Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sumber Masalah Harus Dipahami Seluruhnya

Pembangunan Kanal Tirta Sangga Jaya, tetap harus diikuti dengan pembangunan situ-situ, ruang terbuka hijau, resapan air hingga pemulihan sungai. Ketiadaan solusi komprehensif dalam penanganan bencana banjir di wilayah Jabode­tabek, tidak terlepas dari ego daerah yang lebih menonjol daripada membangun kerja sama antardaerah. Hal ini terlihat jelas dari tidak adanya lang­kah-langkah bersama dari tiga peme­rintah provinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), walaupun menjadi korban bersama saat terjadinya banjir bandang awal Februari 2007.

Kerugian yang sangat besar akibat banjir bandang tersebut, seharusnya men­jadi motivasi untuk membangun kerja sama antar daerah, namun dalam kenya­taannya, tidak demikian. Oleh karena itu, Marwan Batubara, anggota DPD Perwakilan Jakarta, masih berharap adanya payung hukum untuk mendasari pelaksa­naan solusi komprehensif tersebut.

"Bagi saya sebetulnya yang penting ada solusi komprehensif yang disepakati secara nasional, lintas departemen, lintas provinsi, dan dituangkan apakah dalam bentuk PP-kah atau Keppres, serta di­jalankan secara konsisten. Di sini yang paling penting kita punya satu rujukan, dan harus menegakkan pelaksanaan atau enforcement-nya," katanya kepada war­tawan Majalah Berita Indonesia Haposan Tampubolon, di kantornya, Rabu (16/5).

Solusi Banjir dan Kekeringan

Ketika diminta pandangannya tentang gagasan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang tentang solusi komprehensif penanggulangan banjir dan kekeringan dengan konsep Kanal Tirta Sangga Jaya, Marwan menyatakan tidak bisa banyak berkomentar. Karena belum tahu persis bagaimana ide Kanal Tirta Sangga Jaya. "Saya tidak menolak, tidak juga men­dukung, karena saya belum tahu detail tentang apa yang menjadi konsep Pak Panji Gumilang (Syaykh Al-Zaytun). Tetapi saya mengingatkan, di samping mengatasi banjir kita harus juga meng amankan pasokan air," katanya.

Dalam hal ini konsep pengelolaan air pada Kanal Tirta Sangga Jaya yang digagas Syaykh AS Panji Gumilang, juga menjadi harapan dari Marwan Batubara. Kanal Tirta Sangga Jaya merupakan mode pengelolaan air di musim hujan maupun kemarau. "Yang saya ingin sampaikan adalah kita bicara banjir, pada saat yang bersamaan kita juga harus meng-addres. (mengakomodasi, red) kebutuhan air terutama di waktu musim kemarau," katanya.

Marwan juga menegaskan perlunya pemikiran antisipatif dari dampak pem­bangunan Kanal Tirta Sangga Jaya "Jangan sampai pembangunan yang ada di sekitar Jakarta membuat nanti air tanah habis dan air laut itu datang. Sekarang, katanya, mungkin di bawah air laut sudah sampai di Hotel Indonesia (HI atau malah lebih ke atas. Ini kan bisa menurunkan permukaan. Air tanahnya diambil, pada saat bersamaan ada rembesan air laut," katanya.

Lebih jauh, Marwan mengharapkan adanya solusi yang lebih komprehensif. "Jangan sampai kita hanya membangun kanal, tapi mengabaikan pembangunan sumur resapan, mengabaikan pembangunan situ, dan mengabaikan ruang ter­buka hijau. Kalau hanya kanal yang kita address, kita punya masalah nanti ke depan airnya dari mana. Jangan sampai nanti seperti Singapura air mereka ter­gantung dari Malaysia," tandasnya.

Solusi Komprehensif

Pada dasarnya, Marwan menyatakan sangat setuju dengan pembangunan ka­nal, sebagai satu bagian dari pengelolaan air, namun belum komprehensif. "Bahwa kita perlu bangun kanal. Oke! Mungkin itu salah satu. Tapi bukan berarti kanal ini sebagai salah satu solusi terbaik, tidak," katanya. Menurutnya, semua faktor­-faktor penyebab banjir harus di-address.

"Kalau kita memang mau menahan air dengan penghijauan, itu harus dilakukan. Kalau selama ini ada yang namanya situ, itu harus disiapkan. Kalau sungai luas dan dalamnya harus sekian, itu harus dilakukan. Kalau memang air datangnya cuma dalam waktu tiga empat bulan yang banyak, harus disimpan karena kita akan menghadapi masa kemarau yang mungkin panjang. Kita harus punya reserve," katanya sembari menyebut pendataan faktor-faktor penye­bab banjir sebagai solusi komprehensif.

Oleh sebab itu, tambahnya, seandainya situ yang selama ini sudah ditutup, itu per­lu dibuka lagi, ya dibuka, gedungnya diru­buhkan. Daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini sudah digunduli harus ditanami. Termasuk, kalau kita perlu membangun danau di daerah hulu harus dilakukan. Dan masyarakat sendiri, membangun sumur­-sumur resapan harus dilakukan.

Dalam hal ini ia mengingatkan, banyak­nya penggundulan hutan telah membuat waduk-waduk untuk PLTA bermasalah karena debit airnya berkurang dan terus berkurang. Ini sama saja dengan air. Ka­lau nanti sudah tidak ada lagi yang hijau atau daerah Puncak yang menjadi hulu bagi 13 buah sungai yang mengalir ke Jakarta sudah tidak hijau lagi, maka air tidak tertahan lagi dan langsung terbuang ke laut. Dengan demikian, kita akan bermasalah dengan air minum.

Ia lebih lanjut menjelaskan, kalau nanti membangun kanal, lalu kita biarkan juga penggundulan hutan, ya... itu tidak bisa. Artinya, jangan gara-gara kita sudah membangun kanal lalu tidak memper­hatikan bahwa daerah itu tidak boleh ditebang. Itu juga tidak bisa, kan? Harus semuanya, termasuk ruang terbuka hijau, tidak hanya berguna untuk resapan air saja tetapi juga menjadi paru-paru kota. Jadi banyak hal, katanya.

Untuk mendapat solusi yang kompre­hensif, tambah Marwan, semua masalah harus di-address. Kita tidak cuma bicara Banjir Kanal Timur (BKT) dan normali­sasi sungai, pembuatan situ. Tetapi terma­suk ruang terbuka hijau harus ditambah. Situ yang tadinya jumlahnya ratusan, se­karang tinggal puluhan, itu harus dikem­balikan sebagian besar. Daerah Jakarta Utara yang sekarang mungkin menjadi mal, menjadi ruko, harus dikembalikan.

Saat ditanya, bagaimana pembiayaan da­ri pengelolaan air di wilayah Jabodetabek, Marwan mengungkapkan hal itu sudah pernah dibicarakan dalam diskusi lintas provinsi, yakni Pemda DKI, Banten, dan Jawa Barat, lalu ada DPD DKI, DPD Banten, dan DPD Jawa Barat. Masing-ma­sing mempresentasikan programnya. Biaya keseluruhannya kira-kira Rp 17 triliun.

Dari seluruh biaya itu, menurut Marwan alokasi terbesarnya adalah untuk BKT, diikuti normalisasi sungai (berupa pengerukan sungai, pelebaran, penguruk­an, pembuatan benteng dan tanggul), dan selanjutnya pembuatan situ-situ. Namun ia tidak persis mengetahui apakah dana Rp 17 triliun sudah termasuk melakukan penghijauan di hulu sungai dan membuat sumur-sumur resapan, mungkin juga belum. "Tapi yang besar-besar yang sudah dimasukkan," katanya.

Payung Hukum dan Enforcement

Sisi yang tidak kalah pentingnya dari pengelolaan air di Jabodetabek, menurut Marwan Batubara adalah payung hukum dan penegakan hukum itu sendiri. "Yang juga penting adalah masalah enforce­ment," tandasnya. Ia mencontohkan, kalau memang satu gedung harus dirubuhkan, karena tadinya itu adalah tempat resapan air, situ, ya su­dahlah, rubuhkan. Jangan sampai nanti, karena berhadapan dengan jenderal atau konglomerat yang dibeking oleh aparat, lalu ini tidak dilaksanakan.

Oleh karena itu, tambahnya, kalau nanti di Puncak sana yang namanya vila-vila harus dihijaukan, ya harus dijalankan siapa pun yang punya vila itu. Makanya harus ada yang tertinggi dan siapapun tidak ada pengecualian, harus bisa menerima.

Ditanya tentang payung hukum penge­lolaan lingkungan Jabodetabek, Marwan dengan tandas menyatakan tidak cukup hanya dengan Peraturan Daerah (Perda) tapi Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres), karena menyangkut lintas provinsi, di mana peran pemerintah cukup menonjol.

Kalau perlu di tangan Presiden, sebagai institusi yang paling tinggi, jadi harus setara Keppres atau PP. Jika tidak, kelak ada kai­tannya dengan lintas provinsi, bupati atau kabupaten Bogor, Bekasi, Tangerang tidak akan mau tunduk kepada Gubernur DKI. "Karena itulah supaya dasar hukumnya komprehensif sebagai acuan untuk meng­-address masalah banjir, harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat, oleh yang memang benar-benar powerfull, mempunyai wewe­nang yang kuat supaya aturan atau PP bisa dijalankan secara konsisten," tandasnya.

Ditanya kemungkinan menggunakan pa­yung hukum Undang-undang (UU), Marwan menyatakan tidak melihat apakah memang perlu sampai dibuat UU-nya. "Seandainya dengan PP, sepanjang PP disepakati oleh ketiga provinsi, didukung oleh pemerintah dan DPR, itu saya kira bisa saja," katanya sembari menegaskan sikap­nya yang tidak terlalu mempermasalahkan apakah Undang-Undang atau PP.

Menurutnya, yang penting, seandainya pun itu cuma PP, toh itu berlaku secara nasional, dimana orang daerah harus tun­duk. PP mungkin cukup supaya tidak ter­lalu meluas, lebih cepat, lebih fleksibel, tapi juga punya aspek untuk mengatur yang sifatnya lebih nasional.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).

Posting Komentar

0 Komentar