Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan warga. Pertama, program pengendalian banjir dikhawatirkan akan menggusur tempat tinggal mereka. Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung tidak pernah terwujud.
Warga kecewa terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena pada satu sisi menakuti warga dengan rencana-rencana. penggusuran. Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah merencanakan pembangunan tembok sepanjang Kali Ciliwung untuk menghindari pendangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang bantaran kali Ciliwung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.
Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berhadapan dengan wartawan Berita Indonesia. Tidak mengherankan, jika wartawan BI juga disambut sikap skeptis "Yang gitu-gitu sudah banyak lho mas! Biar saja tetap seperti ini," tukas seorang warga ketika wartawan BI menjelaskan maksudnya mencari rumah Ketua RT mereka.
Citra ini tentu menjadi faktor yang menyulitkan bagi BI ketika meminta pandangan masyarakat tentang penanggulangan banjir dengan model Tirta. Sangga Jaya. Perlu waktu yang cukup lama untuk memperoleh pengertian dari warga.
Ternyata Ternyata, dari beberapa Ketua RT yang ditemui, diketahui bahwa sikap skeptis warga merupakan wujud dari kekecewaan mereka terhadap penanggulangan banjir, sebuah impian besar yang tidak pernah terwujud selama ini. Berbagai program pemerintah untuk melindungi warga dari serangan banjir, sudah terdengar puluhan tahun, namun hingga kini tidak jelas juntrungannya.
Namun banjir bandang yang menimpa sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok. Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) awal Februari 2007 lalu. membuat harapan bebas banjir semakin membesar. Beberapa warga yang sebelumnya dinyatakan enggan meninggalkan wilayah bantaran kali, kini sudah berbalik arah, berharap dapat pindah tempat tinggal. "Itu baru benar-benar banjir mas," kata Heri (30), penduduk RT.03 RW 03 Kampung Pulau Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. la bercerita kalau banjir awal Februari 2007 lalu sebagai banjir yang membuat masyarakat benar-benar menderita. Di wilayah mereka yang juga dikenal dengan Kampung Melayu Kecil, terjangan banjir sudah merupakan bagian dari keseharian mereka. Tiba-tiba saja, air sudah menggenangi rumah mereka, karena Sungai Ciliwung meluap akibat banjir kiriman dari hulu.
"Kalau menggenang 50 cm sampai 1 meter saja, bukan banjir namanya. Genangan setinggi itu bisa muncul kapan saja. Jadi sudah kejadian sehari-hari dan masyarakat menjadi terbiasa," kata Endang Suherman (35), staf RT 03 sembari menjelaskan bahwa kawasan pemukimannya terlandai di kawasan Kampung Pulo.
Ia menambahkan banjir kemarin (awal Februari 2007) benar-benar dirasakan warga sebagai banjir sungguhan. Endang Suherman yang lahir dan besar di RT 03, mengaku baru pertama kali merasakan siksaan banjir yang sedemikian parah, "Seumur-umur saya belum pernah merasakan banjir separah itu," katanya.
Ketika disinggung gagasan Tirta Sangga Jaya, baik Endang Suherman maupun Heri, mengakuinya sebagai gagasan yang layak diperjuangkan untuk mencegah banjir seperti yang terjadi Febuari.
"Agar tau aja mas, rumah warga di sini baru benar-benar kering setelah tiga bulan. Lumpurnya saja satu meter tingginya," kata Endang Suherman sembari menjelaskan bahwa penderitaan pasca banjir yang mereka alami luput dari pemberitaan media massa.
Bagi warga Jakarta yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung, bebas banjir benar-benar sebuah barang mewah. Penderitaan mereka selama puluhan tahun diterjang banjir bandang dan lumpur, sudah dikenal luas hingga ke mancanegara. Bahkan dengan penderitaan berkepanjangan itu pula, warga bantaran Kali Ciliwung mendapat kunjungan dari pesohor paling top, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Beberapa presiden, duta besar negara-negara sahabat, petinggi PBB maupun pimpinan Bank Dunia, sudah mengunjungi daerah ini. Beberapa presiden RI pun sudah bolak-balik mengunjungi mereka. Demikian juga dengan beberapa tokoh dunia, bahkan tidak tanggung-tanggung, ibu negara Amerika Serikat Hillary Clinton (saat itu) pun sudah mengunjungi daerah ini pada tahun 1990-an.
Akan tetapi, setelah semua itu berlalu, nasib warga bantaran Kali Ciliwung tetap tidak berubah. Hingga kini, harapan mereka menempati bantaran kali tanpa diusik banjir, ternyata masih ada. Harapan ini pun telah mereka tunggu selama puluhan tahun. Bahkan, bagi sebagian warga, penantian itu sudah menjadi impian sepanjang masa.
Kiranya tidaklah berlebihan jika gagasan Tirta Sangga Jaya, seperti menguatkan kembali harapan mereka untuk mendapatkan pemukiman bebas banjir. Dengan gagasan Tirta Sangga Jaya, cita-cita lama mereka, mungkin saja masih bisa saja diwujudkan.
Menjawab Impian
"Mungkin nggak ini dilaksanakan? Masih lama kali ini ya? Sepertinya, ini program jangka panjang," tukas mereka ketika melihat denah gagasan Tirta Sangga Jaya. Optimisme dari sejumlah Ketua RT di wilayah bantaran Kali Ciliwung pun langsung terlontar, setelah memahami konsep penanggulangan banjir ala Tirta Sangga Jaya. Bagi mereka, bisa saja TSJ menjadi jawaban dari impian mereka selama ini.
Namun demikian, sebagai gagasan yang baru dimunculkan, sudah barang tentu jika gagasan Tirta Sangga Jaya belum dipahami masyarakat secara utuh. Terlebih jika mereka juga belum pernah membaca penjelasan tentang gagasan Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun, sebagaimana yang menjadi laporan utama Berita Indonesia (edisi 36). Sehingga wajar saja bila terjadi pemahaman yang kurang tepat.
Misalnya, ketika Tirta Sangga Jaya disebut sebagai proyek pembuatan sungai baru, di antara mereka ada yang langsung berpikir ke arah penggusuran besar-besaran di Jakarta. "Daerah mana aja yang mau digusur nih," seru Wawan (48), Ketua RT 15 RW 12, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.
Namun setelah dijelaskan bahwa Tirta Sangga Jaya tidak berada di Jakarta, melainkan di wilayah Bodetabek, Wawan yang memimpin lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK), baru mengungkapkan responnya. "Gagasan ini sangat baik, tapi sepertinya untuk jangka panjang ya?" katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (26/5).
Wartawan Berita Indonesia menjelaskan, jika dilihat dari sisi kebutuhan Jabodetabek, gagasan ini justru sangat mendesak.-Sebab, tanpa infrastruktur penanggulangan banjir yang memadai, Jabodetabek akan terns berlarut-larut dalam ancaman banjir. Bukan tidak mungkin banjir bandang seperti yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu terus berulang setiap tahun.
"Harapan kita, gagasan ini dapat segera terwujud," imbuhnya. Ia juga berharap agar banjir yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu tidak terulang kembali. "Saya sudah sejak lahir tinggal di sini, namun tidak pernah merasakan banjir sedahsyat itu," katanya sembari menunjuk bekas genangan air di dinding rumahnya yang setinggi 2 meter.
Ditanya alasannya mengapa gagasan Tirta Sangga Jaya disebut baik, Wawan yang mengaku masih sempat melihat keindahan aliran air Ciliwung tahun 70-an, menyatakan gagasan itu jauh lebih menyeluruh dibanding sekadar membenahi aliran Sungai Ciliwung. "Banjir Jakarta ini lebih banyak disebabkan luapan air dari Bogor. Walaupun Kali Ciliwung dibenahi, tanpa mengendalikan air dari Bogor, Jakarta akan tetap banjir," katanya.
Ia menambahkan, dengan konsep Tirta Sangga Jaya, ancaman banjir kiriman melalui Sungai Ciliwung sudah dapat dikontrol. Ia berharap agar gagasan ini bisa diwujudkan sesegera mungkin, sehingga banjir bandang yang terjadi pada awal Februari lalu, tidak terjadi lagi.
Dukungan yang sama juga diungkapkan Mulyadi (37), Ketua RT o6 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. "Kalau untuk kebaikan umum, saya dukung," katanya saat berbincang-bincang di rumahnya, Kamis (26/5). Menurutnya, dukungan terhadap pembangunan Tirta Sangga Jaya, bukan tidak beralasan.
Pokok Persoalan Tidak di Jakarta
Menurut Mulyadi, yang bermukim di bantaran kali sejak lahir, persoalan banjir yang menimpa Jakarta, khususnya di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, justru tidak bersumber dari Jakarta sendiri, melainkan dari luar Jakarta, khususnya Bogor. Jadi, persoalan utama tidak berada di Jakarta, tetapi di daerah Bogor. Karena gagasan Tirta Sangga Jaya sudah menjangkau pengendalian aliran air dari Bogor, maka pembangunan Tirta Sangga Jaya menjadi gagasan yang harus didukung.
Lebih jauh, Ketua RT yang aktif mengampanyekan "jangan buang sampah ke kali" itu menjelaskan sebuah realitas Kali Ciliwung, yang mungkin tidak banyak diketahui orang Kalau Jakarta diguyur hujan selama 2 hari, mungkin daerah-daerah lain di Jakarta sudah terkena banjir, tetapi Kali Ciliwung sendiri justru tidakbanjir. Itu membuktikan bahwa sumber banjir di bantaran kali Ciliwung, bukan dari wilayah Jakarta, tetapi dari luar Jakarta. "Pengendaliannya pun bukan di Jakarta, tetapi di Bogor dan daerah sekitarnya," katanya.
Ketua RT yang melayani 125 KK yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung itu mengungkapkan. "Kita sangat berterima kasih (kalau ada proyek penanggulangan banjir seperti ini), karena tidak mengganggu masyarakat yang ada di bantaran kali Ciliwung. Tetapi, maaf kalau seandainya proyek ini jadi dan kita terkena (penggusuran-red), kita juga merasa keberatan," katanya.
Sementara itu, Muhammad (59), Ketua RT o5 RW 12 Bukit Duri, Tebet Jakarta Selatan, juga memberi pandangan yang sama "Kalau memang bisa ditanggulangi dengan seperti ini (Tirta Sangga Jaya-red), bagus sekali," katanya. Menurutnya, warganya tidak keberatan dengan pola seperti apa pun yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi banjir.
"Kami sebagai warga hanya menginginkan bagaimana agar tidak banjir," kata ketua RT yang melayani 120 KK warga di bantaran Kali Ciliwung ini. Ia menjelaskan bagaimana warganya bergelut menghadapi banjir bandang awal Februari lalu, hingga harus mengungsi. Bahkan lebih dari seminggu setelah puncak banjir, mereka tetap tidak bisa menempati rumahnya karena penuh dengan lumpur.
Sudah Jadi Tradisi
Di antara sejumlah pemukiman yang ada di bantaran Kali Ciliwung, kawasan paling, rawan banjir, sesungguhnya bagian dari kawasan daerah yang menjadi bagian wilayah Jakarta Timur. Kawasan yang menjadi bagian dari Kelurahan Kampung Melayu ini terdiri dari 2 RW, yang masing-masing dihuni 4000 warga. Daerah ini sering disebut dengan Kampung Melayu Kecil, walaupun nama administratifnya adalah Kampung Pulo.
Menurut Ketua RT o3 RW 03 Kampung Pulo R. Budi Budril, yang ditemui Berita, Indonesia di rumahnya yang bersisian dengan tepian Kali Ciliwung, mengatakan bahwa warganya sudah terbiasa dengan banjir. "Boleh dibilang sudah menjadi tradisi," katanya Kamis (26/5).
Karena itu, langkah-langkah. apa pun yang diambil pemerintah untuk menghindar: banjir di bantaran Kali Ciliwung, pasti didukung. "Konsep ini (gagasan Tirta Sangga. Jaya-red) sangat kami dukung. Saya secara pribadi melihatnya (desain-red) sudah. bisa mengendalikan banjir di wilayah Jabodetabek," katanya sembari menekankan bahwa hal yang paling penting adalah perwujudan gagasan itu sendiri.
"Warga di sini pun saya pikir akan sangat berterima kasih jika proyek ini benar-benar terwujud. Dengan adanya proyek pengendalian banjir seperti ini, kami akan bisa hidup dengan lebih tenteram," katanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
TSJ dan Raja Purnawarman
Tirta Sangga Jaya, dilihat dari perspektif sejarah, ternyata bukan sebuah berita besar. Nenek moyang bangsa Indonesia justru telah mengerjakan proyek-proyek yang Iebih besar dengan dukungan peralatan yang sangat sederhana.
Apakah bisa diwujudkan? Ini mungkin pertanyaan yang dilontarkan setiap orang begitu melihat desain Tirta Sangga Jaya (TSJ) yang memang cukup mahal. Pertanyaan seperti ini tentunya sangat wajar mengingat besarnya dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan gagasan Tirta Sangga Jaya. Bahkan, jika dilihat dari besarnya sumber daya yang digunakan, bisa dikategorikan sebagai proyek mercu suar. Akan tetapi, dari sisi manfaatnya, TSJ tidak pantas dikategorikan mercu suar dengan citra proyek gagah-gagahan, karena manfaatnya jauh lebih besar dari sumber daya yang digunakan untuk mewujudkan TSJ. Karma itu, Drs. Mushoddiq (46), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Cipta Karya Informatika (CKI) Jakarta dan Dosen Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi (STIE) IPWIJA, mengatakan tantangan apa pun yang dihadapi, tidak seharusnya menjadi penghambat untuk mewujudkan TSJ.
"Soalnya, perwujudan TSJ ditunggu banyak orang dan dibutuhkan seluruh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi," katanya ketika ditemui Berita Indonesia di sela-sela aktivitas mengajarnya, Jumat (18/5).
Mushoddiq yang juga pengajar bidang studi sejarah di SMU Negeri 103 ini, mengatakan proyek pengendalian banjir TSJ sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu besar dari perspektif sejarah. "Nenek moyang kita sudah mengerjakan hal-hal yang setara dengan TSJ di awal tarik Masehi," katanya.
Ia merujuk Raja Purnawarman yang memimpin Kerajaan Tarumanegara (400-500M), membangun proyek saluran air pengendalian banjir dan irigasi, bernama Sungai Candrabhaga, sepanjang 6.122 busur atau 11 kilometer. Yang sangat memukau dari pembuatan Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Gomanti (Kali Mati, Tangerang). Penggalian sungai itu diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari melibatkan puluhan ribu orang. Raja Purnawarman memotong 1.000 ekor sapi untuk selamatan selesainya pembuatan sungai tersebut.
Menurut prasasti Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, peninggalan abad kelima dari raja yang beragama Hindu ini sudah memperhatikan pengendalian banjir di musim hujan dan melindungi petani dari kekeringan pada musim kemarau. Sejarahwan Belanda, DR J Ph Vogel yang pernah menstrakripsi dan menelaah Prasasti Tugu, kini berada di Museum Nasional, sang raja sangat memperhatikan pengairan sawah-sawah para petani. Artinya, kerajaan ini sudah mencapai taraf yang tinggi di bidang pertanian.
Berdasarkan Prasasti Tugu dan prasasti-prasasti lainnya, kekuasaan Kerajaan Tarumanegara meliputi wilayah Banten, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi dan Citarum. Kata Chandra dalam Chandrabhaga, berarti sari atau bulan. Chandrabhaga artinya sama dengan Kali Bagasasi, kemudian berubah jadi Bhagasi atau Bekasi sekarang.
Prasasti Tugu dan Chandrabhaga terletak di antara lokasi yang sama jauhnya. Ini mencerminkan pelestarian keseimbangan ekosistem. Sang raja menempuh kebijakan pemukiman yang juga didasarkan pada azas keseimbangan ekologis. Karenanya, raja memperbolehkan rawa-rawa di pedalaman diuruk untuk pemukiman. Maka muncul nama-nama, seperti Rawa Bangke, Rawa Puter atau Rawa Puter. Tetapi rawa-rawa di pesisir pantai tidak boleh diurug untuk pemukiman, karena merupakan kawasan hutan (bakau) lindung dan resapan air.
Atas kerja kerasnya, para sejarahwan memberi apresiasi yang sangat luar biasa terhadap karya monumental Raja Purnawarman tersebut. Sampai saat ini, karya besar Raja Purnawarman masih dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Menurut para arkeolog, Sungai Bagasasi di abad ke-5, sudah berganti nama menjadi Kali Bekasi.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Apakah bisa diwujudkan? Ini mungkin pertanyaan yang dilontarkan setiap orang begitu melihat desain Tirta Sangga Jaya (TSJ) yang memang cukup mahal. Pertanyaan seperti ini tentunya sangat wajar mengingat besarnya dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan gagasan Tirta Sangga Jaya. Bahkan, jika dilihat dari besarnya sumber daya yang digunakan, bisa dikategorikan sebagai proyek mercu suar. Akan tetapi, dari sisi manfaatnya, TSJ tidak pantas dikategorikan mercu suar dengan citra proyek gagah-gagahan, karena manfaatnya jauh lebih besar dari sumber daya yang digunakan untuk mewujudkan TSJ. Karma itu, Drs. Mushoddiq (46), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Cipta Karya Informatika (CKI) Jakarta dan Dosen Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi (STIE) IPWIJA, mengatakan tantangan apa pun yang dihadapi, tidak seharusnya menjadi penghambat untuk mewujudkan TSJ.
"Soalnya, perwujudan TSJ ditunggu banyak orang dan dibutuhkan seluruh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi," katanya ketika ditemui Berita Indonesia di sela-sela aktivitas mengajarnya, Jumat (18/5).
Mushoddiq yang juga pengajar bidang studi sejarah di SMU Negeri 103 ini, mengatakan proyek pengendalian banjir TSJ sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu besar dari perspektif sejarah. "Nenek moyang kita sudah mengerjakan hal-hal yang setara dengan TSJ di awal tarik Masehi," katanya.
Ia merujuk Raja Purnawarman yang memimpin Kerajaan Tarumanegara (400-500M), membangun proyek saluran air pengendalian banjir dan irigasi, bernama Sungai Candrabhaga, sepanjang 6.122 busur atau 11 kilometer. Yang sangat memukau dari pembuatan Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Gomanti (Kali Mati, Tangerang). Penggalian sungai itu diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari melibatkan puluhan ribu orang. Raja Purnawarman memotong 1.000 ekor sapi untuk selamatan selesainya pembuatan sungai tersebut.
Menurut prasasti Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, peninggalan abad kelima dari raja yang beragama Hindu ini sudah memperhatikan pengendalian banjir di musim hujan dan melindungi petani dari kekeringan pada musim kemarau. Sejarahwan Belanda, DR J Ph Vogel yang pernah menstrakripsi dan menelaah Prasasti Tugu, kini berada di Museum Nasional, sang raja sangat memperhatikan pengairan sawah-sawah para petani. Artinya, kerajaan ini sudah mencapai taraf yang tinggi di bidang pertanian.
Berdasarkan Prasasti Tugu dan prasasti-prasasti lainnya, kekuasaan Kerajaan Tarumanegara meliputi wilayah Banten, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi dan Citarum. Kata Chandra dalam Chandrabhaga, berarti sari atau bulan. Chandrabhaga artinya sama dengan Kali Bagasasi, kemudian berubah jadi Bhagasi atau Bekasi sekarang.
Prasasti Tugu dan Chandrabhaga terletak di antara lokasi yang sama jauhnya. Ini mencerminkan pelestarian keseimbangan ekosistem. Sang raja menempuh kebijakan pemukiman yang juga didasarkan pada azas keseimbangan ekologis. Karenanya, raja memperbolehkan rawa-rawa di pedalaman diuruk untuk pemukiman. Maka muncul nama-nama, seperti Rawa Bangke, Rawa Puter atau Rawa Puter. Tetapi rawa-rawa di pesisir pantai tidak boleh diurug untuk pemukiman, karena merupakan kawasan hutan (bakau) lindung dan resapan air.
Atas kerja kerasnya, para sejarahwan memberi apresiasi yang sangat luar biasa terhadap karya monumental Raja Purnawarman tersebut. Sampai saat ini, karya besar Raja Purnawarman masih dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Menurut para arkeolog, Sungai Bagasasi di abad ke-5, sudah berganti nama menjadi Kali Bekasi.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
0 Komentar