Syarî’ah wa Maqâshidihâ, hal. 29.
[13]Ali Muhammad M. Shalabiy, As-Sîrah an-Nabawiyyah, 2001, hal. 395-398.
[14]Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz III (Kairo:Dâr Thabîbah Li an-Nasyr wa at-Tauzî’, 1999) hal. 446.
[15]Abdul Qadir Audah, Al-Islâm Wa Audhaunâ as-Siyâsiyyah (Kairo, Dar al-Kitâb al-‘Arabiy, 1951), hal. 12.
[16]Nasr Muhammad Arif, Nazhriyah at-Tanmiyah as-Siyâsiyyah al-Muâshirah (Beirut: IIIT, 2006.), hal. 254-257.
[17]Fathiyah Nabrawi dan M. Naser Mahna, Tathawwur al-Fikri as-Siyâsiy Fi al-Islâm, juz. 2 (Beirut: Dar al-Ma’arif, t.t.) hal. 25.
[18]Muhammad Imarah, Islam dan Politik, terjemah: Lathif Hakim, hal. 28-30.
[19]Muhammad Imarah, Islam dan Politik, terjemah: Lathif Hakim, hal. 28-30.
[20]Fathiyah Nabrawi dan M. Naser Mahna, ibid dan. op. cit., hal. 6.
[21]Ibnu al-Qayim, I’lâm al-Muwâqi’în, juz. IV, hal. 372.
[22]Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, dari Anas bin Malik r.a., lihat Kanz al-‘Ummâl, juz. VI, hal. 8.
[23]Majma’ az-Zawâ’id, juz V, hal. 255.
[24]Taufiq al-Wa’i, Ad-Daulah al-Islâmiyyah Baina at-Turâts wa al-Ma’ashirah, Mesir: Dar Ibnu Hazem, t.t.) hal. 13.
[25]Taufiq al-Wa’i, Ad-Daulah al-Islâmiyyah Baina at-Turâts wa al-Ma’ashirah, hal. 14.
[26]Syaikh Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, (Mesir: Mahmudiyah, t.t.) hal. 135.
[27]Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 120.
[28]Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, juz. 28. hal. 246.
[29]Rafiq Yunus al-Mishriy, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmiy (Kairo: Dar al-Qalam dan Dar asy-Syâmiyah, t.t), hal. 194.
[30]QS an-Nisâ’; 141, 59 dan 83, QS Âli ‘Imrân, 3: 28.
[31]Walaupun dalam syarat ini menuai perdebatan di antaranya kalangan penyeru persamaan gender. Akan tetapi tetapi yang didahulukan adalah laki-laki, apabila laki-laki tidak ada yang mampu, baru (alternatifnya) perempuan.
[32]Taufiq al-Wa’i, Ad-Daulah al-Islâmiyyah Baina at-Turâts wa al-Mu’âshirah, hal. 211-216.
[33]Shahîh ibni Hibbân, juz XI, hal. 468, hadis No. 5077.
[34]Sa’duddin Mas’ad al Hilaliy, Qadhâyâ Fiqhiyyah Muâ’shirah; Takyîf al-Fiqhiy li an-Ni
zhâm al-Intikhâbiy, hal. 389.
[35]Shahîh al-Bukhâriy, juz. 1, hal. 33, hadis, no. 59.

Posting Komentar

0 Komentar