Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bebas Banjir Impian Seumur Hidup

Pengalaman warga yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung tentang berbagai program pengendalian banjir yang tak kunjung jadi kenyataan, membuat mereka enggan membicarakan hal itu. Hidup tanpa banjir menjadi impian mereka seumur hidup. Gagasan pembangunan Tirta Sangga Jaya mungkin salah satu jalan keluar.

Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan pengendali­an banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan warga. Pertama, program pengen­dalian banjir dikhawatirkan akan menggusur tempat ting­gal mereka. Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung tidak pernah terwujud.

Warga kecewa terhadap Pe­merintah Provinsi DKI Ja­karta, karena pada satu sisi menakuti warga dengan ren­cana-rencana. penggusuran. Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah me­rencanakan pembangunan tembok sepanjang Kali Cili­wung untuk menghindari pen­dangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang bantaran kali Cili­wung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.

Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berha­dapan dengan wartawan Be­rita Indonesia. Tidak meng­herankan, jika wartawan BI juga disambut sikap skeptis "Yang gitu-gitu sudah banyak lho mas! Biar saja tetap seperti ini," tukas seorang warga ke­tika wartawan BI menjelaskan maksudnya mencari rumah Ketua RT mereka.

Citra ini tentu menjadi fak­tor yang menyulitkan bagi BI ketika meminta pandangan masyarakat tentang penang­gulangan banjir dengan model Tirta. Sangga Jaya. Perlu waktu yang cukup lama untuk mem­peroleh pengertian dari warga.

Ternyata Ternyata, dari beberapa Ke­tua RT yang ditemui, diketahui bahwa sikap skeptis warga merupakan wujud dari ke­kecewaan mereka terhadap penanggulangan banjir, se­buah impian besar yang tidak pernah terwujud selama ini. Berbagai program pemerintah untuk melindungi warga dari serangan banjir, sudah ter­dengar puluhan tahun, namun hingga kini tidak jelas jun­trungannya.

Namun banjir bandang yang menimpa sebagian besar wila­yah Jakarta, Bogor, Depok. Tangerang, dan Bekasi (Jabo­detabek) awal Februari 2007 lalu. membuat harapan bebas ban­jir semakin membesar. Bebe­rapa warga yang sebelumnya dinyatakan enggan meninggal­kan wilayah bantaran kali, kini sudah berbalik arah, berharap dapat pindah tempat tinggal. "Itu baru benar-benar banjir mas," kata Heri (30), pendu­duk RT.03 RW 03 Kampung Pulau Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. la bercerita kalau banjir awal Februari 2007 lalu sebagai banjir yang membuat masya­rakat benar-benar menderita. Di wilayah mereka yang juga dikenal dengan Kampung Me­layu Kecil, terjangan banjir sudah merupakan bagian dari keseharian mereka. Tiba-tiba saja, air sudah menggenangi rumah mereka, karena Sungai Ciliwung meluap akibat banjir kiriman dari hulu.

"Kalau menggenang 50 cm sampai 1 meter saja, bukan banjir namanya. Genangan se­tinggi itu bisa muncul kapan saja. Jadi sudah kejadian se­hari-hari dan masyarakat menjadi terbiasa," kata En­dang Suherman (35), staf RT 03 sembari menjelaskan bah­wa kawasan pemukimannya terlandai di kawasan Kam­pung Pulo.

Ia menambahkan banjir ke­marin (awal Februari 2007) benar-benar dirasakan warga sebagai banjir sungguhan. Endang Suherman yang lahir dan besar di RT 03, mengaku baru pertama kali merasakan siksaan banjir yang sedemi­kian parah, "Seumur-umur saya belum pernah merasakan banjir separah itu," katanya.

Ketika disinggung gagasan Tirta Sangga Jaya, baik En­dang Suherman maupun Heri, mengakuinya sebagai gagasan yang layak diperjuangkan un­tuk mencegah banjir seperti yang terjadi Febuari.

"Agar tau aja mas, rumah warga di sini baru benar-benar kering setelah tiga bulan. Lum­purnya saja satu meter tinggi­nya," kata Endang Suherman sembari menjelaskan bahwa penderitaan pasca banjir yang mereka alami luput dari pem­beritaan media massa.

Bagi warga Jakarta yang tinggal di bantaran Kali Cili­wung, bebas banjir benar-be­nar sebuah barang mewah. Penderitaan mereka selama puluhan tahun diterjang ban­jir bandang dan lumpur, sudah dikenal luas hingga ke manca­negara. Bahkan dengan pen­deritaan berkepanjangan itu pula, warga bantaran Kali Cili­wung mendapat kunjungan dari pesohor paling top, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Beberapa presiden, duta besar negara-negara sahabat, petinggi PBB maupun pimpin­an Bank Dunia, sudah me­ngunjungi daerah ini. Bebe­rapa presiden RI pun sudah bolak-balik mengunjungi me­reka. Demikian juga dengan beberapa tokoh dunia, bahkan tidak tanggung-tanggung, ibu negara Amerika Serikat Hillary Clinton (saat itu) pun sudah mengunjungi daerah ini pada tahun 1990-an.

Akan tetapi, setelah semua itu berlalu, nasib warga ban­taran Kali Ciliwung tetap tidak berubah. Hingga kini, harapan mereka menempati bantaran kali tanpa diusik banjir, ter­nyata masih ada. Harapan ini pun telah mereka tunggu selama puluhan tahun. Bahkan, bagi sebagian warga, penan­tian itu sudah menjadi impian sepanjang masa.

Kiranya tidaklah berlebihan jika gagasan Tirta Sangga Jaya, seperti menguatkan kembali harapan mereka untuk men­dapatkan pemukiman bebas banjir. Dengan gagasan Tirta Sangga Jaya, cita-cita lama mereka, mungkin saja masih bisa saja diwujudkan.

Menjawab Impian
"Mungkin nggak ini dilak­sanakan? Masih lama kali ini ya? Sepertinya, ini program jangka panjang," tukas mereka ketika melihat denah gagasan Tirta Sangga Jaya. Optimisme dari sejumlah Ketua RT di wilayah bantaran Kali Cili­wung pun langsung terlontar, setelah memahami konsep penanggulangan banjir ala Tirta Sangga Jaya. Bagi me­reka, bisa saja TSJ menjadi jawaban dari impian mereka selama ini.

Namun demikian, sebagai gagasan yang baru dimuncul­kan, sudah barang tentu jika gagasan Tirta Sangga Jaya belum dipahami masyarakat secara utuh. Terlebih jika me­reka juga belum pernah mem­baca penjelasan tentang ga­gasan Syaykh AS Panji Gumi­lang, pucuk pimpinan Lem­baga Pendidikan Al-Zaytun, sebagaimana yang menjadi laporan utama Berita Indone­sia (edisi 36). Sehingga wajar saja bila terjadi pemahaman yang kurang tepat.

Misalnya, ketika Tirta Sang­ga Jaya disebut sebagai proyek pembuatan sungai baru, di antara mereka ada yang lang­sung berpikir ke arah peng­gusuran besar-besaran di Ja­karta. "Daerah mana aja yang mau digusur nih," seru Wawan (48), Ketua RT 15 RW 12, Ke­lurahan Bukit Duri, Tebet, Ja­karta Selatan.

Namun setelah dijelaskan bahwa Tirta Sangga Jaya tidak berada di Jakarta, melainkan di wilayah Bodetabek, Wawan yang memimpin lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK), baru mengungkapkan responnya. "Gagasan ini sangat baik, tapi sepertinya untuk jangka pan­jang ya?" katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (26/5).

Wartawan Berita Indonesia menjelaskan, jika dilihat dari sisi kebutuhan Jabodetabek, gagasan ini justru sangat men­desak.-Sebab, tanpa infra­struktur penanggulangan ban­jir yang memadai, Jabode­tabek akan terns berlarut-larut dalam ancaman banjir. Bukan tidak mungkin banjir bandang seperti yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu terus berulang setiap tahun.

"Harapan kita, gagasan ini dapat segera terwujud," im­buhnya. Ia juga berharap agar banjir yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu tidak ter­ulang kembali. "Saya sudah se­jak lahir tinggal di sini, namun tidak pernah merasakan banjir sedahsyat itu," katanya sem­bari menunjuk bekas genang­an air di dinding rumahnya yang setinggi 2 meter.

Ditanya alasannya mengapa gagasan Tirta Sangga Jaya di­sebut baik, Wawan yang me­ngaku masih sempat melihat keindahan aliran air Ciliwung tahun 70-an, menyatakan gaga­san itu jauh lebih menyeluruh dibanding sekadar membenahi aliran Sungai Ciliwung. "Banjir Jakarta ini lebih banyak di­sebabkan luapan air dari Bogor. Walaupun Kali Ciliwung di­benahi, tanpa mengendalikan air dari Bogor, Jakarta akan tetap banjir," katanya.

Ia menambahkan, dengan konsep Tirta Sangga Jaya, ancaman banjir kiriman me­lalui Sungai Ciliwung sudah dapat dikontrol. Ia berharap agar gagasan ini bisa diwujud­kan sesegera mungkin, se­hingga banjir bandang yang terjadi pada awal Februari lalu, tidak terjadi lagi.
Dukungan yang sama juga diungkapkan Mulyadi (37), Ketua RT o6 RW 12 Kelurah­an Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. "Kalau untuk kebaik­an umum, saya dukung," kata­nya saat berbincang-bincang di rumahnya, Kamis (26/5). Menurutnya, dukungan ter­hadap pembangunan Tirta Sangga Jaya, bukan tidak ber­alasan.

Pokok Persoalan Tidak di Jakarta
Menurut Mulyadi, yang ber­mukim di bantaran kali sejak lahir, persoalan banjir yang menimpa Jakarta, khususnya di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, justru tidak ber­sumber dari Jakarta sendiri, melainkan dari luar Jakarta, khususnya Bogor. Jadi, per­soalan utama tidak berada di Jakarta, tetapi di daerah Bo­gor. Karena gagasan Tirta Sangga Jaya sudah menjang­kau pengendalian aliran air dari Bogor, maka pembangun­an Tirta Sangga Jaya menjadi gagasan yang harus didukung.

Lebih jauh, Ketua RT yang aktif mengampanyekan "ja­ngan buang sampah ke kali" itu menjelaskan sebuah realitas Kali Ciliwung, yang mungkin tidak banyak diketahui orang Kalau Jakarta diguyur hujan selama 2 hari, mungkin dae­rah-daerah lain di Jakarta sudah terkena banjir, tetapi Kali Ciliwung sendiri justru tidakbanjir. Itu membuktikan bahwa sumber banjir di ban­taran kali Ciliwung, bukan dari wilayah Jakarta, tetapi dari luar Jakarta. "Pengendalian­nya pun bukan di Jakarta, tetapi di Bogor dan daerah sekitarnya," katanya.

Ketua RT yang melayani 125 KK yang bermukim di ban­taran Kali Ciliwung itu meng­ungkapkan. "Kita sangat ber­terima kasih (kalau ada proyek penanggulangan banjir seperti ini), karena tidak mengganggu masyarakat yang ada di ban­taran kali Ciliwung. Tetapi, maaf kalau seandainya proyek ini jadi dan kita terkena (peng­gusuran-red), kita juga merasa keberatan," katanya.

Sementara itu, Muhammad (59), Ketua RT o5 RW 12 Bukit Duri, Tebet Jakarta Selatan, juga memberi pandangan yang sama "Kalau memang bisa ditanggulangi dengan seperti ini (Tirta Sangga Jaya-red), bagus sekali," katanya. Me­nurutnya, warganya tidak ke­beratan dengan pola seperti apa pun yang dilakukan pe­merintah untuk menanggu­langi banjir.

"Kami sebagai warga hanya menginginkan bagaimana agar tidak banjir," kata ketua RT yang melayani 120 KK warga di bantaran Kali Ciliwung ini. Ia menjelaskan bagaimana warganya bergelut mengha­dapi banjir bandang awal Februari lalu, hingga harus mengungsi. Bahkan lebih dari seminggu setelah puncak ban­jir, mereka tetap tidak bisa menempati rumahnya karena penuh dengan lumpur.

Sudah Jadi Tradisi

Di antara sejumlah pemu­kiman yang ada di bantaran Kali Ciliwung, kawasan paling, rawan banjir, sesungguhnya bagian dari kawasan daerah yang menjadi bagian wilayah Jakarta Timur. Kawasan yang menjadi bagian dari Kelurahan Kampung Melayu ini terdiri dari 2 RW, yang masing-ma­sing dihuni 4000 warga. Dae­rah ini sering disebut dengan Kampung Melayu Kecil, wa­laupun nama administratifnya adalah Kampung Pulo.

Menurut Ketua RT o3 RW 03 Kampung Pulo R. Budi Budril, yang ditemui Berita, Indonesia di rumahnya yang bersisian dengan tepian Kali Ciliwung, mengatakan bahwa warganya sudah terbiasa de­ngan banjir. "Boleh dibilang sudah menjadi tradisi," kata­nya Kamis (26/5).

Karena itu, langkah-langkah. apa pun yang diambil peme­rintah untuk menghindar: banjir di bantaran Kali Cili­wung, pasti didukung. "Kon­sep ini (gagasan Tirta Sangga. Jaya-red) sangat kami dukung. Saya secara pribadi melihatnya (desain-red) sudah. bisa mengendalikan banjir di wilayah Jabodetabek," kata­nya sembari menekankan bah­wa hal yang paling penting adalah perwujudan gagasan itu sendiri.

"Warga di sini pun saya pikir akan sangat berterima kasih jika proyek ini benar-benar terwujud. Dengan adanya proyek pe­ngendalian banjir seperti ini, kami akan bisa hidup dengan lebih tenteram," katanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).

TSJ dan Raja Purnawarman

Tirta Sangga Jaya, dilihat dari perspektif sejarah, ternyata bukan sebuah berita besar. Nenek moyang bangsa Indonesia justru telah mengerjakan proyek-proyek yang Iebih besar dengan dukungan peralatan yang sangat sederhana.

Apakah bisa diwujudkan? Ini mungkin pertanyaan yang dilontarkan setiap orang begitu melihat desain Tirta Sangga Jaya (TSJ) yang memang cukup mahal. Pertanyaan seperti ini tentu­nya sangat wajar mengingat besarnya dana yang dibutuh­kan untuk mewujudkan ga­gasan Tirta Sangga Jaya. Bah­kan, jika dilihat dari besarnya sumber daya yang digunakan, bisa dikategorikan sebagai proyek mercu suar. Akan te­tapi, dari sisi manfaatnya, TSJ tidak pantas dikategorikan mercu suar dengan citra pro­yek gagah-gagahan, karena manfaatnya jauh lebih besar dari sumber daya yang diguna­kan untuk mewujudkan TSJ. Karma itu, Drs. Mushoddiq (46), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Cipta Karya Informatika (CKI) Jakarta dan Dosen Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi (STIE) IPWIJA, mengatakan tantang­an apa pun yang dihadapi, tidak seharusnya menjadi pengham­bat untuk mewujudkan TSJ.

"Soalnya, perwujudan TSJ ditunggu banyak orang dan dibutuhkan seluruh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tange­rang, dan Bekasi," katanya ketika ditemui Berita Indone­sia di sela-sela aktivitas me­ngajarnya, Jumat (18/5).

Mushoddiq yang juga pe­ngajar bidang studi sejarah di SMU Negeri 103 ini, mengata­kan proyek pengendalian ban­jir TSJ sebenarnya bukan se­suatu yang terlalu besar dari perspektif sejarah. "Nenek moyang kita sudah mengerja­kan hal-hal yang setara dengan TSJ di awal tarik Masehi," katanya.

Ia merujuk Raja Purnawar­man yang memimpin Kerajaan Tarumanegara (400-500M), membangun proyek saluran air pengendalian banjir dan irigasi, bernama Sungai Candrabhaga, sepanjang 6.122 busur atau 11 kilometer. Yang sangat memukau dari pem­buatan Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Gomanti (Kali Mati, Tangerang). Penggalian sungai itu diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari melibat­kan puluhan ribu orang. Raja Purnawarman memotong 1.000 ekor sapi untuk sela­matan selesainya pembuatan sungai tersebut.

Menurut prasasti Tugu, Ci­lincing, Jakarta Utara, pening­galan abad kelima dari raja yang beragama Hindu ini sudah memperhatikan pengen­dalian banjir di musim hujan dan melindungi petani dari kekeringan pada musim ke­marau. Sejarahwan Belanda, DR J Ph Vogel yang pernah menstrakripsi dan menelaah Prasasti Tugu, kini berada di Museum Nasional, sang raja sangat memperhatikan peng­airan sawah-sawah para pe­tani. Artinya, kerajaan ini sudah mencapai taraf yang tinggi di bidang pertanian.

Berdasarkan Prasasti Tugu dan prasasti-prasasti lainnya, kekuasaan Kerajaan Taruma­negara meliputi wilayah Banten, DKI Jakarta, Bogor, Be­kasi dan Citarum. Kata Chan­dra dalam Chandrabhaga, berarti sari atau bulan. Chan­drabhaga artinya sama de­ngan Kali Bagasasi, kemudian berubah jadi Bhagasi atau Bekasi sekarang.

Prasasti Tugu dan Chandra­bhaga terletak di antara lokasi yang sama jauhnya. Ini men­cerminkan pelestarian ke­seimbangan ekosistem. Sang raja menempuh kebijakan pe­mukiman yang juga didasar­kan pada azas keseimbangan ekologis. Karenanya, raja memperbolehkan rawa-rawa di pedalaman diuruk untuk pemukiman. Maka muncul nama-nama, seperti Rawa Bangke, Rawa Puter atau Ra­wa Puter. Tetapi rawa-rawa di pesisir pantai tidak boleh di­urug untuk pemukiman, ka­rena merupakan kawasan hu­tan (bakau) lindung dan re­sapan air.

Atas kerja kerasnya, para sejarahwan memberi apre­siasi yang sangat luar biasa terhadap karya monumental Raja Purnawarman tersebut. Sampai saat ini, karya besar Raja Purnawarman masih dapat dinikmati oleh masya­rakat Jakarta. Menurut para arkeolog, Sungai Bagasasi di abad ke-5, sudah berganti nama menjadi Kali Bekasi.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).

Posting Komentar

0 Komentar