Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konsisten Memajukan Pendidikan

Wawancara dengan Ace Suryadi

Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Ace Suryadi menyebutkan Kampus Al-Zaytun adalah sebuah pusat pendidikan yang sudah berstandar internasional.

Ace Suryadi memiliki pemikiran brilian melapaui banyak orang tentang cara bagaimana memajukan dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan non formal sebagai alternatif yang sejajar dengan pendidikan formal. Boleh dikata, ia memiliki andil besar dalam pengambilan keputusan politik yang mensyaratkan minimal 20 persen anggaran tahunan dalam APBN harus dialkokasikan untuk sektor pendidikan. Ace-lah yang pertama kali menggagas ide ini, lewat sebuah tulisan artikel di media massa, yang lalu menjadi rujukan para pengambil keputusan. Padahal saat itu ida sedang non-job bahkan menjadi “anak jalanan“.

Ace menghabiskan masa kecil yang kenangan di Cipamekan, jauh di pelosok Kecamatan Congeang, Sumedang, Jawa Barat. Ia lahir sebagai anak tertua dari empat bersaudara terdiri dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka hidup benar-benar sebagai orang kampung.

Ace memilki seorang Ayah berotak pintar tetapi secara formal hanya lulusan kelas lima SD. Demikian pula Ibunya lulusan kelas tiga SD yang nyaris buta huruf, sebab bisanya menulis huruf sambung terus seperti tanpa putus.

Walau berpendidikan rendah Sang Ayah memiliki posisi terhormat di lingkungan sekitar sebagai “Menteri Agama“. Ayahnya menjabat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), sehari-hari menjadi imam, menikahkan orang, menyolatkan jenazah, menyunatkan anak dan sebagainya.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Sang Ayah membuka usaha mebel. Untuk ukuran kampung usaha ini tergolong maju sebab mampu menyediakan kebutuhan di atas rata-rata. Tetapi kehidupan tetap tak beranjak dari kemiskinan, apalagi untuk menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Buktinya Ace Suryadi dapat melanjutkan sekolah ke SMP dengan mengorbankan sekolah adik perempuannya, yang sesungguhnya jauh lebih pintar.

Dididik Keras

Ace dididik dengan sangat ketat menjurus keras. “Keras tapi benar,“ itulah pemahaman Ace tentang didikan Ayahnya. Rendahnya pendidikan orang tua tak berarti lemah dalam mengasuh anak. Ace Suryadi merasa beruntung memiliki Ayah-Ibu berotak brilian. Bibit itu adalah potensi besar untuk juga melahirkan anak yang sama briliannya.

Sang Ayah mengarahkan anaknya ke hal-hal yang positif. Ace, misalnya, tak diizinkan bermain-main. “Pokoknya harus sembahyang, mengaji, belajar. Bermain dibatasi. Saya juga begitu,“ kata Ace.

Bila Ace malas sekolah, Ayah segera menyiapkan lidi untuk dilibaskan ke betis. Lidi masih terus diacung-acungkan saat Ace sudah mau masuk ke pintu sekolah. “Saya kan jadi takut. Sampai begitu, saking kerasnya. Tapi tetap miskin,“ katanya.

Kerasnya didikan masih ditambah sikap Ibu yang cerewet segera terlihat hasilnya. Adik perempuan Ace menjadi murid yang paling pandai di sekolahnya. Tetapi karena dia perempuan, kedua orangtua memutuskan hanya Ace yang dapat melanjutkan ke SMP.

“Kita tidak punya banyak duit. Walaupun kita harus menyekolahkan, satu saja,“ Ace hafal betul isi pembicaraan kedua orangtua yang memutuskan nama Ace sekolah. “Jadi adik saya tidak sekolah. Karena tidak cukup biayanya. Walaupun menyekolahkan saya itu kebanyakan jual sawah, jual kebun. kadang-kadang jual mebel pun tidak cukup,“ kata Ace.

Ace sekolah di sebuah SMP di Sumedang. Jarak dari rumahnya sekitar 15 kilometer. Mulanya ditempuh menumpang oplet atau angkutan umum bolak balik setiap hari. Ace sengsara sekali jadinya, terlebih kondisi jalan sangat buruk. Muncul keinginan dalam diri Ace untuk memiliki sepeda. Tetapi permintaan ini tak diluluskan. Lagi-lagi karena tak memilki uang. “Sudahlah, cari sendiri duit,“ kata Sang Ayah.

Menginjak SMA, Ace mulai indekos di Sumedang. Prestasi Ace masih lumayan bagus walau ada sedikit penurunan. Maklum, usianya sedang memasuki masa pancaroba. Dengan prestasi yang anjlok dan tertatih-tatih Ace menamatkan pendidikan SMA, bahkan diterima kuliah di IKIP Bandung.

Prestasi ke IKIP diraih secara diam-diam tanpa sepengetahuan Ayah-Ibu. Bahkan, Ace harus meminjam uang seseorang untuk biaya mendaftar.

Sebelum menamatkan sarjana tahun 1981 Ace Suryadi sudah “diijon“ sebagai karyawan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Depdikbud. Harsja W. Bachtiar, Kepala Balitbang pada tahun 1983 mengirim Ace kuliah program master S-2 ke Amerika Serikat, mengambil jurusan ekonomi pendidikan. Setahun selesai, karena kepandaiannya pihak universitas merekomendasikan Ace untuk melanjutkan lagi ke S-3.

Dalam usia relati muda sekitar 30-an tahun. Ace berhasil menggondol gelar S-3 dalam tempo 3,7 tahun saja.

Pada tahun 1987 Ace kembali ke Indonesia. Karirnya meroket cepat. Sebagai doktor yang masih berusia muda, memilki kecerdasan di atas rata-rata tergolong brilian, dua setengah tahun berada di Indonesia Ace memperoleh promosi menjabat Kepala Bidang.

Dua tahun kemudian saat usia mulai mengijak 38 tahun, walau dengan pangkat masih 3-C Ace dipromosikan sebagai Kepala Pusat Pendataan, di Balitbang Depdikbud. Bintang Ace sebagai pejabat eselon dua betul-betul sedang bersinar.

Ketika Depdiknas dipimpin Menteri Wardiman Djojonegoro (1993-1998) Ace semakin memperoleh tempat. Ia selalu diberi banyak tugas membuatnya harus bekerja siang malam.

Tetapi karir Ace sempat mengalami hambatan tatkala muncul Kepala Balitbang baru di era Wiranto. Ace selama setahun berusaha bertahan dengannya. Ace kemudian digeser menjadi tidak apa-apa. Ketika pimpinan di tangan Juwono Sudarsono Ace malah menjadi bawahan bagi seorang Kepala Bidang, yang sebelumnya justru merupakan bawahan Ace. Ace tak lagi memiliki jabatan kecuali hanya sebagai staf biasa. Ace menjadi Kepala Pusat antara tahun 1992-2000.

Ace mengikhlaskan diri menjadi staf biasa. Seorang doktor berotak cerdas, brilian, yang beasiswanya dibiayai oleh pemerintah, itu telah disia-siakan dan Ace pun benar-benar menjadi anak jalanan. Ia tidak bersedia lagi masuk kantor.

Ia menumpahkan amarah dan unek-unek dengan rajin menulis buku, artikel di koran, atau berbicara ke koran. Ia mengeluarkan semua kemampuan akademis yang dimiliki lewat media tulis-menulis.

Ia terjun sebagai konsultan bagi Canadian Development International Agency (CDIA), membuatnya mampu membeli mobil sekelas Honda CR-V. Ace juga bersedia dipanggil oleh Wardiman Djojonegoro membantu di Media Center-Nya Habibie, hingga diangkat menjadi Kepala Sekretariat Habibie Center.

Mengalami Titik Balik

Sebagai orang pendidikan, hati Ace sesungguhnya tertaut ke Depdikbud. Ia ingin lebih diggest di situ. Ace berusaha memotivasi dan menggugah diri sendiri.

Kemarahannya yang terlampiaskan lewat tulisan akhirnya sampai pula ke telinga petinggi Depdiknas, mulai Yahya Muhaimin hingga Malik Fajar. Ace mengalami titik balik. Sebab sesungguhnya ia adalah ibarat mutiara yang kalau diletakkan di tempat yang semestinya akan memancarkan kilaunya yang bercahaya.

Certa bermula dari tulisan Ace yang berhasil memenangkan lomba penulisan terbaik bidang pendidikan. Figur Ace yang sering menulis tentang kurikulum, ujian, birokrasi, profesionalisme, anggaran pendidikan, economic of education dan macam-macam menarik perhatian Mendiknas Malik Fajar.

Khusus tentang tulisan anggaran pendidikan, yang berhasil menjadi juara, Ace dengan tegas menyatakan Indonesia belum memiliki komitmen yang jelas terhadap pendidikan. Anggarannya masih di bawah satu persen jauh dari Malaysia yang lima persen.

Tulisan ini berhasil mencelikkan mata para pemangku kepentingan. Isunya dibicarakan di mana-mana. Ace menjadi pionir dengan mangatakan pemerintah harus menaikkan anggaran pendidikan.

Dampaknya terasakan anggaran pendidikan mendekati 20 persen. Salah satunya dipengaruhi tulisan Ace. “Karena itu mempengaruhi mereka yang ada di legislatif, terus dia melahirkan UU dan segala macam. Saya kira saya ikut andil di sana,“ kata Ace.

Malik Fajar mengajak Ace menjadi pembantunya sebagai pejabat eselon satu. Bahkan Malik harus membuat jabatan baru Staf Ahli Menteri Bidang Desentralisasi Pendidikan, yang sebelumnya tak pernah ada, demi memberi tempat kepada Ace untuk berkiprah.

Jabatan ini Ace memanfaatkan betul berbuat yang terbaik mengabdi kepada bangsa, dengan berkarya dan memperlihatkan kinerja yang maksimal. Ace membangun jaringan dan hubungan kemana-mana. Iapun berhasil menerlurkan Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM).

Informasi keberhasilan sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Desentralisasi kesampaian pula rupanya ke Menteri yang sekarang, Bambang Sudibyo (2004-2009). Sejak Mei 2005 Ace Suryadi dipromosikan menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

“Saya akhirnya dimasukkan oleh Pak Menteri jadi Dirjen. Saya kira, bagi saya itu perjuanganlah. Perjuangan yang menurut saya pahit sekali. Pada saat saya tidak memperoleh jabatan, saya boleh dikatakan tidak dianggap apa-apa. Tapi asya dianggap lagi oleh Pak Malik lebih lagi oleh Pak Bambang supaya saya boleh berkarya,“ jelas Ace.

“Dan akhrinya, dalam jabatan ini saya mulai memikirkan karya-karya saya apa yang harus diberikan.“ Untuk mengetahui pandangannya tentang Al-Zaytun, serta visinya mengenai pendidikan non formal di Indonesia berikut petikan wawancara Pemimpin Redaksi Majalah Berita Indonesia CH. Robin Simanullang dengan Ace Suryadi.
Sebagai Dirjen PLS tentu mempunyai penilaian tersendiri tentang Al-Zaytun. Setelah melihat proses pendidikan di sini, apa yang menarik menurut Anda?
Saya melihat proses pendidikan di sini persis seperti yang saya impikan sejak lama. Saya belum pernah melihat sekolah-sekolah biasa, apa yang di sini terjadi. Mungkin juga belum pada sekolah-sekolah berasrama (boarding) seperti Al-Zaytun ini.

Al-Zaytun ini lebih. Dalam artian lebih universal, Dia tidak hanya Islami tetapi juga nasionalis, profesionalis, dan universal. Itu yang saya tandai.

Dalam kaitan dengan pendidikan, saya kira ini merupakan suatu model, karena yang dikembangkan di sini holistik sifatnya. Bukan hanya murid diberikan pembelajaran, tetapi juga penataan lingkungan fisik, lingkungan sosial, pergaulan, disiplin dan sebagainya.

Semua penataan tersebut bersifat total, holistik, dan masih ditambah dengan manajemen air. Manajemen air bukan main di sini, sebagai bagian manajemen lingkungan.

Demikian juga pembiasaan anak-anak di luar kelas, di luar sistem belajar mengajar. Selama proses pendidikan tidak boleh dipisahkan antara apa yang berlangsung di dalam kelas, dengan apa yang terjadi di lingkungan. Kalaupun pendidikan di kelasnya bermutu, kalau di lingkungan acak-acakan, itu tidak akan dapat membentuk suatu keperbadian yang kita harapkan. Tapi di sini terjadi.

Saya kira, harusnya, dari segi holistik dan integrasi pendidikan yang diterapkan, Al-Zaytun bisa menjadi model buat pembinaan atau pembanguan pendidikan lainnnya. Di sini sudah ditemukan metodologinya, penataan kampusnya, penataan disipilin anak-anaknya, pergaulannya, sampai kehidupan asrama dan manajemen air semua ada di sini. Desainnya bukan main !

Sifat holistik lainnya adalah pendidikan luar sekolah (PLS). Di sini ada kelas untuk orang dewasa, Universitas Terbuka (UT), dan sejenisnya. Terus Syaykh masih akan mendirikan lagi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Jadi saya sangat setuju sekali dengan Syaykh, yang membuat Al-Zaytun menjadi terang bagi lingkungan sekitarnya. Jangan hanya Al-Zaytun yang bagus tetapi masyarakat sekitarnya tetap miskin dan bodoh.

Maka itulah saya mau bekerja-sama dengan Syaykh untuk mendirikan PKBM-PKBM di sekitar Al-Zaytun. Bahklan, pendirian PKBM ini akan terus kita perluas. Misalnya, PKBM untuk pemberantasan buta aksara, mengasah keterampilan, pendidikan, kecakapan hidup semuanya akan kita coba. Termasuk nantinya saya akan menyumbangkan mobil perpustakaan keliling sebagai Taman Bacaan Keliling, supaya Al-Zaytun bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat tentang peningkatan budaya baca.

Indramayu tergolong tinggi angka buta aksaranya untuk tingkat Jawa Barat. Saya merasa tertantang untuk itu. Demikian pula dengan Syaykh merasakan hal yang sama.

Setelah mengamati sistem pendidikan, metodologi, dan hal-hal lainnya, dipandang dari segi standar pendidikan nasional bagaimana kondisi Al-Zaytun?
Untuk ujian nasional di sini menggunakan standar yang sama dengan standar nasional. Sama dengan sekolah-sekolah lain yang sudah tinggi.

Tetapi standar itu masih harus ditingkatkan. Malah, saya ingin sekali kalau Al-Zaytun menggunakan saja standar internasional. Sebab daripada menggunakan standar lokal, sayang karena penataan sistemnya di sini sudah baik.

Apabila dilihat kapasitas dan sarana pendidikannya , apakah Al-Zaytun memang sudah cukup untuk memenuhi standar internasional?
Ya, memenuhi syarat untuk standar internasional.

Bisa dijelaskan apa saja yang menjadi syarat standar internasional itu?

Dalam berbagai hal. Misalnya untuk standar matematika internasional, standar gurunya juga harus internasional. Semua yang diujikan di ujian akhir sekolah harus menggunakan standar internasional.

Sekarang, menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), setiap kabupaten diharuskan memiliki minimal satu sekolah berstandar internasioanl. Baik itu SD, SMP, SMK, SMU masing-masing minimal satu.

Al-Zaytun memenuhi syarat untuk itu?
Ya. Al-Zaytun sudah bertaraf internasional.

Secara riil bagaimana bentuk dukungan pemerintah kepada pusat pendidikan yang sudah berstandar internasional, seperti Al-Zaytun ini?

Pemerintah akan sangat mendukung Al-Zaytun karena tidak ada sesuatu yang salah di sini. Bahkan Al-Zaytun sudah bisa membangun sesuatu yang positif di sini.

Pemerintah akan tetap mendukung sepenuhnya agar Al-Zaytun berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat. Apakah berbentuk pendidikan sekolah umum atau pendidikan luar sekolah. Saya sangat mendukung program pendidikan luar sekolah yang ada di sini.

Program apa saja yang segera bisa Anda realisasikan dalam waktu dekat?

Ya sudah, sebetulnya. Saya melihat Al-Zaytun sudah secara serius menerapkan Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B, Paket C yang dinamakan kelas dewasa. Sekolah dewasa di tingkat SD, SMP, dan SMA pesertanya sudah banyak sekali.

Saya akan mendukung itu dari buku-bukunya. Juga melakukan beberapa hal pengembangan supaya lebih inovatif lagi. Kita akan dukung. Ini yang pertama.

Yang kedua, kami sudah memberikan blockgrant sebesar Rp 300 juta untuk pengembangan agrobisnis di sini. Jadi tujuannya adalah untuk masyarakat sekitar. Mereka mengembangkan agrobisnis tetapi dengan cara menggunakan teknologi. Al-Zaytun bertugas mengembangkannya bersama-sama dengan masyarakat sekitar. Ini nanti bisa menjadi model untuk daerah yang lainnya.

Terus yang ketiga, saya dengan Syaykh sudah sepakat untuk mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Untuk pertama kali didirikan di Indramayu dan Sumedang dulu, sebagai lingkungan terdekat Al-Zaytun. Kalau berhasil nantinya akan kita perluas pengembangannya. Dan Syaykh sudah mengatakan bersedia menyediakan gedung PKBM dan tenaga untuk mendirikannya.

PKBM dibangun di lingkungan sekitar masyarakat Al-Zaytun?

Di sekitar Indramayu dan Sumedang dulu. Kalau bisa di setiap kecamatan nanti akan ada satu PKBM. Pokoknya saya yang akan menyediakan sarana, bangunan, tenaga pendidik, serta programnya. Cukup banyak yang akan kita buat.

Tentu, hal itu memerlukan dana besar?

Oh, iya. Karena saat ini di Indramayu kita sangat mementingkan pendidikan keaksaraan, atau pemberantasan buta aksara. PKBM-lah yang harus melakukannya. Program dan anggarannya nanti dari kita, karena memang dana untuk itu ada.

Di kemudian hari masih lebih banyak lagi hal-hal yang bisa dikerja-samakan Al-Zaytun dengan Ditjen PLS. Mudah-mudahan kerja-samanya bisa terus langgeng.

Apakah kesediaan Anda merupakan salah satu tanggapan positif pemerintah terhadap kehadiran pusat pendidikan Al-Zaytun?
Oh, Iya. Dan mengapa saya datang dua kali dalam setahun ke sini, sebelumnya saya sudah datang Desember 2006 lalu.

Maksudnya supaya Al-Zaytun bukan hanya memperhatikan sekolah dan perguruan tinggi saja, tetapi juga mau memperhatikan pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah (PLS) ini. Dan ternyata beliau sudah memulainya, bahkan sudah sangat komit. Saya senang dengan itu. Kami, sedapat mungkin, sesuai dengan apa yang kami punya, akan bantu Al-Zaytun.

Khusus mengenai visi-misi Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pusat pengembangan budaya perdamaian. Apa komentar Anda?
Saya melihat di ini ada potensi itu. Mereka punya potensi, punya tenaganya, punya lingkungannya, punya programnya, punya anggarannya, dan punya sarana-prasarananya untuk mewujudkan visi-misi itu.

Saya kira kita akan coba juga untuk bekerja-sama di situ. Karena PLS sebetulnya di sana. Ada beberapa program PLS yang sifatnya agak internasional. Misalnya program kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kemudian visi pendidikan untuk semua (PUS), atau Education for All (EfA). Kemudian literacy dan traficking semua ada di program kita. Itu masuk dalam anggaran pendidikan luar sekolah.

Jadi bicara tetang education for all, toleransi dan perdamaian, itu bekerja-sama dengan saya nanti.

Berarti, masih bisa digali berbagai program kerja sama lainnya?

Ya, melalui pengembangan program-programnya.

*) Ace Suryadi, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas.
(Sumber :Lentera - Majalah Berita Indonesia – Edisi 34/2007)

Posting Komentar

0 Komentar